ini adalah cerita tentang seorang anak laki-laki yang mencari jawaban atas keberadaannya sendiri
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon yersya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9
Angin dingin dini hari menyelinap masuk dari jendela yang terbuka sedikit, membuat kulitku merinding halus. Langkahku bergema pelan di sepanjang lorong lantai tiga yang panjang, sementara lampu-lampu sekolah meredup satu per satu seakan bangunan tua ini juga mulai mengantuk. Ari berjalan di sampingku—atau lebih tepatnya, setengah langkah di belakangku, seperti bayangan yang tidak ingin terlalu jauh tapi juga tidak berani terlalu dekat.
Aku meliriknya. Rambutnya yang tadinya basah kini mulai mengering, tapi beberapa helai masih menempel di pipinya yang pucat. Baju yang kupakaikan padanya terlihat kebesaran, menggantung lembut di tubuh mungilnya, membuatnya tampak rapuh tapi… hangat, entah bagaimana.
Kami berhenti di tikungan lorong. Cahaya bulan yang masuk dari jendela besar menyinari wajah Ari, menonjolkan mata kosongnya yang seperti menyimpan cerita yang tidak pernah diceritakan.
“Jadi, Ari… apa yang kau lakukan sendirian di sini?” tanyaku pelan, suaraku menggema lembut.
Ari mengangkat wajah. Matanya bergerak sedikit, seperti ada sesuatu yang berusaha muncul ke permukaan, tapi akhirnya hilang lagi. Dia tidak menjawab. Bibirnya hanya terbuka dan menutup kembali—gerakan kecil yang hampir tidak terlihat.
Aku mencoba lagi. “Apa kau tidak pulang ke rumah dan tidur?”
Ari menggeleng pelan. Sangat pelan, seolah-olah gerakan itu sendiri bisa membuatnya jatuh.
Aku mengusap tengkuk, bingung harus bagaimana.
“…Aku juga tidak tidur,” gumamku akhirnya, nada suaraku canggung. “Bagaimana kalau kita jalan-jalan keluar? Daripada kau diam sendirian di gedung gelap seperti ini.”
Ari menatapku lama. Ada kebingungan, ada keraguan… tapi juga sesuatu yang mirip harapan kecil. Ia mengangguk pelan sekali.
Aku tersenyum tanpa sadar. “Ayo.”
Kami berjalan menuju gerbang sekolah. Pintu besinya berderit ketika kubuka, dan udara kota pukul dua dini hari menyambut kami. Udara itu sunyi, kosong, tapi terasa damai. Langkah kaki kami terdengar beriringan di aspal yang dingin.
“Ayo ke taman,” kataku. Ari mengikutiku tanpa berkata apa pun, jaraknya hanya beberapa langkah—cukup dekat untuk kurasakan keberadaannya, tapi tetap menjaga batas yang tak terlihat.
Taman itu sunyi sekali, hanya satu lampu kuning pucat yang menyala. Aku duduk di bangku panjang di bawah pohon, menepuk tempat di sampingku. Ari duduk perlahan, gerakannya ringan seperti tidak memiliki berat.
“Dulu aku sering tidur di sini kalau pulang terlalu malam,” kataku sambil tertawa kecil.
Ari menoleh, menatapku dengan ekspresi yang agak sulit diterjemahkan. Seperti campuran antara bingung dan… prihatin?
“Hei… jangan lihat aku seperti itu,” kataku sambil tertawa kecil. “Aku hanya terlalu malas pulang.”
Sudut bibir Ari bergerak sedikit. Setipis serpihan es yang hendak mencair.
Kami berjalan lagi. Menuju jembatan kecil yang menyeberangi sungai. Airnya memantulkan cahaya bulan yang samar.
“Dulu aku sering melempar batu dan berharap keinginan terkabul,” kataku sambil melempar kerikil. Pluk.
Ari memperhatikan riak air itu, ketika ku beri dia kerikil, ia memegangnya lama—seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan… lalu menjatuhkannya ke kakiku.
Pluk.
Kami berdua saling menatap.
“…Ya. Itu juga cara yang bagus,” kataku pasrah.
Kali ini, aku yakin. Dia tersenyum. Tipis, tapi nyata.
Minimarket 24 jam menjadi tujuan berikutnya. Cahaya putihnya menyilaukan mata kami yang terbiasa gelap. Aku mengambil dua minuman kaleng. “Yang manis atau yang hangat?”
Ari justru menunjuk ke rak kosong di sampingku.
Aku nyaris tertawa. “Ari… itu tidak ada minumannya.”
Setelah berpikir lama—benar-benar lama—dia menunjuk minuman hangat. Kami duduk di trotoar depan minimarket. Angin subuh mulai membawa aroma lembap, dan suara AC toko berdengung monoton.
Aku menyesap minuman. “Aku sering begini tiap malam. Dunia terasa lebih jujur saat sepi.”
Ari mengangkat kalengnya, menatap uap tipis yang keluar dari lubangnya. Dia minum sedikit. Sesuatu berubah di wajahnya. Matanya melebar sedikit, nafasnya pendek.
“…Hangat,” bisiknya.
Aku berhenti minum.
Itu pertama kalinya dia berbicara tanpa aku bertanya.
“Ya,” jawabku pelan. “Hangat.”
Kami kembali berjalan dan sampai di taman bermain dekat sekolah. Ayunan berderit perlahan, digoyang angin. Aku duduk dan menepuk ayunan di sebelahku. Ari duduk pelan, dan ayunan bergerak sedikit dengan berat tubuhnya yang ringan.
“Kau tahu,” kataku sambil menatap langit gelap. “Kadang aku iri pada orang-orang yang punya rumah nyaman. Tapi kalau malam seperti ini… rasanya dunia cukup luas, dan aku tidak perlu menjadi siapa pun.”
Ari menatap tangannya, lalu ke arah kota yang jauh. Ekspresi di wajahnya berubah-ubah. Ada rasa takut. Ada rasa penasaran. Ada rasa sedih. Ada sesuatu yang seperti… kagum.
“…Bingung,” ucapnya pelan. “Dunia… besar.”
Aku tersenyum lemah. “Ya. Membingungkan. Tapi tidak apa-apa. Pelan-pelan saja.”
Ketika akhirnya kami kembali ke sekolah, langit sudah berubah kebiruan. Embun mulai menempel di pagar-pagar rumah, dan lampu-lampu jalan padam satu per satu. Gerbang sekolah terlihat lebih hangat dari biasanya.
“Ari,” panggilku ketika kami berhenti di depan gerbang.
Dia menatapku.
“Terima kasih sudah menemaniku malam ini… atau pagi ini.”
Ari menunduk sedikit, gerakan halus yang terasa seperti ucapan terima kasih dalam bahasa yang tidak membutuhkan kata-kata.
Aku tersenyum, melambaikan tangan, dan berjalan pergi.
Namun sebelum aku melangkah terlalu jauh, aku menoleh lagi.
“Ari!”
Dia diam, menunggu, menatapku dengan mata yang kini sedikit lebih hidup.
“Kalau kau sendirian lagi… kau boleh mencariku.”
Ari memandangku lama.
Benar-benar lama.
Kemudian—sangat pelan—dia mengangguk.
Dan itu cukup bagiku.