"Apa-apaan nih!" Sandra berkacak pinggang. Melihat selembar cek dilempar ke arahnya, seketika Sandra yang masih berbalut selimut, bangkit dan menghampiri Pria dihadapannya dan, PLAK! "Kamu!" "Bangsat! Lo pikir setelah Perkutut Lo Muntah di dalem, terus Lo bisa bayar Gue, gitu?" "Ya terus, Lo mau Gue nikahin? Ngarep!" "Cuih! Ngaca Brother! Lo itu gak ada apa-apanya!" "Yakin?" "Yakinlah!" "Terus semalam yang minta lagi siapa?" "Enak aja! Yang ada Lo tuh yang ketagihan Apem Gue!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 9
Sandra duduk bersebelahan dengan Revano. Tapi bagai tak ada orang Revano merasa sunyi, seolah disebelahnya kosong seperti biasanya.
"Ehem!" Revano melirik sekilas. Sandra tak menoleh sedikitpun. Pandangannya asik melihat lalu lalang jalan dari balik jendela mobil.
"Ayahmu, bagaimana kondisinya?"
"Masih sama. Masih di ICU."
Hening. Kembali sepi dan kosong seolah baru saja tak ada obrolan.
"Ibu Tiri dan Saudara Tirimu, apakah selama ini bersikap baik?"
"Aku sedang tak mau membahas apapun."
"Ok. Silahkan ambil waktu istirahat sebanyak mungkin. Karena setelah pernikahan, tentu Kamu harus tahu apa kewajibanmu."
Sandra memilih masa bodoh.
Tak menanggapi ucapan Revano. Biarkan saja. Terserah nanti bagaimana.
Saat ini yang ada dalam pikiran Sandra hanya Papa dan Perusahaannya.
"Semoga pengorbananku tak sia-sia. Pa, cepat sembuh ya."
Revano dan Sandra berjalan beriringan
Semua mata tertuju pada keduanya. Siapa yang tak kenal Revano Narendra. Pewaria Narendra Group. Tampan, rupawan dan bergelimang harta. Setiap kaum hawa memimpikan berdampingan bersamanya.
Sandra memutar bola matanya. Melihat tatapan Ners dan pengunjung Rumah Sakit terlihat kagum dan mendamba membuat Sandra kesal saja.
"Kayal gak pernah lihat cowok aja! Modelan Playboy begini aja dikagumi!"
"San," rupanya Om Seno sedang menunggu di depan ruang ICU tempat Papa Armando di rawat.
"Tuan Revano," Om Seno menyapa sambil menyodorkan tangan mengajak bersalaman.
"Pak Seno." Revano membalas jabat tangan Om Seno.
Om Seno membawa Revano untuk berbicara berdua. Sedangkan Sandra menatap sang Papa dengan tatapan sendu menaham air mata.
"Jadi, Kalian memutuskan untuk menikah?" Om Seno memasukkan tangannya ke saku celana namun tak lama melipat kedua tangannya di dada.
Meski Sandra bukan anaknya namun Om Seno sudah menganggap Sandra selayaknya Putri kandung. Apalagi sekarang kondisi Sahabatnya Armando sedang terbaring di ICU. Tentu Om Seno ingin Sandra memilih orang yang tepat. Apalagi ini soal pernikahan.
"Iya Pak Seno."
"Bagaimana dengan Opamu, apakah Kalian sudah memberi tahunya?"
"Sudah. Bahkan beliau sudah memberi Restu dan meminta Kami segera menikah."
"Tuan Revano," Om Seno kini menatap seksama, tatapan Om Seno begitu dalam. Revano sadar, Ia sedang dikuliti meski dalam diam dan hanya dengan sebuah tatapan saja.
"Angelina Casandra. Dia Putri satu-satunya Armando dan Andin. Dulu, Kami bertiga bersahabat. Andin meninggal disaat Angel masih sangat kecil. Dan saat Armando menikah lagi, Angel harus menerima Ibu dan Saudara Tiri. Sejak kecil, Angel sangat mandiri. Tak pernah mengeluh dan selalu ceria meski kadang Om sebagai sahabat Papanya tahu, bahwa sesungguhnya Angel bangak menangis. Om harap Kamu bisa membahagiakan Angel."
Revano sejenak meresapi kata demi kata yang disampaikan oleh Om Seno.
"Saya akan berusaha menjaga Angel."
"Dia paling suka dipanggil Sandra. Andin, Ibu Sandra yang memanggilnya demikian. Om harap, Om bisa tenang setelah Sandra menikah dengan Kamu. Jaga Sandra baik-baik." Om Seno menepuk sisi lengan kiri Revano sebelum Ia berlaku akan kembali menuju ruang ICU.
"Om, tadi Papa sempat memberikan respon tapi Dokter bilang itu hanya reflek biasa. Tapi Sandra yakin, Papa masih bisa bertahan Om."
Melihat mata Sandra berkaca-kaca dengan penuh harapan besar, Revano ingin rasanya merengkuh tubuh Sandra dalam dekapannya.
"Ingat Vano! Lo gak akan pernah jatuh cinta sama Dia! Sandra hanya alat buat Lo! Gak ada perempuan yang bisa dipercaya! Mereka semua akan pergi! Apalagi saat Lo gak berdaya dan gak punya apa-apa!"
"San, Kita terus berdoa. Dokter juga sudah melakukan yang terbaik. Om pun berharap banyak atas kesembuhan Armando, Papamu. Tapi sekarang, Kita hanya bisa menunggu hingga Armandi siuman. Peluang itu masih ada San. Jangan berkecil hati. Terus berdoa. Soal pernikahanmu dengan Revano. Kita akan adakan segera disaksikan Papamu. Disini."
Helaan nafas berat Sandra terdengar oleh Revano. Entah mengapa sudut hati Revano bagai tercubit. Hatinya sakit, manakala melihat tetes air mata membasahi Pipi Sandra.
"Fokus Vano! Lo gak boleh terlena dan iba! Dia hanya alat untuk Lo lepas dari Yasmin, dan daei tuntutan Opa soal menikah!"
"Tuan Revano, tolong antar Sandra pulang. Sandra, pulanglah. Biar malam ini Om yang jaga Papamu. Kamu harus istirahat. Persiapkan pernikahan Kalian. Om akan menjadi saksi di pernikahan Kalian. Sebagai wali biarlah pakai wali hakim karena kondisi Papamu tak memungkinkah menikahkan Kalian langsung."
"Baik Pak Seno, Saya izin membawa Sandra pulang, maksud Saya mengantar Sandra ke apartemennya."
Tatapan Sandra seketika tak suka. Ravano memanggilnya dengan Sandra, bukan Angel.
"Sandra, pulanglah bersama Tuan Revano. Istirahat. Besok Kalian akan sibuk menyiapkan pernikahan."
"Baiklah Om. Sandra pulang. Titip Papa ya Om,"
"Iya. Tenang saja. Kalau ada apa-apa tentang Papamu, Om akan segera mengabari."
Keduanya pamit meninggalkan Rumah Sakit, sementara saat langkah Revano dan Sandra mulai menjauh, tatapan menerawang Om Seno sambil menghela nafas mensugesti dirinya sendiri, bahwa semua akan berjalan dengan baik-baik saja.
"Jangan panggil Aku Sandra. Panggil seperti biasa saja, Angel." Sandra sudah duduk disebelah Revano dalam mobil milik Revano dan memasang seat belt.
"Menurutku, Sandra lebih manis. Jadi, Aku lebih senang memanggilmu dengan Sandra."
Sandra memutar bola matanya. Lelah mendebat Si Paking Benar.
"Terserah!"
"Ya memang terserah Aku. Karena Istri memang harus nurut sama Suami."
"Ck!"
"Ga usah kesel-kesel! Lama-lama cinta loh!"
"Ngarep!"
"Boleh dong! Ngarep dicintai Istri, bagus!"
Sandra tak mau meladeni Revano. Energinya sudah terkuras. Banyak yang Ia pikirkan. Termasuk pernikahan kilatnya yang akan dilangsungkan dengan Revano sudah didepan mata.
"Loh, kenapa berhenti disini?"
"Makan dulu!"
"Aku gak lapar!"
"Ayo!"
"Dasar tukang maksa!"
"Setelah menikah akan banyak hal-hal lain yang akan Kupaksa tanpa izinmu!"
"Dasar Patriarki!"
"Sudah nasibmu!"
"Astaga! Tuhan sebercanda inikah hidupku, harus menikah dengan model Pria kepala batu!"
"Mau makan apa?"
"Gak mau makan!"
"Ok. Tolong siapkan steak wagyu, medium rare dua."
"Untuk minumannya beri Kami red wine."
"Jus mangga saja Mbak satu."
"Kamu gak minum?"
"Males!"
"Oh!"
Steak pesanan Revano datang, Revano segera menikmati hidangan dihadapannya tapi melihat Sandra tak menyentuh Revano gemas.
"Buka mulutmu!"
"Aku gak mau!"
"Seharusnya Kamu bersyukur, diluar sana banyak orang kelaparan. Dan Kamu malah menyia-nyiakan makanan. Cepat, A!"
"Gitu dong! Belajar jadi Istri nurut!" Sandra dengan terpaksa membuka mulut menerima suapan pemberian Revano.
"Enak? Ayo buka mulut lagi."
Entah mengapa kesal tapi ya nurut aja pas disuruh buka mulut.
"Tapi ini memang enak! Seleranya gak pernah gagal!"
"Aku sering makan disini tapi dulu. Kalau sekarang sepertinya akan kembali sering datang kesini. Karena ada Kamu yang bantuin habisin."
Sandra baru sadar, Ia makan dengan lahap disuapi Revano.
"Aku hanya menghargai usahamu. Gak usah kegeeran."
"Up to you Baby!"
"Gak usah sok romantis! Geli!"
"Nanti akan Aku bikin geli yang enak kalau sudah resmi,"
"Dasar Cabul!"
Tawa Revano sambil meraih red wine dan meneguknya perlahan.