NovelToon NovelToon
Jerat Cinta Tuan Mafia

Jerat Cinta Tuan Mafia

Status: sedang berlangsung
Genre:Mafia / Kriminal dan Bidadari
Popularitas:2.8k
Nilai: 5
Nama Author: Qwan in

Dewi, seorang pelayan klub malam, tak sengaja menyaksikan pembunuhan brutal oleh mafia paling ditakuti di kotanya. Saat mencoba melarikan diri, ia tertangkap dan diculik oleh sang pemimpin mafia. Rafael, pria dingin dengan masa lalu kelam. Bukannya dibunuh, Dewi justru dijadikan tawanan. Namun di balik dinginnya Rafael, tersimpan luka dan rahasia yang bisa mengubah segalanya. Akankah Dewi bisa melarikan diri, atau justru terperangkap dalam pesona sang Tuan Mafia?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Qwan in, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 9

Tubuhnya menggigil tak hanya karena suara tembakan yang masih menggema di lorong sempit itu, tapi karena matanya menyaksikan kegilaan Rafael dengan begitu dekat. Lelaki itu. dingin, kejam, tak tertebak. Ia menembak bawahannya sendiri. Hanya untuk apa? Menunjukkan kuasa? Atau hanya karena ia bisa?

Rafael menatap Dewi, lalu melemparkan pistol itu ke tanah di antara mereka.

“Begitu caramu mengancam ku? Dengan pistol yang bahkan kau tak tahu kapan terakhir kali dibersihkan?” Ia mendekat, langkahnya berat, penuh tekanan.

“Kau membuatku kecewa, Dewi. Aku pikir kau mulai mengerti tempatmu. Tapi ternyata kau masih ingin menjadi pahlawan.”

Dewi mundur satu langkah, tapi punggungnya sudah menabrak dinding dingin lorong itu. Nafasnya memburu, keringat dingin mengalir dari pelipis, meski udara di sana hampir membeku karena tekanan yang dipancarkan Rafael. Ia mencoba tegar, mencoba menahan tubuhnya agar tidak runtuh oleh rasa takut yang mulai menggigit sendi-sendinya.

“Bukan pahlawan,” bisiknya pelan.

“Aku hanya ingin keluar dari mimpi buruk ini.”

Rafael tersenyum. bukan senyum hangat, tapi senyum penuh ironi dan ancaman. Tangannya terulur, menyingkirkan rambut yang menempel di wajah Dewi, gerakannya begitu lembut hingga terasa lebih mengerikan daripada pukulan.

“Mimpi buruk?” Rafael mengangkat alis, suaranya serak tapi tenang.

“Sayang sekali, kau belum tahu apa itu mimpi buruk sebenarnya. Apa yang baru kau lihat barusan… hanyalah pengantar tidur.”

Dewi menahan napas. Sorot mata pria itu bagai jurang tanpa dasar. gelap, pekat, dan menyedot kewarasan. Ia ingin melawan, ingin berteriak, tapi tubuhnya terlalu lemah, pikirannya terlalu kacau.

“Kalau kau ingin keluar,” Rafael melanjutkan, suaranya menurun menjadi bisikan di telinga Dewi,

“maka tunduk lah. Karena setiap pemberontakanmu hanya akan memperpanjang penderitaanmu.”

Tiba-tiba ia berbalik, meninggalkan Dewi yang kini berlutut, mencoba mengumpulkan sisa keberaniannya.

Rafael berhenti di ujung lorong, tapi tidak menoleh.

“Angkat pistol itu. Besok kau akan belajar menembak. Kalau kau tetap di sisiku, kau harus bisa membedakan antara ketakutan dan kekuatan.”

Dan tanpa menunggu jawaban, ia melangkah pergi, menyisakan keheningan dan bau mesiu yang menusuk.

...

Pagi harinya, suara letusan terdengar dari lapangan latihan pribadi milik Rafael. Dewi berdiri di bawah terik matahari, memegang pistol dengan tangan kaku, sementara seorang pria bertubuh besar. anak buah Rafael bernama Marco. mengawasinya.

“Luruskan tanganmu,” dengus Marco, menyentak lengan Dewi ke depan.

“Matamu ke target. Jangan takut suara. Takut pada suara berarti takut pada kekuatanmu sendiri.”

Dewi menarik napas dalam-dalam. Keringat mengalir di pelipisnya. Ia menatap lingkaran target yang tak bergerak di kejauhan. Lalu melepaskan tembakan.

Peluru meleset jauh dari sasaran.

Marco mendecak. “Kalau kau begini terus, Rafael akan berpikir kau hanya beban.”

Kata-kata itu menusuk. Tapi bukan karena hinaannya. karena kebenaran di baliknya. Dewi tahu, selama ia berada di sisi Rafael, satu-satunya cara untuk bertahan hidup adalah menjadi berharga. Dan untuk itu, ia harus berubah.

Malam itu, angin berembus pelan menelusup dari celah jendela besar kamar di lantai atas kediaman Rafael. Dewi berdiri diam, memandangi kota yang bersinar dengan lampu-lampu jalanan yang berkelip seperti bintang buatan manusia. Kota itu terasa begitu dekat, namun sekaligus tak terjangkau. seakan ia hanya pengamat dari balik sangkar kaca.

Di belakangnya, pintu kamar terbuka perlahan. Suara langkah berat namun tenang menggema di ruangan yang sunyi. Rafael masuk, melepaskan jasnya, melonggarkan dasi, dan membuka satu kancing atas kemejanya. Sejenak ia berdiri memandangi punggung Dewi sebelum akhirnya mendekat.

Tanpa sepatah kata, Rafael melingkarkan lengannya di pinggang Dewi dan memeluknya dari belakang. Tubuh Dewi menegang, tapi ia tidak bergeming. Rafael menunduk, mengendus lembut tengkuknya, lalu menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya. seolah tengah mencicipi sesuatu yang hanya dimilikinya.

“Wangi ini…” bisiknya pelan, suaranya berat dan dalam.

“Aroma seorang istri yang sedang belajar menjadi milikku sepenuhnya.”

Dewi tak menjawab. Matanya masih menatap nanar ke kejauhan, pada kelap-kelip lampu kota yang tampak tenang, tak seperti badai yang berkecamuk di dalam dirinya.

“Bagaimana latihanmu hari ini?” Rafael bertanya, nadanya tenang namun mengandung tekanan yang tak bisa diabaikan. “Marco bilang kau masih gemetaran setiap menarik pelatuk.”

Dewi menarik napas dalam.

“Aku... masih mencoba,” jawabnya lirih.

“Cobalah lebih keras,” ucap Rafael, jemarinya mengelus pelan lengan Dewi.

“Jika kau benar-benar ingin menjadi bagian dariku, kau harus tahu cara bertahan. Atau membunuh.”

Ia menunduk lagi, mengecup pelan tengkuknya. lama, dalam.

“Bukankah kau ingin menjadi istri yang mampu membunuh suaminya... dengan tangannya sendiri, jika itu perlu?”

Dewi membeku. Kata-kata itu menusuk seperti belati tipis. Ia tahu Rafael tak sedang bergurau. Itu bisa saja tantangan. Atau ancaman yang terselubung.

“Kalau aku ingin membunuhmu,” bisik Dewi pelan, suaranya bergetar namun tajam,

“aku akan melakukannya saat kau benar-benar mempercayaiku.”

Rafael tertawa pelan, suara rendahnya menggetarkan udara.

“Jawaban yang bagus.”

Ia memutar tubuh Dewi perlahan, menatap wajahnya dengan mata yang tak bisa ditebak. “Tapi ingat, di tempat ini, kepercayaan dibayar dengan darah. Dan setiap kebohongan akan menuntut balas.”

Tangannya menyentuh dagu Dewi, mengangkatnya sedikit agar mata mereka bertemu.

“Teruslah belajar, Sayang. Aku ingin melihat seberapa jauh kau bisa bertahan. Apakah kau akan jatuh... atau bertarung.”

Rafael mengecup bibirnya singkat. bukan karena cinta, tapi karena kuasa. Lalu berbalik dan pergi, meninggalkan Dewi yang masih terpaku di tempat, napasnya tercekat, dadanya sesak.

...

Pagi datang dengan kabut tipis menyelimuti halaman rumah Rafael. Belum sempat Dewi keluar dari kamarnya, Marco sudah berdiri di depan pintu, menunggu dengan tatapan kosong dan tugas yang jelas.

"Bos memintamu ke lapangan belakang," ujarnya singkat. "Waktumu untuk belajar sudah dimulai."

Tanpa banyak bicara, Dewi mengikuti Marco. Setiap langkahnya terasa berat. Di lapangan latihan yang tersembunyi di balik rumah besar itu, target-target kayu berdiri tegak, seolah siap menerima peluru apa pun yang ditembakkan.

"Pegang ini," ucap Marco, menyerahkan pistol yang sama seperti semalam. Tangan Dewi gemetar saat menerimanya.

"Kalau kau tidak bisa menembak musuhmu," lanjut Marco datar, "kau akan menjadi sasaran mereka."

Dentuman pertama membuat tubuh Dewi terlonjak. Pelurunya meleset jauh dari sasaran. Marco tidak berkata apa-apa. Ia hanya mengisi ulang peluru dan menyerahkan senjata itu kembali. Kali ini, tangannya sedikit lebih stabil.

Tembakan kedua... lebih baik.

Tembakan ketiga... hampir tepat sasaran.

Hingga berjam-jam ia terus berlatih, peluh membasahi tubuhnya, tangannya mulai pegal, tapi sesuatu dalam dirinya berubah. Bukan karena keberanian, tapi karena keterpaksaan yang dipelajari menjadi kekuatan. Ketakutannya mulai berubah wujud menjadi kemarahan yang terpendam.

Ketika Rafael akhirnya datang, berdiri di ujung lapangan, ia hanya menyeringai.

“Aku melihat api itu di matamu,” katanya pelan. “Mungkin suatu hari kau benar-benar akan menembak ku.”

Dewi menatap Rafael tanpa berkedip. “Mungkin,” jawabnya pelan.

“Tapi tidak hari ini.”

Rafael tertawa kecil. “Kau belajar cepat. Itu bagus.” Ia melangkah mendekat.

“Tapi jangan terlalu cepat menunjukkan taringmu, Sayang. Serigala yang cerdik tahu kapan harus menggigit... dan kapan harus menjilat.”

1
Myōjin Yahiko
Bikin nagih bacanya 😍
Silvia Gonzalez
Gokil abis!
HitNRUN
Bingung mau ngapain setelah baca cerita ini, bener-bener seru!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!