Liliana, gadis biasa yang sebelumnya hidup sederhana, dalam semalam hidupnya berubah drastis. Ayahnya jatuh sakit, hutang yang ia kira sudah selesai itu tiba-tiba menggunung. Hingga ia terpaksa menikah i Lucien Dravenhart , seorang CEO yang terkenal dingin, dan misterius—pria yang bahkan belum pernah ia temui sebelumnya.
Pernikahan ini hanyalah kontrak selama satu tahun. Tidak ada cinta. Hanya perjanjian bisnis.
Namun, saat Liliana mulai memasuki dunia Lucien, ia perlahan menyadari bahwa pria itu menyimpan rahasia besar. Dan lebih mengejutkan lagi, Liliana ternyata bukan satu-satunya "pengantin kontrak" yang pernah dimilikinya…
Akankah cinta tumbuh di antara mereka, atau justru luka lama kembali menghancurkan segalanya?
Cerita ini hanyalah karya fiksi dari author, bijaklah dalam memilih kalimat dan bacaan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon boospie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 9 : Satu atap
Kini keduanya berada disatu atap yang sama, semua barang Liliana sudah dipindahkan ke apartemen milik Lucien. Bukan hanya barang Liliana, gadis itu juga mengangkut perabot milik sang ayah, tidak banyak hanya memakan satu box.
Gadis itu ditempatkan di kamar tepat di samping kanan kamar Lucien, ruangannya tidak terlalu luas tapi sangat nyaman dan bagus, jauh lebih baik dari kamar miliknya dulu. Status menikah hanya untuk publik dan tidak berlaku pada kehidupan personal keduanya, sehingga keputusan untuk pisah kamar adalah keputusan yang tepat bagi mereka.
"Jika sudah selesai keluarlah kita akan pergi kerumah eyang, menjelaskan semuanya," ungkap Lucien dari balik pintu yang tertutup tanpa berniat membukanya.
Liliana terdiam ia jadi mengingat kalimat pembawa berita tadi, belum sempat menanyakan lantaran Lucien harus pergi mendadak entah urusan apa. Sekarang waktunya ia bertanya, dengan sedikit mengeraskan suara ia berucap, "Sebentar, tuan Lucien. Anda pasti tahu betul bahwa saya tidak menyelesaikan sekolah saya, apalagi kuliah. Jadi saya yakin sekali jika informasi berita itu telah anda rekayasa—"
"Mengapa anda menunjukkan pada semua orang bahwa saya seorang CEO dari perusahaan ayah saya sendiri?" tanyanya.
"Perbaiki kalimat anda, Aehara corp sudah milik saya."
Liliana memutar bola matanya malas, ia berjalan mendekati pintu kemudian membukanya, melihat langsung pria itu tengah memegang benda kecil yang dibakar, rokok.
Liliana menatap lurus kedalam manik biru laut milik Lucien yang baru ia sadari, "Baiklah CEO dari Aehara corp?"
Lucien tidak langsung menjawab. Ia beranjak menuju meja, menuang air ke dalam gelas kristal, lalu menyesapnya perlahan. Keheningan menggantung sejenak di antara mereka.
"Jika sudah siap pergilah ke basemen," ujar Lucien, dengan nada tegas dan dingin.
Lucien meletakkan gelas itu di atas meja, lalu menatap Liliana tanpa ekspresi. Kemudian melangkah keluar apartemen, tetapi sebelum tubuhnya hilang oleh pintu ia berucap, "Tidak semua pertanyaan layak mendapat jawaban, Nona Liliana. Jika Anda cukup cermat, Anda akan mengerti alasan saya melakukan itu."
Liliana terdiam sejenak selagi mengamati punggung Lucien yang menghilang di balik pintu logam itu. Kesimpulannya, tidak seharusnya ia bertanya pada Lucien. Lalu ia melangkah pergi menyusul keberadaan Lucien, dimana sepanjang jalan ia memikirkan rencana Lucien.
Didalam mobil, hanya menyisakan Lucien dan Liliana. Kali ini tanpa supir yang membawa mereka, sehingga Lucien menyetir didepan dengan Liliana terpaksa ikut berada didepan.
Usai gadis itu masuk, dengan pakaian serba birunya. Lucien menyeletuk, "Anda tau bagaimana harus bersikap ketika posisi itu sudah diserahkan kepada anda, Nona Montclaire."
"Baiklah, Tuan Lucien. Saya pikir anda tau lebih banyak dari yang tidak saya ketahui," balas Liliana lalu tersenyum pada Lucien.
"Sudah seharusnya seperti itu." Setelah membalasnya ia mulai memacu mobilnya keluar dari basemen. Mereka berencana pergi ke tempat eyang, mansion yang terletak cukup jauh dari perkotaan.
...~• suddenly become a bride •~...
Disisi lain saat semua orang berkumpul riuh di lantai bawah, dua pasangan suami istri yang diakui publik itu tengah bersitegang di kamar lantai atas. Tiada hari tanpa keduanya damai, ego tinggi dari masing-masing tidak pernah membawa pada hal baik.
"Apa alasanmu mengijinkan anak itu menikah? Hah!" teriak Jessica sambil menarik kerah kemeja suaminya, William Christ.
"Aku tidak merasa ada yang salah dengan itu, Jes. Lux itu cerdas, dia pasti tau apa yang harus dia lakukan dan apa konsekuensinya,"
Jessica mendecih, "Cerdas? Apa yang cerdas dari memilih seorang wanita rendahan tanpa status itu?"
"Ingat Wil, jika sampai Lux gagal menjadi penerus Zetther—" Jessica terdiam sebelum melanjutkan pembicaraanya, "Kau dan wanita murahan mu itu yang akan aku bunuh terlebih dulu."
"JESSICA!"
PLAK...
Tamparan itu sukses mendarat di pipi Jessica begitu keras, hingga perlahan memerah dengan rasa nyeri yang mulai menjalar. Jessica masih menunduk memegangi pipinya.
"Berhenti memangilnya wanita murahan!" bentak William tepat didepan wajah Jessica dengan urat-urat yang sedikit menonjol karena amarahnya.
Jessica mendongak menatap tanpa takut kearah suaminya.
"Kenapa?" Jessica tersenyum, senyuman yang seolah meremehkan, tangannya menyambar pot bunga yang berada disampingnya. Ia berjalan menjauhi Wiliam, "Memang seperti itu kan? Sama seperti istri Lux! Rendahan!"
Pranggg....
Pot yang masih berisi tanaman bunga mawar itu terlempar dari tangan Jessica hingga mengenai bahu Willam, sementara pipinya terkena sedikit goresan dari duri bunga mawar, darah mulai muncul dari goresan tersebut.
Selang beberapa detik, pintu terbuka memperlihatkan sosok wanita tua dengan kebayanya muncul, kepalanya menggeleng pelan seolah tidak habis pikir dengan dua orang yang berada di ruangan itu.
"Kalian selalu saja ribut," ucap eyang Dewi. Pernikahan sang anak Jessica dengan menantunya Willam sudah hampir menginjak tiga puluh tahun, itu bukan waktu sebentar, tapi perselisihan mereka tidak pernah usai. Dewi selalu menyesali keputusan dengan suaminya dulu yang menyatukan mereka dengan sebuah keterpaksaan.
"Lux sudah menikah, apa lagi yang kalian ributkan? Dan Jessica, sisakan ruang ikhlas, Willam! kamu juga jangan pernah menampar anakku lagi," jelas Dewi dengan suara lembut yang penuh keprihatinan didalamnya, ia sangat menyayangkan sikap keduanya.
"Mama pergi aja, ini urusan Jessica dengan pria brengsek itu," tunjuk Jessica tepat diwajah William yang masih menahan amarah.
"Apa anda lihat? Bagaimana sikap dan cara berbicara putri anda terhadap suaminya? Apakah itu pantas nyonya Dewi?" Wiliam beralih menatap wajah Dewi.
Beberapa detik tidak ada suara yang memenuhi ruangan itu, hanya detik jam yang terus berjalan.
Willam meraih jas yang terselempang diatas sofa, ia melenggang pergi meninggalkan Jessica dan Dewi.
"Jessica," panggil Dewi dengan lembut pada satu satunya anak perempuan, dan anak terakhirnya.
Wanita berusia 50 tahun itu duduk disamping Dewi, meskipun usianya sudah terbilang tua, fitur wajah cantik nan tegas miliknya masih begitu indah. Ditambah gen ayahnya, John Wilson Dravenhart begitu dominan, Jessica mewarisi rambut pirang dari sang ayah, hal itu membuat dirinya tampak lebih muda dari usia saat ini.
"Kita itu keluarga, apapun yang terjadi kita akan tetap saling membutuhkan. Mama tau ayahmu sangat kompetitif dalam hal apapun, dia sangat teliti. Tapi bukan seperti ini yang ayah kalian mau," ungkap Dewi sembari mengusap rambut Jessica yang tergerai sebahu itu, menyisipkan kelembutan di usapan tangannya.
Dewi menatap Jessica, ia tahu betul anaknya itu sangat menggebu-gebu dalam kesempurnaan, terlihat jelas dari sorot matanya yang tidak pantang menyerah, "Jessica, tidak semua hal di dunia ini harus terlihat baik dimata publik."
"Aku tau kamu lelah," ucapnya yang kemudian memeluk tubuh putrinya. Perlahan kepalan tangan yang tertahan sedari tadi mulai terlepas, tubuhnya berbalik memeluk Dewi.
Kesibukan Jessica membuat hubungan keduanya renggang, dan jarang bertemu, terakhir sejak ulang tahun Lux dari tahun yang lalu.