NovelToon NovelToon
Midnight Professor

Midnight Professor

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / CEO / Beda Usia / Kaya Raya / Romansa / Sugar daddy
Popularitas:2.7k
Nilai: 5
Nama Author:

Siang hari, dia adalah dosen yang berkarisma. Malam hari, dia menjelma sebagai bos bar tersembunyi dengan dunia yang jauh dari kata bersih.

Selina, mahasiswinya yang keras kepala, tak sengaja masuk terlalu dalam ke sisi gelap sang dosen. Langkahnya harus hati-hati, karena bisa menjadi boomerang bagi mereka.

Keduanya terjebak dalam permainan yang mereka buat sendiri—antara rahasia, larangan, dan perasaan yang seharusnya tidak tumbuh.

Bab 8: Seperti Tidak Asing…

Ruangan kelas sudah dipenuhi mahasiswa. Hari ini Selina duduk agak menyediri di dekat jendela agar kepalanya yang berat akibat semalam bisa senderan. Tangannya menopang dagu, matanya refleks melirik ke arah dosen yang sedang mempersiapkan diri.

Baskara dengan pakaian rapi—kemeja garis-garis warna biru dan celana span hitam—sibuk menarik layar proyektor.

“Siang semuanya. Yuk… yang giliran presentasi hari ini, dipersilakan,” ujar Baskara.

Selina menarik nafas dalam, menundukkan kepalanya di meja. Harusnya dia bolos saja, kepalanya benar-benar masih berat. Dia tidak yakin bisa fokus mengikuti kelas hari ini. Entak kenapa, setiap kali Baskara berbicara kepalanya mengulang memori semalam yang masih belum lengkap.

Selina mencoret-coret buku catatannya, berusaha menyibukkan diri.

“Selina.”

Suara itu langsung menghentikan detak jangungnya. Suaranya tidak asing… ah tidak mungkin. Ini pasti karena alkohol semalam. Dia masih terngiang-ngiang suara Leonhard.

Kepalanya terangkat pelan, ternyata hanya Baskara. “Iya, Pak?” jawabnya sedikit lesu.

Baskara menatapnya, ekspresinya netral tapi tajam. “Kalau sakit, saya anjurkan kamu izin saja, ya?”

Aneh. Selina bisa merasakan kehangatan dari suaranya. Apakah ini yang membuat mereka tergila-gila dengan Baskara? Ah, dia pasti hanya mau reputasinya tetap baik.

Setelah ucapan Baskara itu, beberapa mahasiswi saling berbisik. Selina sempat mendengar bisikan itu. Isinya hanya jeritan penggemar kepada idolanya dan berharap Baskara mengatakan dengan suara lembut itu pada mereka.

Selina menelan ludahnya yang terasa berat. “Saya baik-baik saja, Pak.”

“Okay… tapi, kalau kamu tidak kuat, boleh langsung meninggalkan kelas ini,” ujar Baskara.

Selina mengangguk pelan, mencoba mengendalikan ekspresi wajahnya. “Baik, Pak.”

Baskara kembali menatap layar presentasi. “Lanjutkan.” Suaranya juga terdengar lebih formal, seakan percakapan singkat tadi tidak ada.

“Are you okay?” tanya Megan yang daritadi memperhatikan Selina. Selina hanya mengangguk pelam dan menunjukkan jempolnya.

“Kita bisa anter lo ke rumah sakit kampus,” tambah Tessa yang ikut khawatir.

“It’s okay. Nanti aja ya… gua masih kuat,” jawab Selina dengan pelan. Dia memastikan melakukan minim gerakan, kalau tidak, kepalanya akan mutar lagi.

Megan dan Tessa hanya bisa menghela nafas dan sesekali mengecek keadaan Selina yang terlihat sekarat itu.

“Gila… Sel. Lo diperhatiin langsung sama Pak Baskara. Cewek-cewek satu kelas bisa iri mampus, especially si Mira itu,” celetuk Sasha, temen kelasnya yang duduk di depannya.

Mira? Oh… si centil itu. Selina juga tidak peduli dengannya, lagipula dia tidak salah apa-apa. Baskara juga hanya menanyakan selayaknya dosen yang ingin kelasnya berjalan dengan lancar, tanpa penghambat.

“Biasa aja kali,” jawab Selina tidak tertarik.

“Tapi serius, ini pertama kalinya dia ngomong lembut banget,” ujar Sasha.

Selina menatap lurus ke depan, pura-pura gak mendengar. Tapi pikirannya kusut tak karuan.

“Lembut? Perasaan mereka aja kali yang bias…” batin Selina menentang.

Megan mencondongkan tubuhnya sekali lagi, menatap Selina dari atas sampai bawah. “I’m not gonna lie, but you look awfull. Sel… lo yakin gak apa-apa?” bisiknya.

Selina tertawa kecil. “Just say it… lo mau ngejek gua kan? Emang sih, gua biasanya cetar,” balas Selina sedikit bercanda walaupun menahan pusing di kepalanya.

“Classic Selina. Lo gak perlu nutup-nutupin keadaan, Sel. Kayak sama siapa aja,” ujar Tessa, tangannya terulur memegang dahi Selina. “Anj*r! Selina. Lo panas banget,” tambah Tessa sedikit teriak.

“Shhh…” Selina hanya mendecak, tapi matanya terpaku pada layar proyektor—dia tidak mau membuat scene.

Saat sesi tanya jawab, tiba-tiba Baskara menatap lurus ke arahnya sebelum pindah ke Tessa. “Tessa… bisa kasih tau saya, kita lagi bahas karya apa?” Suaranya terdengar samgat mengintimidasi. Tessa terlihat gugup, jelas sana, dia daritadi fokus pada novel barunya.

“Uh… karya…” suaranya terpatah-patah. Sepertinya Tessa benar tidak memperhatikan materi hari ini. Tapi, sebelum Baskara membuka mulutnya, Selina langsung menjawab.

“The Black Cat by Edgar Allan Poe,” jawab Selina dengan lantang. Baskara meliriknya lagi, dia mengangkat satu alisnya.

“Nice safe. But… Tessa? Lain kali kalau tidak tertarik, boleh tidak usah ikuti mata kuliah ini,” ujar Baskara tenang, tapi mengancam. Sektika atmosfer kelas terasa dingin.

“Maaf, Pak,” ujar Tessa lirih. Selina menatap kasihan kepada Tessa, tapi dia juga ingin menyumpahinya sebagai teman.

“Selina. Menurutmu, kucing hitam yang kedua muncul itu merepresentasikan apa?” tanya Baskara. Rasa pusing di kepalanya tiba-tiba muncul lagi, karena kaget dengan pertanyaan yang dilontarkan Baskara.

“Sial. Kenapa harus gua,” batin Selina.

Dia menarik nafas, mencoba merangkai kalimat yang tepat. “Kucing hitam itu… merepresntasikan sebagai rasa bersalah tokoh utama, Pak. Semacam… perwujudan dari dosa-dosanya sendiri.”

Baskara mengangguk, wajahnya netral tapi menantang. “Lanjutkan,” ujarnya.

Tuhan, baru saja dia dipuji karena kelembutannya. Sekarang dia malah menantang Selina yang sedang sakit.

Selina berkedip cepat. Otaknya seperti kabur. “Kemudian…” suaranya tercekat. “juga bisa dilihat sebagai kutukan—supernatural punishment—kayak bayangan yang tidak bisa dihindari.”

Ruangan hening beberapa detik. Beberapa mahasiswa meliriknya.

Baskara menatapnya lama, matanya redup tapi menusuk—seolah ada pesan tersembunyi. Bibirnya terangkat tipis, nyaris seperti senyum ejekan.

“And what caused his wrongdoings?” tanyanya lagi.

Selina menghela nafas pelan. “Alcohol.”

“Perfect. See? Everyone… alkohol dalam cerita ini bukan sekedar minuman, tapi bentuk hilangnya kendali pada manusia,” jelas Baskara sambil berjalan pelan ke arah tengah kelas. Suaranya tenang dan lantang, seperti dia sudah menguasai tiap materi. “Alkohol yang membuat tokoh utama melakukan kejahatan… to madness—dan menghancurkan semua yang pernah dia cintai. Poe used it as both a literal and metaphorical trigger.”

Mata Baskara kembali ke arah Selina. “Dan itu pelajaran penting… kadang kehancuran paling besar datang dari sesuatu yang kita biarkan menguasi diri sendiri.”

Selina tercekat. Kalimat itu seperti menusuk-nusuik dirinya. Dahinya mengernyit. Dia merasa… kalimat itu ditujukan langsung untuk dirinya. Lalu, Selina teringat… alkohol. Apa ini? Kenapa bisa pas sekali waktunya?

Baskara menatap Selina lumayan lama, ingin melihat reaksi dari wajah manis itu. Bibirnya terangkat sedikit, merasa menang. Dia tahu sekali, Selina sedang menahan dirinya dari rasa sakit di kepala karena jumlah alkohol yang dikonsumsi semalam cukup banyak. Prima memberitahu kalau Selina hampir menghabiskan satu botol Whiskey.

Selina langsung menunduk, sesekali memijat kapalanya. Pusing ini tidak kunjung berhenti. Tangannya sedikit bergetar. Otaknya penuh dengan ganda tanya. Kenapa dia tahu? Tidak mungkin… pasti hanya kebetulan.

“Sel?” bisik Megan di sebelahnya. “Lo kenapa?”

“I’m fine, cuma pusing dikit,” jawab Selina cepat, berusaha menjaga ekspresi.

Baskara sudah melanjutkan pembahasan, tapi matanya sesekali melirik ke arahnya. Selina merasa ada yang aneh dengan dosennya hari ini. Tidak biasanya dia sesering ini melirik ke arahnya.

Baskara menikmati ketegangan itu. Dia merasa puas setiap melihat Selina kebingungan—dia membuat dunianya dimainkan.

“Sorry ya, Sel. Gara-gara gua gak bisa jawab… lo jadi samsak tinju dia,” bisik Tessa, berhati-hati takut ditunjuk lagi oleh Baskara. Selina hanya menggeleng pelan dan tersenyum lemas.

Apa maksudnya ini? Setiap tatapan… setiap kalimat… seperti diajukan kepada dirinya.

Sialnya, Selina tidak tau… apakah itu kebetulan atau dosen itu sengaja main-main dengan pikirannya. Tapi.. untuk apa?

“Baik. Kita akhiri perkuliahan hari ini,” ujar Baskara singkat. “Minggu depan kita quiz, ya. Dari materi-materi yang sudah di bahas,” tambahnya yang membuat mahasiswa bersorak tidak senang.

“Oh… KM, kamu jangan pergi dulu,” ujar Baskara sambil menunjuk Selina.

Demi Tuhan, Selina sangat ingin mengutuknya langsung. Tidak bisakah dia lihat keadaanya sekarang? Untuk apa bersikap ramah di awal, kalau akhirnya menjadikannya target utama? Ngomong-ngomong… iya juga—sejak kapan Selina menjadi target Pak Baskara? Rasanya ingin menjambak rambut dosen itu sampai rontok.

Satu persatu mahasiswa keluar kelas, meinggalkan Selina, Megan, dan Tessa—kedua teman Selina menuntunnya jalan.

“Gua sama Megan tunggu di luar kelas, ya,” ujar Tessa. Selina mengangguk pelan.

“Ada apa, Pak?” tanya Selina. Dia benar-benar sudah tidak ada tenaga untuk debat ataupun menantang dosennya itu.

“Kamu beneran gak apa-apa?” Lagi-lagi nadanya melembut. Ini yang membuat kepalanya semakin pusing. Dia seperti sedang dipermainkan. Tidak adil rasanya.

“Yes, Sir. Saya masih oke,” jawab Selina sambil menunjukkan kedua jempolnya.

“Selina.”

Lagi-lagi suaru itu sangat tidak asing di telinganya. Selina sendiri merasa dirinya sedang dipermainkan oleh tubuhnya sendiri. Mana mungkin orang yang berbeda bisa memiliki nada yang sama saat memanggil namanya. Dia ingin sekali memukul kepalanya, tapi ditahan.

“Yes?”

“Kamu paham maksud diskusi tadi?” tanyanya datar.

Selina mengernyit. “Paham, Pak. Why are you asking me this now, Sir? Kenapa gak tadi pas kelas?” tanga Selina yang sudah tidak tahan dengan keganjalan hari ini.

Baskara hanya mengangkat bahunya. “Good. Saya cuma ingin memastikan.” Dia mencondongkan badannya yang terhalang meja, suaranya rendah. “Karena, beberapa orang lebih mudah jatuh ke lubang yang mereka gali sendiri tanpa sadar. Be careful.”

Selina terdiam. Dadanya sesak. Dia tidak tahan lagi. Kalimat yang sangat menjelaskan situasinya saat ini berputar-putar di kepalanya. Seketika pandangannga buram, dan saat itu juga dia hanya bisa mendengar namanya dipanggil berkali-kali.

1
Acap Amir
Keren abis
Seraphina: terima kasih kak🥺
total 1 replies
Desi Natalia
Jalan ceritanya bikin penasaran
Seraphina: terima kasih❤️ pantentung terus ya kak🥺
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!