Masa putih abu-abu mereka bukan tetang pelajaran, tapi tentang luka yang tak pernah sembuh.
Syla tidak pernah meminta untuk menjadi pusat perhatian apa lagi perhatian yang menyakitkan. Di sekolah, ia adalah bayangan. Namun, di mata Anhar, ketua geng yang ditakuti di luar sekolah dan ditakdirkan untuk memimpin, Syla bukan bayangan. Ia adalah pelampiasan, sasaran mainan.
Setiap hari adalah penderitaan. Setiap tatapan Anhar, setiap tawa sahabat-sahabatnya adalah duri yang tertanam dalam. Tapi yang lebih menyakitkan lagi adalah ketika Anhar mulai merasa gelisah saat Syla tak ada. Ada ruang kosong yang tak bisa ia pahami. Dan kebencian itu perlahan berubah bentuk.
Syla ingin bebas. Anhar tak ingin melepaskan.
Ini tentang kisah cinta yang rumit, ini kisah tentang batas antara rasa dan luka, tentang pengakuan yang datang terlambat, tentang persahabatan yang diuji salah satu dari mereka adalah pengkhianat, dan tentang bagaimana gelap bisa tumbuh bahkan dari tempat terang.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon @nyamm_113, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
SEPI DI KERAMAIAN
HAPPY READING
Jangan lupa follow akun instagram author @rossssss_011
“Kalian mau ke mana?” tanya Raka saat melihat kedua anaknya sudah rapi dengan traning masing-masing.
Dion masih duduk untuk mengikat sepatunya, sedangkan Syla meletakkan segelas teh hangat untuk Raka, di temani pisang goreng yang asapnya mengepul di udara menyatu dengan embun yang masih tersisa.
“Mau jalan-jalan di sekitaran sini kok, Yah,” jawab Syla, mengikat asal rambutnya yang sebahu.
Raka mengangguk, melanjutkan membaca koran berita. “Owh, hati-hati,” katanya.
Syla dan Dion mengangguk, mencium punggung tangan kanan Raka secara bergantian kemudian pamit. “Kita jalan dulu, Yah.”
Syla kembali menutup gerbang rumahnya setelah melihat Raka mengangguk, kemudian berjalan santai bersama Dion yang melakukan pemasan dengan heboh.
Minggu pagi di Bandung datang dengan nafas yang lebih pelan dari biasanya. Udara sejuk menyapa, menembus celah jendela dan menyinggahi kulit dengan sentuhan lembut yang membuat siapa pun enggan terburu-buru. Langit tampak seperti kanvas luas yang dicuci bersih semalaman, biru muda dengan sapuan tipis awan putih yang bergerak perlahan.
“Mau ke mana Neng Syla, Aa Dion? Rapi benar,” sapa salah satu warga di sana, seorang ibu rumah tangga.
Syla dan Dion tersenyum ramah. “Cuma mau jalan santai aja, Bu,” jawab Syla dengan ramah, dibumbui senyum tipis.
Ibu tersebut mengangguk. “Owh, ya sudah.” Setelahnya, ibu itu melanjutkan kembali kegiatan yang sempat tertunda.
Dion berbisik pelan saat mereka sudah sedikit jauh dari rumah ibu itu. “Kak,” bisik Dion sambil melirik ke belakang. “Ibu tadi kayaknya cuma SKSD,” lanjutnya.
“Hussttt, nggak boleh ngomong gitu,” tegur Syla, menutup mulut adiknya dengan satu tangan.
Ketenangan di hari minggu tak setenang harapan kebayakan orang. Dari kejauhan, deru mesin motor yang dipanaskan terdengar seperti alarm kota, saling bersahutan dengan suara yam jantan yang tak lelah menantang pagi. Burung-burung melompat di halaman, berkicau riang seolah sedang mengisi ruang kosong di antara bising mesin dan teriakan tukang yang memulai pekerjaannya. Suara gergaji kayu meringis udara, bercampur dengan dening palu, menciptakan harmoni yang aneh tapi akrab.
“Buset, apa daerah sini kalau hari minggu emang seribut ini ya, kak Syla?” tanya Dion setelah berhasil melewati gang yang membuatnya terheran-heran.
Syla hanya terkekeh pelan. “Namanya juga tinggal di kota, beda lagi kalau suasana desa saat pagi.”
“Mau ke mana dulu? Taman? Danau?” tanya Dion, mereka masih berjalan santai di atas trotoar.
“Taman masih sepi, mending kita ke danau aja dulu,” jawab Syla merangkul Dion yang tingginya hanya sebahu Syla, mungkin tahun depan Dion sudah lebih tinggi darinya.
Di jalanan, beberapa orang sudah menapaki aspal dengan langkah santai, ada yang berolahraga, ada pula yang sekedar berjalan sambil menyeruput kopi dari gelas plastik. Anak-anak kecil berlari mengejar bola yang memantul tak tentu arah, tawa mereka memecah udara dingin yang perlahan menghangat.
Bandung di hari minggu bukan sekedar kota, tapi sebuah orkestra. Sebuah simfoni di mana sejuk, bising, tawa, dan hiruk-pikuk berbaur, menciptakan melodi khas yang hanya bisa dimengerti oleh mereka yang benar-benar merasakan denyutnya.
“Loh, kak Syla kok malah lari sih?” Dion menatap punggung Syla yang perlahan tertelan oleh pejalan kaki lainnya. “Kak Syla! Tungguin Dion!”
&&&
“Pak, bubur ayamnya enam porsi. Tiga buburnya nggak usah pakai seledri sama nggak pedes, tiga laginya paket komplit.”
“Dibungkus atau makan di sini?”
“Bungkus aja.”
“Siap den, ditunggu ya.”
“Saya tunggu di sana pak.”
“Siap.”
Di sudut taman, di bangku panjang besi hitam duduk seorang laki-laki dengan celana traning hitam pedek hingga memperlihatkan otot kakinya, atasannya kaos putih ketat yang berhasil membentuk lekukan tubuhnya.
“Mana buburnya?” tanya pemuda tersebut, wajahnya merah setelah melakukan senam otot.
“Ngantri lah, Vin,” jawab Haikal ikut duduk.
Dua anggota inti Reapers itu baru saja melakukan jogging di sekitaran taman, sebelum kembali ke markas mereka berdua mendapat pesan dari Anhar untuk membeli sarapan.
“Gue ganteng kan, Kal?” tanya Vino tiba-tiba, kedua tangannya mengacak-acak rambutnya yang setangah basah.
Haikal yang sering mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Vino hanya menggeleng, namun tetap menjawab dengan senyum paksa. “Ganteng, sampai nenek-nenek di sana aja lirik lo.”
Vino menoleh cepat ke sisi kanannya, benar saja di ujung sana ada sekumpulan lansia bergerak pelan mengikuti irama senam pagi, tubuh renta mereka berayun serempak, tapi wajah mereka memancarkan semangat yang tak kalah dari anak muda.
Masih melakukan senam, namun para lansia tersebut masih menyempatkan mencuri pandangan ke pada kedua pemuda tampan menurut mereka.
“Buset, udah tua masih aja centil,” lirih Vino menggeleng pelan, membuat para lansia tersebut malah tersenyum kegirangan.
“Allahu akbar,” lirih Haikal saat melihat para lansia itu, membuat Vino terkekeh pelan.
“Hahah, itu bukti kalau gue emang benar-benar ganteng. Buktinya, nenek-nenek aja ngelirik gue,” ucapnya bangga merangkul Haikal.
“Bangga amat lo,” balas Haikal.
Saat sedang asik membahas para lansia dan ketampanan Vino, tanpa sengaja Haikal melihat sosok yang familiar. Bola matanya terbuka lebar saat melihat objek di depannya, bahkan untuk memastikannya lagi dia sampai berdiri.
“Vin, itu murid beasiswa bukan sih?” tanyanya hampir berbisik.
Vino melirik Haikal yang berdiri di sebelahnya, ikut bangkit dan melihat apa yang Haikal katakana. “Mana?”
“Tuh, dia bukan sih? Dia bareng cowok? Adeknya?” cecar Haikal.
“Den, buburnya sudah jadi!”
Suara keras dari sisi lain membuat mereka tak membalikkan badan, seolah objek yang mereka lihat begitu menarik hingga melupakan bubur ayam yang mereka pesan.
“ADEN! BUBUR AYAMNYA NIH!”
“Eh! Astaghfirullah, sampai lupa sama buburnya,” lirih Haikal. “Gue ke sana dulu, lo tunggu di sini.”
Vino hanya mengangguk, saat kembali melihat ke depan. Sosok yang mereka sebut duduk di bangku tak jauh dari tempat mereka saat ini.
“Dia tinggal di sekitar sini?” tanyanya entah pada siapa, sedetik kemudian dia menggeleng kuat. “Dih, ngapain juga gue kepo.”
&&&
“Gimana penawaran gue?” tanya Refan tersenyum penuh arti, duduk di sofa usang dengan kaki menyilang.
Di depannya ketua geng Galaksi dari SMA 1 Bandung, kedua sikunya masing-masing menyangga di atas lututnya dengan sorot mata penuh perhitungan pada Refan. Dia memang tidak suka dengan geng Reapers, walau begitu dia tidak pernah lebih dulu menyerang.
“Keuntungan gue apa?” tanyanya.
Ramon dan Refan hanya di pisahkan oleh meja, mereka tidak berdua, ada banyak anggota geng Galaksi di ruangan ini. Karena saat ini Refan berada di markas geng Galaksi bersama wakilnya, yaitu Dandi.
“Kalau kita kerja sama ngalahin Reapers, dan buat semua anggotanya tunduk termasuk Anhar. Lo bisa dapat lokasi strategis buat bisnis lo.”
Ramon tersenyum licik. “Hahah, lo yakin bisa menang kali ini?” tanyanya. “Bukannya lo selalu kalah?”
Refan menarik kedua ujung bibirnya. “Gue cuma kalah di kekuatan aja, Ramon.”
“Apa bedanya?”
“Gue cuma mau Anhar dan semua anggotanya tunduk, selebihnya gue nggak peduli. Untuk itu lo gabung, lo dapat untung.”
“Gue pikirin lagi.”
“Lo tahu, lokasi yang mereka punya itu banyak. Salah satunya rel mati, lo bisa jalanin bisnis lo di sana tanpa takut diciduk.”
“Kalau gagal, gue dapat apa?”
“Nggak akan gagal, selama lo main licik.”
“Ckkk.”
&&&
Syla duduk di bangku taman, sudah sepuluh menit dia melihat layer ponselnya tanpa peduli sekitar taman yang mulai ramai. Bahkan Dion sudah berbaur dengan anak-anak yang sedang bermain bola.
“Mas Haidar apa kabar di sana?” lirihnya menatap langit biru yang cerah, kedua matanya terasa perih kalah mengingat kilasan memori ketika sosoknya masih bersama mereka.
Sorot matanya redup, seakan di balik tatapan itu ada sesuatu yang tertahan. Sebuah rindu yang tak pernah sempat ia ucapkan, rindu paada sosok kakak yang telah lama pergi, meninggalkan ruang kosong di hati orang-orang yang ditinggalkan.
“Andai aja mas Haidar masih di sini, ayah sama ibu nggak mungkin pisah. Dan Dion…” Syla menatap adik laki-lakinya yang berlari mengejar bola dengan tawa tanpa beban.
“Dion nggak akan kehilangan peran ibu, mas Haidar.”
Syla menghela napas panjang. Meski dikelilingi banyak orang, meski suara kehidupan begitu riuh di sekitarnya, ia tetap merasa sendiri. Seakan dirinya hanyalah titik kecil yang terjebak dalam dunia ramai, tanpa benar-benar punya arah untuk pulang.
Siapa Haidar? Dan apa hubungan Syla dan Haidar?
KAYAK BIASA YA BESTIE😌
KOMENNYA JANGAN LUPA, LIKENYA JANGAN KETINGGALAN JUGA YA, KARENA SEMUA ITU ADALAH SEMANGAT AUTHOR 😁😉😚
JANGAN LUPA TINGGALKAN JEJAK 👣 KALIAN DAN TERIMA KASIH BANYAK KARENA MASIH TETAP BETAH DI SINI😗😗🙂🙂
SEE YOU DI PART SELANJUTNYA👇👇👇
PAPPAYYYYY👋👋👋👋👋👋👋👋👋👋👋