NovelToon NovelToon
SANG JENDERAL

SANG JENDERAL

Status: sedang berlangsung
Genre:Enemy to Lovers / Cintapertama
Popularitas:1.3k
Nilai: 5
Nama Author: Lia Ap

Yuna seorang dokter muda jenius di pindah tugaskan ke area baku tembak.. Dan pertemuannya membawa nya pada Kenzi sosok dokter senior yang kaku dan dingin... Serta Jendral dari base musuh, menjadi cinta segitiga yang rumit..

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lia Ap, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Ketegangan

Lampu ICU berpendar redup, menciptakan bayangan samar di dinding. Monitor jantung di samping ranjang Yura berdetak teratur, beep… beep… beep… – suara yang jadi satu-satunya penanda bahwa gadis itu masih hidup setelah kejadian di tebing.

Hening mendominasi ruangan, seolah udara sendiri takut bergerak.

Yura terbaring dengan mata setengah terbuka. Pandangannya masih kabur, cahaya lampu menyilaukan. Kepalanya terasa berat, setiap tarikan napas perih, dan ia hanya bisa merasakan dingin dari selang infus yang menusuk lengannya. Kesadarannya kembali sedikit demi sedikit, dan suara samar mulai masuk ke telinganya.

“Yura…? Hei, kau dengar aku?” suara Fara terdengar pelan di dekat telinganya, bergetar antara lega dan takut.

Yura berusaha memutar kepala. Pandangannya menangkap siluet Fara yang duduk di kursi samping, matanya sembab.

“Fara…” suara Yura serak, hampir tak terdengar. “Kita… di mana?”

“Di rumah sakit pusat kota. Kau… sudah aman sekarang,” Fara berusaha tersenyum, tapi suaranya pecah. “Kau… nyaris mati, Yura.”

Sebelum Yura bisa bertanya lebih lanjut, pintu ICU berderit terbuka. Udara di ruangan berubah. Mark masuk lebih dulu, tubuh tegapnya mendominasi, seragamnya masih bernoda darah dan lumpur dari misi penyelamatan.

Kenzi menyusul di belakangnya, wajahnya datar tapi matanya jelas menyimpan sesuatu yang sulit ditebak. Yuda masuk terakhir, berdiri di sudut ruangan, jelas tak nyaman.

Mark berjalan pelan menuju ranjang, tatapannya hijau dingin langsung menancap pada Yura.

“Kau akhirnya sadar,” suaranya berat, bukan lega—lebih seperti perintah agar Yura bertahan hidup.

Yura menelan ludah, jantungnya berdetak sedikit lebih cepat. “Mark… Kenzi… apa yang sebenarnya… terjadi?”

Kenzi mendekat, berdiri di sisi ranjang, sementara Mark tetap di kaki ranjang, seperti penjaga yang mengintai. Keheningan singkat terasa mencekik sebelum akhirnya Fara bicara.

“Kau jatuh… dari tebing. Kepalamu terbentur batu. Kau kehilangan banyak darah, Yura. Kami pikir… kami akan kehilanganmu.”

Yura mengerjap, berusaha mengingat. Potongan gambar berkelebat – langkahnya di pinggir tebing, Mina di belakangnya, tanah licin, dorongan halus… lalu gelap. Ia menelan ludah, matanya beralih pada Kenzi. “Jadi… kecelakaan?”

Kenzi menatapnya tajam, tapi suaranya tenang. “Tidak. Mina mendorongmu.”

Ruangan hening. Hanya suara monitor jantung yang terdengar. Yura menatap Kenzi tak percaya. “Apa…? Tidak mungkin. Mina… dia… temanku.”

Mark menyela, suaranya rendah namun tajam. “Teman yang hampir menguburmu di dasar jurang.”

“Dia… kenapa?” suara Yura bergetar, nyaris berbisik.

Mark melangkah mendekat, berdiri tepat di sisi ranjang. Sorot matanya menusuk. “Karena kau mencuri sorotan semua orang. Dari Kenzi… dari siapapun. Cemburu. Itu cukup baginya untuk mencoba membunuhmu.”

Fara menunduk, matanya berkaca-kaca. Yuda menghela napas panjang. Kenzi hanya menatap Yura, matanya menyiratkan rasa bersalah yang tak ia ucapkan.

Yura menutup mata, air mata menetes di sudut. “Aku… nyaris mati hanya karena itu?”

Mark menunduk sedikit, suaranya dingin. “Ya. Dan kalau aku terlambat satu menit, kau sudah tak bernapas sekarang.”

Yura menatap Mark, matanya bergetar. “Kenapa… kau yang menyelamatkanku? Kau bahkan… musuh di tanah ini.”

Mark menatap balik tanpa berkedip. “Karena aku tak peduli siapa musuhku atau sekutuku. Aku hanya tidak suka melihatmu mati.”

Kenzi menoleh cepat pada Mark, alisnya berkerut. “Apa maksudmu? Kau—”

“Aku tidak bicara padamu,” potong Mark, tatapannya tetap pada Yura. “Kau tidak ada di jurang itu. Kau tidak melompat melewati batu dan risiko peluru musuh. Aku yang lakukan.”

Kenzi maju setapak, nadanya meninggi. “Dan kau lakukan itu karena apa? Karena dia dokter yang berguna? Atau karena kau… tertarik padanya?”

Mark menoleh perlahan pada Kenzi, matanya berkilat hijau pekat. “Kalau aku tertarik… lalu apa? Kau mau larang aku? Dia bukan milikmu.”

Udara di ruangan itu menegang. Fara menoleh ke Yuda dengan tatapan panik, tapi keduanya tak berani bicara.

Yura menutup mata, suaranya lirih. “Kalian… hentikan. Aku tidak butuh pertengkaran ini sekarang.”

Kenzi menatap Yura, suaranya lebih lembut. “Kau butuh tahu, Yura. Orang-orang di sekitarmu… tidak semuanya jujur. Aku… seharusnya lebih cepat melindungimu. Aku yang seharusnya ada di sana sebelum semua ini terjadi.”

Mark mendecak pelan. “Dan nyatanya tidak. Jadi jangan bicara seolah kau pahlawan di sini.”

Kenzi menoleh, tatapannya tajam pada Mark. “Kau pikir kau siapa? Kau datang dari luar, membawa pasukanmu, ikut campur urusan kami… dan sekarang kau bertindak seperti kau berhak atas hidupnya?”

Mark melangkah lebih dekat, jarak mereka hanya satu langkah. Suaranya turun, tapi tajam.

“Aku mungkin orang asing di sini. Tapi akulah yang memegang tubuhnya yang berlumuran darah itu, akulah yang melompat ke jurang tanpa pikir panjang, dan akulah yang pastikan dia bernapas sampai di meja operasi. Sementara kau… hanya datang setelah semuanya selesai.”

Kenzi mengepalkan tangan. “Kalau bukan karena pasukanmu, mungkin situasi di desa ini tak separah ini!”

“Cukup!” Yura bersuara, meski lemah, memotong perdebatan. Air mata jatuh di pipinya. “Kalian berdua… aku baru saja kembali dari ambang kematian. Dan kalian bertengkar soal siapa yang paling… peduli padaku? Ini bukan waktunya.”

Ruangan terdiam. Hanya suara napas berat Mark dan Kenzi yang terdengar, sementara Fara berusaha menenangkan Yura dengan memegang tangannya.

Yura menatap mereka berdua, meski matanya berat. “Kenzi… aku tahu kau khawatir. Dan Mark… aku tidak tahu kenapa kau benar-benar menyelamatkanku. Tapi… aku tidak bisa menjadi alasan kalian saling menghancurkan.”

Mark menatap Yura, matanya sedikit melunak tapi masih tajam. “Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakitimu lagi. Termasuk dia,” tatapannya melirik pintu seakan menunjuk pada Mina yang sudah ditahan.

Kenzi menahan napas, suaranya lebih tenang. “Aku janji… aku tidak akan biarkan hal seperti ini terjadi lagi. Tapi kau harus tahu… kehadiran Mark di sini hanya membawa bahaya lebih besar.”

Mark mendekat sedikit pada Yura, suaranya pelan tapi jelas terdengar semua orang. “Kalau aku membawa bahaya… maka biarkan aku yang menanggungnya. Kau fokus sembuh. Sisanya… biar aku urus.”

Yura memejamkan mata, kelelahan, tapi air matanya jatuh. Fara menggenggam tangannya erat, sementara Yuda akhirnya bicara. “Kalian semua… apa kalian sadar? Kita bahkan belum selesai dengan ancaman pemberontak. Dan sekarang… kalian malah berperang di ruangan ini.”

Mark berdiri tegak, menatap semua orang. “Mulai sekarang, siapa pun yang menyentuh Yura… akan berurusan denganku. Aku tak peduli kawan atau lawan.”

Kenzi menatap balik, suaranya datar. “Kalau kau pikir aku akan takut… kau salah.”

Udara kembali menegang, tapi suara monitor jantung Yura menjadi penengah. Beep… beep… beep… – mengingatkan semuanya siapa yang sebenarnya jadi pusat semua ini.

Yura membuka mata perlahan, suaranya lirih. “Kalian… janji padaku. Hentikan pertengkaran ini. Kalau tidak… aku akan pergi. Dari sini. Dari semuanya.”

Keheningan. Mark menatapnya, rahangnya mengeras, lalu perlahan mengangguk. “Baik. Untuk sekarang.”

Kenzi menarik napas panjang, lalu memalingkan wajah. “Aku akan pastikan Mina mendapat hukuman yang pantas. Itu langkah pertama.”

Fara menatap Yura, tersenyum tipis meski air matanya jatuh. “Kau aman sekarang. Itu yang terpenting.”

Dan untuk pertama kalinya malam itu, meski udara tetap tegang, ruangan ICU terasa sedikit lebih damai—meski jelas, badai di luar sana belum benar-benar reda.

\=\=\=

Mark berdiri di ujung lorong, tubuhnya bersandar di dinding dengan tangan terlipat, sementara Kenzi berjalan keluar dari ruang ICU setelah memastikan kondisi Yura stabil.

Begitu pintu menutup, tatapan keduanya bertemu. Tak ada kata sapaan. Hanya ketegangan yang segera terasa.

Mark meluruskan tubuhnya, langkahnya pelan mendekati Kenzi. “Kau tampak gelisah,” suaranya rendah, nada sinis samar terdengar. “Takut karena aku yang selamatkan dia… bukan kau?”

Kenzi menatapnya datar. “Aku gelisah… karena dia hampir mati. Bukan karena siapa yang menyelamatkannya.”

Nada suaranya dingin, tapi tatapan matanya jelas penuh kemarahan yang ditahan.

Mark mendekat lebih jauh, jaraknya kini hanya setengah meter. Mata hijau tajamnya berkilat di bawah cahaya lorong. “Kau bisa bilang begitu… tapi aku tahu apa yang sebenarnya kau rasakan. Kau muak karena dia melihatku lebih dulu sebelum melihatmu.”

Kenzi mengepalkan tangannya, tapi suaranya tetap terkendali. “Yang kuinginkan hanya Yura selamat. Tidak lebih. Kau… kau hanya memanfaatkan situasi. Datang sebagai ‘pahlawan’ agar dia melihatmu berbeda.”

Mark mendecak, mendekat lebih lagi hingga hampir berhadapan. “Kalau aku benar-benar memanfaatkan situasi… aku tak perlu melompat ke jurang itu. Aku bisa biarkan dia mati. Tapi aku tidak. Dan itu… fakta yang tidak bisa kau hapus.”

Kenzi menghela napas, tapi nada suaranya meninggi. “Kau menyelamatkannya… tapi kau juga membawa perang ke wilayah ini. Kau sadar, kan? Pasukanmu… dan kehadiranmu… yang jadi alasan pemberontak asing makin brutal di Namura. Kalau kau benar-benar peduli pada Yura… kau harus pergi.”

Mark tertawa kecil, dingin. “Pergi? Dan biarkan dia berada di tangan orang-orang yang bahkan tak bisa melindunginya dari rekan timnya sendiri?” Sorot matanya menajam. “Aku tahu Mina… tapi kau juga bersalah. Kau biarkan ancaman itu ada di dekat Yura tanpa bertindak.”

Kenzi menahan napas, matanya menyipit. “Kau tak tahu apa-apa tentang timku. Tentang kami. Jangan sok tahu hanya karena kau… tertarik padanya.”

Mark bergerak cepat, menahan bahu Kenzi dan mendorongnya ke dinding. Suara dentuman kecil terdengar, membuat perawat di ujung lorong terkejut dan berhenti sejenak.

“Dengarkan aku baik-baik,” suara Mark nyaris berbisik tapi penuh ancaman. “Aku tidak peduli dengan timmu. Aku hanya peduli dia tetap bernapas. Jadi, kalau kau benar-benar mau dia selamat… jangan berdiri di jalanku.”

Kenzi menatap Mark, rahangnya mengeras. “Kalau aku tidak mau?”

Mark mendekat, suaranya lebih berat. “Kalau kau tak mau… maka kau musuhku. Sama seperti semua orang yang mencoba menyakitinya.”

1
Anonymous
Lanjut
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!