NovelToon NovelToon
Keluarga Langit

Keluarga Langit

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Sci-Fi / Cinta setelah menikah / Keluarga
Popularitas:632
Nilai: 5
Nama Author: Saepudin Nurahim

Di tahun 2032, keluarga Wiratama mengikuti program wisata luar angkasa perdana ke Mars—simbol harapan manusia akan masa depan antarplanet. Namun harapan itu berubah menjadi mimpi buruk, ketika sebuah entitas kosmik raksasa bernama Galactara menabrak jalur pesawat mereka.

Semua penumpang tewas.
Semua… kecuali mereka berempat.

Dikubur dalam reruntuhan logam di orbit Mars, keluarga ini tersentuh oleh sisa kekuatan bintang purba yang ditinggalkan Galactara—pecahan cahaya dari era pertama semesta. Saat kembali ke Bumi, mereka tak lagi sama.

Rohim, sang Suami, mampu mengendalikan cahaya dan panas matahari—melindungi dengan tangan api.

Fitriani, sang Istri, membentuk ilusi bulan dan mengendalikan emosi jiwa.

Shalih anak pertama, bocah penuh rasa ingin tahu, bisa melontarkan energi bintang dan menciptakan gravitasi mikro.

Humairah anak kedua, si kecil yang lembut, menyimpan kekuatan galaksi dalam tubuh mungilnya.

Bagaimana kisah sebuah keluarga ini ?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Gerbang Menuju Bintang

Seminggu berlalu begitu cepat, seolah waktu mempercepat lajunya untuk mengejar takdir. Rumah keluarga Wiratama di Kota Batara Raya kini diselimuti oleh kesibukan yang menyenangkan sekaligus memusingkan. Koper-koper berukuran jumbo berserakan di ruang keluarga, isinya campur aduk antara pakaian musim dingin, perlengkapan pribadi, hingga boneka beruang kesayangan Humairah. Aroma karamel dari kopi pagi beradu dengan bau laundry yang baru diangkat, menciptakan chaos yang hangat.

Fitriani Ayu Dewi, dengan rambutnya yang dikuncir kuda asal-asalan dan wajah sedikit berkeringat, sibuk mengecek daftar barang di tabletnya. Ia mengenakan kaus rumahan dan celana pendek, tangannya lincah melipat baju Shalih yang baru dikeluarkan dari lemari. Di dekatnya, Humairah Wulanindri merangkak ceria, menarik-narik ujung selimut yang hendak dilipat.

"Ayah, kamu yakin semua dokumen sudah di tas tangan? Paspor, visa, surat undangan International Space Travel Consortium, surat kesehatan anak-anak?" tanya Fitriani, suaranya sedikit tegang namun tetap terkontrol. Ia menoleh ke arah suaminya yang sedang duduk santai di sofa, mata Rohim Wiratama terpaku pada layar televisi lebar di depannya.

Rohim tidak langsung menjawab. Matanya menyipit, fokus pada siaran berita yang tengah menampilkan breaking news. Di layar, sebuah gedung pencakar langit megah dengan logo unik berbentuk pena dan roda gigi terpampang jelas: PT Harapan Jaya. Narator berita bersemangat mengumumkan ekspansi perusahaan teknologi itu.

"Ini dia, berita paling membanggakan bagi bangsa kita, pemirsa! PT Harapan Jaya, perusahaan teknologi kebanggaan Indonesia, terus melebarkan sayapnya! Setelah sukses besar di Asia, kini mereka resmi membuka cabang-cabang baru di benua Afrika, Amerika, bahkan Eropa! Produk-produk teknologi inovatif mereka yang berpihak pada rakyat kecil, seperti sistem irigasi pintar hemat air dan perangkat pengisi daya portabel bertenaga surya mini, telah mengubah hidup jutaan masyarakat di berbagai belahan dunia!" Suara narator begitu antusias, diiringi cuplikan video warga Afrika yang tersenyum riang mendapat akses air bersih, dan petani di Eropa yang memanfaatkan teknologi irigasi pintar dari PT Harapan Jaya.

Sebuah senyum tipis terukir di bibir Rohim. Ia tahu persis siapa di balik kejayaan PT Harapan Jaya ini. Bukan hanya sekadar CEO, tapi juga sosok yang lebih besar dari itu. Taqi Dirgantara.

"Pemerintah Indonesia menyampaikan kebanggaan dan apresiasi setinggi-tingginya atas kontribusi PT Harapan Jaya yang telah mengharumkan nama bangsa di kancah internasional! Ini adalah bukti bahwa inovasi dan kepedulian sosial bisa berjalan beriringan!" Lanjut narator berita, menampilkan wajah Menteri Perindustrian yang tersenyum lebar.

Rohim menghela napas, rasa bangga juga menyelimuti dadanya. Ia tahu betul, di balik figur CEO yang karismatik dan perusahaan yang dermawan itu, ada rahasia yang tidak diketahui banyak orang. Taqi Dirgantara bukan hanya seorang CEO, tapi juga The Closer, seorang superhero sekaligus urban legend paling terkenal di Jakarta. Sosok yang selalu bergerak di balik layar untuk "menutup ketidakadilan" dengan pena emas Rukawinya. Rohim hanya mengetahui fakta ini dari sumber-sumber terpercaya di kalangan industri teknologi dan penelitian energi alternatif, di mana desas-desus tentang keberadaan The Closer sudah bukan lagi gosip semata, melainkan kenyataan yang diakui secara sembunyi-sembunyi oleh mereka yang "tahu".

Melihat PT Harapan Jaya yang berjuang untuk rakyat kecil, Rohim merasa ada koneksi. Ini bukan hanya tentang bisnis, ini tentang visi yang sama: membawa kebaikan melalui teknologi.

"Ayah! Dengar enggak sih aku ngomong apa?" Suara Fitriani menyentaknya dari lamunan. Ia sudah berdiri di samping sofa, tangan kanannya berkacak pinggang, sementara tangan kirinya masih menggendong Humairah. Ekspresinya antara kesal dan lucu. "Paspor! Visa! Kamu dengerin aku enggak sih?!"

Rohim tersentak, menoleh ke arah istrinya. Ia terkekeh canggung. "Eh, dengar, Sayang. Dengar kok. Semua dokumen sudah di tas tangan kok. Sudah aku cek dua kali," jawabnya, berusaha meyakinkan. Ia meraih tangan Fitriani, mencoba meraih hatinya. "Aku cuma... lagi kagum sama PT Harapan Jaya ini. Lihat deh, mereka sudah menyebar ke seluruh dunia. Keren banget, kan?" Ia menunjuk layar TV.

Fitriani melirik sekilas, lalu memutar bola matanya. "Iya, iya, keren. Tapi yang lebih keren itu kalau kita enggak ketinggalan pesawat gara-gara kamu kebanyakan nonton berita. Ini barang-barang kok masih berantakan semua sih, Yah?" nada suaranya berubah menjadi lebih manja, tapi tetap ada tuntutan di sana. Ia menggeser bahunya, sedikit memajukan wajahnya ke arah Rohim, ekspresi seolah ingin merajuk.

Tiba-tiba, Shalih Wiradipa muncul dari balik tumpukan koper, ia mengenakan kaus bergambar astronot yang sedikit kebesaran. Matanya berbinar melihat barang-barang berserakan. "Wah, banyak mainan baru!" serunya riang, lalu tanpa aba-aba, ia mengambil salah satu kaus kaki Rohim yang terlipat rapi di atas koper, dan melemparkannya ke atas kepala Humairah.

"Hahaha!" Humairah terkekeh geli saat kaus kaki itu mendarat di rambutnya, pipinya gembil karena tertawa. Ia meraih kaus kaki itu dengan tangan mungilnya, mencoba memasukkannya ke dalam mulut.

"Shalih! Itu bukan mainan!" Fitriani berteriak, antara tertawa dan jengkel. Ia dengan cepat menyingkirkan kaus kaki dari tangan Humairah. "Ya ampun, ini kapan beresnya kalau gini terus?" Ia menghela napas panjang, menatap Rohim dengan tatapan memelas.

Rohim bangkit dari sofa, berjalan mendekati istrinya. Ia memeluk Fitriani dari belakang, menumpukan dagunya di bahu istrinya. "Sabar, Sayang. Namanya juga persiapan. Chaos begini kan bagian dari petualangan," bisiknya, mengecup leher Fitriani. Tangannya bergerak membantu melipat selimut yang tadi dipegang Fitriani.

"Petualangan yang bikin sakit kepala!" Fitriani mengomel, tapi senyum tipis mulai muncul di bibirnya. Ia menyandarkan punggungnya ke dada Rohim, menikmati dekapan hangat suaminya. "Udah, yuk, bantu aku. Shalih, jangan berantakin lagi ya, Nak!"

Shalih sudah lari ke arah lain, mencoba masuk ke dalam salah satu koper kosong yang terbuka, kakinya menjulur ke atas. "Aku mau ke Mars!" serunya dari dalam koper, suaranya teredam.

Fitriani dan Rohim saling pandang, lalu tertawa bersama. Di tengah kekacauan barang-barang dan kegembiraan anak-anak, ada kehangatan yang tak tergantikan. Mereka tahu, semua ini adalah bagian dari perjalanan besar yang akan mengubah hidup mereka.

Beberapa jam kemudian, rumah sudah lebih rapi. Koper-koper sudah tertutup rapat, berjejer di dekat pintu utama, siap untuk diangkut keesokan harinya. Keluarga Wiratama kini sedang menikmati makan siang terakhir mereka di rumah sebelum berangkat ke Amerika. Aroma soto ayam hangat memenuhi ruang makan.

"Jadi, minggu depan kita langsung ke Houston ya, Yah?" tanya Fitriani, menyuapkan sesendok soto ke mulut Shalih.

"Iya, Bu. Dari Houston nanti langsung ke fasilitas pelatihan. Terus baru ke stasiun peluncuran," jawab Rohim, mengambil potongan daging ayam dari piringnya. "Kata pihak konsorsium, nanti kita akan bertemu dengan keluarga peserta lain dari berbagai negara. Ada yang dari Jepang, dari Jerman, dari Brasil... Bakal seru deh!" Matanya berbinar membayangkan petualangan baru.

Shalih menyahut dengan mulut penuh makanan. "Nanti Shalih main sama teman baru di roket, ya, Ayah?"

"Tentu saja! Tapi jangan nakal di sana ya," Rohim mencubit pipi Shalih gemas.

Humairah, yang duduk di kursi bayinya, hanya menggumam tak jelas, menunjuk mangkuk soto dengan tangannya yang gembil. Fitriani tersenyum, menyuapkan nasi dan sedikit kuah soto ke mulut putrinya.

Meskipun ada kegembiraan, ada juga nuansa ketegangan yang samar. Perasaan campur aduk seperti yang Fitriani rasakan semalam masih ada, namun kini lebih terpendam di balik euforia persiapan. Rohim sendiri juga merasakannya. Ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah lompatan ke masa depan yang tidak diketahui.

Selesai makan siang, Rohim mengajak Shalih dan Humairah bermain di taman belakang. Fitriani memilih untuk membereskan sisa makan siang, pikirannya melayang-layang. Ia mengusap sisa kuah soto di pipi Humairah, menatap wajah polos putrinya.

Kita benar-benar akan ke Mars, batin Fitriani. Ini bukan mimpi lagi.

Ia berjalan ke arah dapur, meletakkan piring-piring kotor di wastafel. Dari jendela dapur, ia bisa melihat Rohim yang sedang menggendong Humairah sambil mengayun-ayunkan Shalih di ayunan. Pemandangan itu begitu hangat, begitu sempurna. Sebuah keluarga kecil yang bahagia, tak tahu apa yang menanti mereka di balik bintang.

Rohim tahu risiko dari perjalanan ini. Ia juga tahu bahwa keputusannya untuk memperjuangkan Project Tesla Nova tidak akan tanpa perlawanan. Tapi ia percaya, takdir sudah membawa mereka ke jalur ini. Mungkin, perjalanan ke Mars ini, dan segala hal tak terduga yang akan mereka hadapi, adalah bagian dari takdir mereka untuk menjadi lebih dari sekadar keluarga biasa.

Di ujung hari, saat bintang-bintang mulai tampak di langit Batara Raya, keluarga Wiratama berkumpul di ruang keluarga. Mereka memutar film keluarga lama, menonton video saat Shalih pertama kali belajar berjalan, atau saat Humairah mengucapkan kata pertamanya. Tawa dan air mata haru memenuhi ruangan. Itu adalah momen perpisahan sementara dengan Bumi, dengan kenangan-kenangan yang telah mereka ukir di sana.

Rohim menatap Fitriani yang sedang menyandarkan kepala di bahunya. "Siap, Bu?" bisiknya.

Fitriani mendongak, matanya menatap Rohim dalam. Ada campuran keteguhan, cinta, dan sedikit rasa gentar yang tersisa di sana. "Siap, Yah. Aku siap. Kita siap," jawabnya, menggenggam tangan Rohim erat.

Mereka berdua tahu, perjalanan ini akan menjadi titik balik. Sebuah portal menuju petualangan yang sesungguhnya, yang akan menguji batas kemampuan dan keberanian mereka. Petualangan yang mungkin akan mengungkap rahasia-rahasia semesta, dan mungkin juga, kekuatan tersembunyi di dalam diri mereka sendiri. Mereka adalah keluarga biasa, tapi siap menghadapi takdir luar biasa yang menunggu di antara bintang-bintang.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!