Heera Zanita. Besar disebuah panti asuhan di mana dia tidak tahu siapa orang tuanya. Nama hanya satu-satunya identitas yang dia miliki saat ini. Dengan riwayat sekolah sekedarnya, Heera bekerja disebuah perusahaan jasa bersih-bersih rumah.
Disaat teman-teman senasibnya bahagia karena di adopsi oleh keluarga. Heera sama sekali tidak menginginkannya, dia hanya ingin fokus pada hidupnya.
Mencari orang tua kandungnya. Heera tidak meminta keluarga yang utuh. Dia hanya ingin tahu alasannya dibuang dan tidak diinginkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dian Fauziah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
8
Suasana sepi langsung menyelimuti begitu aku masuk ke dalam pemakaman umum. Semilir angin menggoyangkan dahan, membuat daun kering berguguran. Mada berjalan tepat di depanku. Pria itu bahkan memakai kaca mata hitam saat ini.
Sampai di sebuah titik Mada berhenti. Di mana makam itu bertuliskan Heni Zanita. Aku diam sesaat, sampai aku terduduk lemas. Bayangan bertemu dan bertanya kenapa aku dibuang dan tidak diinginkan kini hilang sudah. Yang ada hanya air mata yang menetes karena sakit hati dalam diri ini.
Jika saja aku bisa bertemu di saat Ibu Heni masih sehat. Sayangnya semua hayalan itu tidak akan pernah terwujud. Bahkan kini aku menyesal kenapa dulu aku mengira jika dia tidak menginginkan aku. Bodohnya aku.
Kalimat doa dan permintaan maaf aku ucapkan. Semua yang ada dalam diriku baik keluh kesah aku tumpahkan semuanya di sana. Setidaknya aku bisa merasa lega karena mencurahkan hatiku pada orang yang sudah melahirkan ku.
Hampir satu jam aku menangis di sana. Sampai Mada duduk di sisiku, dia memberikan sapu tangan agar aku bisa menghapus tangis ini.
"Sudahlah. Tidak ada gunanya jika kamu hanya menangis di sini."
Aku hanya bisa mengangguk kecil. Setelah ini, aku memiliki tekat yang semakin bulat untuk menghancurkan keluarga Oma Melati. Bahkan Pak Arga karena dia sama sekali tidak membantu ibuku dulu.
*.*.*.*
Mada sudah berangkat ke kantornya saat aku pergi menemui Oma Mela. Bahkan pria itu memintaku untuk jaga diri. Jika ada sesuatu aku bisa langsung menelponnya. Ternyata setenang ini saat ada orang yang mau menjadi garda terdepan untuk kita.
Aku melihat kartu bank yang diberikan oleh Mada. Mada mengatakan jika semua uang di dalamnya adalah milikku. Sebagai bentuk nafkah darinya. Awalnya aku tidak mau menerima, tapi aku juga sadar tidak bisa hidup terus bergantung pada Mada. Apa lagi aku tidak bekerja, jadilah aku menerima uang itu.
Kafe Angelia. Sebuah mobil terparkir tepat di depannya. Mobil putih dengan seorang sopir yang duduk di dalamnya. Aku pernah melihat mobil itu saat akan ke kantor Home Clean.
Benar saja, Oma Melati langsung melambaikan tangannya begitu aku masuk. Tanpa peduli dengan yang lain aku langsung mendekat. Oma Melati memeluk diriku, bahkan dia mencium pipi kanan dan kiriku. Di luar ekspektasi ku yang dikenalnya hanya seorang tukang bersih-bersih.
"Maaf menunggu lama Oma."
"Tidak. Aku juga baru sampai."
"Mau pesan apa?"
"Ikut Oma saja."
Tidak lama pelayan kembali membawakan dua cangkir kopi. Sebenarnya aku tidak terllau suka kopi, tapi ini juga kesalahanku karena meminta menu yang sama dengan Oma Melati. Wanita itu menikmati kopi itu dengan tenang. Sampai dia kembali menatap pada diriku.
"Ada apa Oma meminta bertemu?"
"Sebenarnya Oma meminta bos mu agar kamu bisa bekerja di rumah Oma saja. Namun, Oma dengar kamu sudah berhenti bekerja. Ada apa?"
Bukan jawaban yang aku dapat, melainkan sebuah pertanyaan balik.
"Iya Oma. Ada urusan pribadi yang membuatku berhenti bekerja."
"Padahal Oma sangat ingin kamu bekerja untuk Oma."
"Apa karena Pak Arga?" tanpa sadar aku langsung menanyakan hal itu. Oma Melati bahkan hampir tersedak kopinya sendiri saat ini. Namun, buru-buru dia mencoba kembali tenang.
Sesaat tidak ada percakapan. Oma Melati menatap jauh keluar jendela. Sementara aku mencoba mengamatinya. Tidak mungkin dia ingin menemui ku hanya untuk ini.
"Sebenarnya, Oma berharap kamu mau bekerja untuk Oma memang karena Arga." Suara Oma Melati terdengar bergetar.
Aku tidak merespon dan memilih untuk mendengarkannya lebih dulu.
"Dulu, Arga memiliki seorang istri. Namanya Heni, dia meninggal karena serangan jantung. Padahal saat itu mereka tengah menantikan buah hati mereka."
Aku mencoba membayangkan apa yang terjadi saat itu. Hanya saja aku tidak bisa menggambarkannya.
"Sayangnya, anak yang dikandung Heni juga meninggal. Hal ini membuat Arga jatuh terpuruk. Bahkan dia tidak peduli lagi apa itu masa depan."
Jika aku belum tahu yang terjadi, mungkin aku akan merasa sedih dan terharu. Sayangnya aku sudah sedikit tahu tentang hal ini, jadi aku hanya bisa diam dan mendengarkan.
"Semangat Arga kembali saat melihatmu, Heera." Oma Melati menatap pada diriku. Membuat aku tertegun beberapa saat.
"Sorot matamu sama dengannya. Membuat Arga kembali teringat tentang masa lalunya."
"Semua itu tidak ada hubungannya denganku. Lalu kenapa aku harus bekerja di tempat anda?"
"Sebagai anak angkatnya. Aku akan membayarmu, berapapun itu."
Aku hanya bisa tertawa kecil. Oma Melati benar-benar belum tahu tentang diriku yang sebenarnya.
"Oma mohon Heera. Jika Arga bisa semangat lagi, perusahaan akan kembali membaik. Keluarga Hilmar tidak akan sekacau ini."
"Aku akan pikirkan dulu Oma. Aku sudah menikah, tidak mungkin aku mengambil keputusan sendiri di saat ada suamiku."
"Kau sudah menikah?"
"Iya. Belum satu bulan, ini juga alasan aku berhenti bekerja."
"Begitu ya, tapi Oma mohon kamu pertimbangkan hal ini. Ya?"
"Aku akan pertimbangkan Oma."
"Terima kasih Heera."
"Sama-sama Oma."
Obrolan santai terjalin. Oma Melati banyak bercerita tentang keluarga Hilmar. Bahkan tentang pertunangan Elvi dan Mada. Berarti, Elvi belum memberi tahu Oma Melati jika Mada sudah menikah dengannya.
Sebenarnya aku sudah punya jawaban untuk penawaran itu. Aku, akan menerimanya dan mendekati Pak Arga. Jika dia menganggap aku anak, dia pasti akan menceritakan masa lalunya dengan Ibu Heni. Hal ini juga bisa membuatku tahu siapa diriku sebenarnya. Apa anak yang dibuang atau anak yang memang tidak diinginkan.
Tidak lama Oma Melati mendapat sebuah telfon. Dia buru-buru berpamitan padaku. Aku yang memang sudah bosan mengangguk dengan senyuman. Mempersilahkan Oma Melati untuk pergi lebih dulu. Baru setelah beberapa saat aku juga pergi tapi bukan ke apartemen. Ke rumah kecilku karena akan ada seorang penyewa.
Dengan taksi akhirnya aku sampai juga. Sayangnya bukan penyewa yang aku lihat. Melainkan Rian yang tengah duduk di teras rumah. Begitu melihatku dia langsung berdiri dan mendekat. Hampir memelukku jika aku tidak menghindar.
"Kamu kemana saja? Setiap hari aku menunggu kamu pulang."
"Bukan urusanmu. Kenapa juga kamu masih di sini?" tanyaku pada Rian yang masih setia mengembangkan senyuman di wajahnya.
"Aku rindu sama kamu Ra. Mau nggak nanti malam kita makan bersama."
"Tidak."
"Kok nolak sih. Ayolah Ra. Melepas rindu."
Aku tidak peduli dengan semua ocehan Rian. Bahkan aku memilih menghubungi orang yang akan menyewa rumah ini. Sampai tiba-tiba Rian menarik tanganku dengan kasar.
"Ini cincin apa?" tanya Rian dengan wajah memerah dan tatapan marah.
Aku tidak menjawab dan memilih menarik kembali tanganku.
"Kamu nikah? Sama siapa?"
Aku masih tidak peduli.
"Kamu berani selingkuh dariku. Aku akan buat kamu paham konsekuensi jika berani berkhianat dari Rian."
Rian hampir memukulku saat Mada datang menariknya mundur.
"Mada."
"Kenapa kamu kesini tidak bilang padaku?"
"Maaf. Ada yang akan menyewa jadi aku memilih kesini."