"Ta–tapi, aku mau menikah dengan lelaki yang bisa memberikan aku keturunan." ujar gadis bermata bulat terang itu, dengan perasaan takut.
"Jadi menurut kamu aku tidak bisa memberikanmu keturunan Zha.?"
**
Makes Rafasya Willson, laki-laki berusia 32 tahun dengan tinggi badan 185cm, seorang Ceo di Willson Company, dia yang tidak pernah memiliki kekasih, dan karena di usianya yang sudah cukup berumur belum menikah. Akhirnya tersebar rumor, jika dirinya mengalami impoten.
Namun Makes ternyata diam-diam jatuh cinta pada sekertarisnya sendiri Zhavira Mesyana, yang baru bekerja untuknya 5 bulan.
bagaimana kelanjutan ceritanya? nantikan terus ya..
jangan lupa Follow ig Author
@nona_written
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nona_Written, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 8 Masa lalu
Pagi hari itu datang dengan udara dingin dan kabut tipis yang menyelimuti kaca jendela kantor pusat Willson Corp. Di ruang CEO lantai tertinggi, Makes duduk di balik meja kayu hitamnya. Matanya tak pernah lepas dari layar monitor, tetapi pikirannya jauh... terlalu jauh pada seseorang yang kini mulai membuatnya kehilangan kendali. Zhavira.
Ia sudah memintanya datang pukul delapan pagi. Jam sudah menunjukkan pukul 08.02. Terlambat dua menit. Itu cukup membuat Makes mengepalkan jemarinya.
Begitu pintu diketuk dan Zhavira masuk, Makes langsung berdiri.
“Kamu tahu jam berapa sekarang, Zhavira?” suaranya tenang tapi mengandung bara.
Zhavira menunduk, menggigit bibirnya gugup. “Maaf, Pak. Tadi lift—”
“Jangan beralasan,” potong Makes. “Kalau kamu masih bekerja di sini, aku minta satu hal, tepat waktu.”
Zhavira menunduk makin dalam. “Iya, Pak.”
Tapi sebelum sempat ia berbalik pergi, Makes melangkah maju dan menahan pergelangan tangannya. Sentuhan hangat, namun menegangkan.
“Tadi malam kamu tidak mimpi buruk, kan?” bisiknya, nyaris menyentuh telinga Zhavira.
Zhavira menahan napas. “Tidak… saya baik-baik saja.”
Makes menatap matanya. “Aku tahu kamu takut padaku. Tapi aku juga tahu satu hal yang lebih besar dari ketakutanmu.”
“Apa?” Zhavira menatap ragu.
“Ketertarikanmu padaku,” ujarnya mantap. “Dan aku akan membuatmu mengakuinya. Cepat atau lambat.”
Zhavira tak sanggup membalas. Ia hanya bisa menatap Makes dengan mata yang bergetar hebat. Ia tahu, pria itu bukan orang biasa. Ia tahu pria itu bisa menghancurkan tembok pertahanan yang selama ini ia bangun dengan susah payah.
**
Malam harinya, Zhavira pulang ke apartemen dengan tubuh lelah dan pikiran berat. Ia membuka pintu dengan langkah pelan. Tapi belum sempat meletakkan tas, seseorang mengetuk pintu.
Deg. Siapa malam-malam begini?
Dengan ragu, Zhavira membuka pintu.
Seseorang berdiri di sana.
Pria tinggi, berkulit bersih, mengenakan coat cokelat tua dan syal abu. Wajahnya lembut, namun tatapannya tajam. Lelaki itu tersenyum kecil—senyum yang pernah membuat Zhavira runtuh bertahun-tahun lalu.
“Zha,” panggilnya pelan. “Akhirnya aku bisa lihat kamu lagi.”
Zhavira membeku di tempat. “G—Gio?”
Gio
“Ya. Aku baru sampai pagi tadi dari Amsterdam. Langsung ke sini, aku mau pastikan kamu masih tinggal di tempat yang sama,” ujar Gio sambil tersenyum. “Aku sangat merindukanmu Zha.”
Zhavira menelan ludahnya. Tubuhnya gemetar. “Kamu kapan balik? Kenapa malam-malam harus kesini?”
Sebelum Gio menjawab, suara langkah kaki terdengar dari koridor apartemen.
Langkah cepat. Tegas. Dingin.
Makes.
Mata pria itu langsung menyala marah saat melihat Zhavira berdiri di depan pintu apartemen dengan seorang pria asing.
"Siapa dia?" tanya Makes dengan suara menekan, penuh amarah yang ditahan.
Gio menoleh ke arah Makes, lalu menatap Zhavira. “Dia siapa?”
“Jangan balikkan pertanyaan,” sahut Makes dingin. Ia melangkah lebih dekat, lalu berdiri di antara keduanya, melindungi Zhavira seolah siap mencakar siapa pun yang menyentuhnya. “Zhavira milikku. Aku tanya, siapa kamu?”
Gio terkesiap. “Aku Gio. Dulu, aku pernah bersama Zhavira, sebelum aku pergi melanjutkan kuliah.”
Makes menatap Zhavira. “Kamu gak cerita pernah dekat dengan dia.”
Zhavira terlihat panik. “Untuk apa Makes, itu udah lama. Aku bahkan pikir dia nggak akan pernah balik.”
Makes mengeraskan rahangnya. “Dan sekarang dia muncul di depan pintu kamu, malam-malam begini? Kamu pikir aku bakal diem aja?”
Gio menatap tajam ke Makes. “Aku hanya ingin bicara dengan Zhavira. Aku nggak tahu siapa kamu, tapi kamu nggak bisa seenaknya mengatur hidupnya.”
Makes tertawa kecil—tapi nadanya menusuk.
“Aku gak butuh izin darimu. Zhavira sekarang milikku,” katanya dingin, lalu meraih lengan Zhavira dan menariknya masuk ke dalam apartemen.
“Masuk!” desisnya.
Zhavira tak bisa menolak. Ia terbawa masuk, dan pintu langsung dibanting menutup oleh Makes. Suaranya menggema di lorong apartemen.
Gio terdiam di luar. Matanya menatap pintu itu dengan rahang mengeras.
Sementara di dalam…
Zhavira menatap Makes yang berdiri di depannya, penuh kemarahan dan kecemburuan.
“Kamu keterlaluan!” teriak Zhavira. “Kamu nggak bisa seenaknya narik aku kayak—”
“Seperti milikku?” potong Makes pelan.
Zhavira membeku.
Makes melangkah mendekat. Tatapannya gelap. Nafasnya berat.
“Aku gak peduli kamu punya masa lalu. Tapi aku akan pastikan masa depanmu cuma bersamaku,” bisiknya.
“Kalau dia datang lagi bahkan cuma berdiri di depan pintu ini aku gak akan segan bertindak lebih dari sekadar menarikmu masuk.”
Zhavira menatapnya, marah, takut, namun anehnya, dadanya sesak karena terlalu banyak perasaan yang mendesak naik. Ia mencoba melawan. Tapi tubuhnya justru melemah saat Makes menatapnya begitu dalam.
“Aku serius, Zhavira… Kamu milikku. Dan aku gak akan membagi apa yang jadi milikku.”
Zhavira berdiri membeku, matanya memerah. Ia ingin sekali memaki Makes, ingin meluapkan semua kekesalan yang menyesakkan dadanya. Tapi tubuhnya sudah terlalu lelah, emosinya terkuras. Bahkan untuk sekadar berbicara, lidahnya terasa kelu.
Tanpa berkata sepatah kata pun, Makes menghampirinya dengan langkah cepat. Aura posesif dan gelap terpancar jelas dari tatapannya. “Kenapa dia datang malam-malam ke apartemenmu, hah?” desisnya tajam.
Zhavira hanya diam. Kepalanya tertunduk dan menggeleng pelan.
Dengan kasar namun tetap menahan diri, Makes mendorong Zhavira perlahan ke sofa. Tatapannya membara, dan sebelum sempat Zhavira menarik napas panjang, bibir pria itu sudah menyergapnya dalam ciuman penuh tuntutan.
"Jangan pernah ragukan aku lagi.," gumamnya serak di sela napas berat, menempelkan keningnya pada dahi Zhavira. "Kau hanya milikku, Zhavira. Hanya aku yang boleh menyentuhmu."
Zhavira memejamkan mata. Nafasnya bergetar, bukan karena takut, tapi karena campuran emosi yang ia sendiri sulit pahami—antara terluka, marah, dan, terjebak dalam pesona pria itu.
Keheningan di dalam apartemen terasa menyesakkan. Hanya detak jam dinding dan napas tertahan Zhavira yang terdengar. Ia masih terdiam di atas sofa, menunduk dalam diam, sementara Makes berdiri di depannya, dada naik-turun menahan emosi yang bergolak.
“Kenapa kamu diam?” suara Makes terdengar rendah namun tajam, seperti pisau yang menekan pelan di balik kulit. “Atau, kamu memang merindukan pria itu, Zhavira?”
Zhavira menoleh, tatapannya tak lagi tajam—hanya lelah dan kecewa yang tampak di sana. Tapi belum sempat ia menjawab, Makes sudah menunduk, menangkup wajahnya dengan kedua tangan.
“Aku benci saat kau membuatku cemburu begini,” bisik Makes dengan suara serak.
Dan dalam sekejap, bibirnya turun ke leher Zhavira. Ciumannya bukan lembut—namun penuh tekanan dan rasa memiliki. Zhavira tertegun, tubuhnya mematung, merasakan kehangatan kulit Makes yang membakar kulit sensitif di bawah telinganya. Ia mengangkat tangan, hendak mendorong dada pria itu, tapi tenaganya seakan lenyap oleh panas yang meledak dari dalam dirinya sendiri.
Makes menandai lehernya, meninggalkan bekas kemerahan di kulit pucat Zhavira. Sebuah simbol diam yang seolah berkata. "Dia milikku."
“Sekarang, semua orang akan tahu kau milikku,” bisik Makes tanpa melepaskan dekapannya. Napasnya berat, dan ada kegelisahan yang samar di balik sikapnya yang mendominasi.
Zhavira masih diam. Tapi matanya mulai berembun.
“Jangan lakukan ini, Makes.” lirihnya akhirnya. “Jangan buat aku takut mencintaimu.”
Perkataan itu membuat Makes membeku sesaat. Tangannya perlahan melemah. Ada sesuatu dalam suara Zhavira yang menusuk bagian terdalam di hatinya—ketakutan yang nyata, tapi dibungkus dalam keberanian.