Seorang gadis muda yang memilih untuk mengakhiri hidupnya dengan terjun ke dalam laut lepas. Tetapi, alih-alih meninggal dengan damai, dia malah bereinkarnasi ke dalam tubuh putri buangan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nfzx25r, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayangan Sanghyun
Malam-malam berikutnya terasa lebih dingin dan gelap dari biasanya. Langkah Putri Minghua semakin dalam menelusuri labirin rahasia di dalam istana. Ia tak lagi mudah percaya pada siapa pun, terlebih setelah mengetahui bahwa racun yang merenggut nyawa ibunya... kini mengincar adiknya.
Namun tanpa sepengetahuannya, sepasang mata dengan tatapan dingin terus mengawasinya dari kejauhan. Bayangan itu mengikuti dalam diam tanpa suara, tanpa jejak.
***
Di langit istana, bulan tampak setengah tertutup awan, menyisakan cahaya redup yang cukup untuk menerangi lorong-lorong sunyi. Seorang pelayan muda dengan wajah asing melangkah cepat, gerakannya ringan dan nyaris tak terdengar. Dari pakaiannya, ia tampak seperti pelayan biasa. Namun siapa sangka, di balik tatapan dingin dan postur tubuh yang sedikit membungkuk, tersembunyi kekuatan yang tak bisa dipahami oleh manusia biasa.
Ia adalah... Sanghyun. Beberapa waktu lalu, ia menyusup ke istana dengan menyamar sebagai pelayan bayangan. Kadang ia berperan sebagai penyapu halaman, kadang sebagai penjaga malam yang berdiri di bawah sinar lentera. Namun setiap kali aura dingin menyelimuti suatu tempat, hanya satu orang yang mampu mengenalinya...Putri Minghua.
Ia tidak tahu sejak kapan Sanghyun mulai mengikutinya. Tapi belakangan, setiap kali bahaya mendekat, kalung pemberian Sanghyun selalu bergetar lebih sering dari biasanya.
Kalung itu bukan sekadar perhiasan. Ia adalah pelindung, penunjuk bahaya, atau mungkin... jembatan antara dua dunia.
***
Malam itu, saat embun belum sempat turun, Putri Minghua berjalan seorang diri menuju taman belakang istana. Tempat itu sudah lama ditinggalkan. Konon katanya dihuni roh-roh malam, tempat yang begitu lusuh dan bahkan tidak layak lagi didatangi seorang putri. Tapi Minghua tahu, jika ia ingin menemukan jejak pengkhianat, maka ia harus menelusuri tempat-tempat yang disembunyikan oleh rasa takut.
Ia terus berjalan, tanpa menyadari bahwa dua bayangan tengah mengikutinya malam itu. Dua niat yang bertolak belakang, satu ingin menyelamatkan, satu ingin membunuh.
Ketika ia tengah fokus berjalan, tiba-tiba terdengar suara ranting patah dari belakang. Ia langsung menoleh cepat. Namun tak ada siapa pun di sana. Ia melangkah lebih jauh dan berhenti sejenak di bawah pohon plum tua yang tak lagi berbunga.
Ia berdiri di samping pohon itu, lalu tiba-tiba...
Srett!
Sebuah pisau panjang meluncur dari balik semak, nyaris menembus lehernya.
Putri Minghua hampir terjatuh, namun sesuatu yang tak kasat mata mendorong tubuhnya menjauh dari serangan itu.
Pisau itu menghantam batang pohon dan menancap dalam. Terdengar suara napas seseorang yang sangat berat, tergesa...di antara bayang-bayang.
Tapi hanya beberapa detik kemudian, napas itu terhenti. Bayangan gelap yang hendak membunuh Putri Minghua ambruk ke tanah, di dadanya tergores luka beku, seperti disayat oleh dinginnya es.
Angin malam berhembus pelan. Daun-daun jatuh berderai. Dan di antara kesunyian yang menggema, hanya Putri Minghua yang bisa merasakan... auranya.
Aura yang dingin dan akrab. Aura yang pernah ia peluk dalam keadaan sekarat. Yang tak pernah berubah sejak malam pertama mereka bertemu. “Sanghyun...” bisiknya pelan.
Namun tak ada siapa pun di sana. Hanya angin malam yang menyapu rambut panjangnya, dan kalung di lehernya yang bergetar semakin kuat. Di bawah cahaya bulan yang tertutup kabut, permukaan kalung itu mulai retak halus.
Dengan tergesa-gesa, Putri Minghua berlari meninggalkan taman dan kembali ke kamarnya.
***
Sesampainya di kamar, Putri Minghua langsung masuk dan mengunci pintu. Ia menggenggam kalung itu erat-erat, tangannya gemetar. Retakan kecil di permukaannya tampak berkilau seperti pecahan es.
Ia tahu...kalung itu telah menahan terlalu banyak serangan, mungkin lebih dari yang seharusnya. "Berapa kali kamu sudah menyelamatkanku, Sanghyun?" bisiknya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Ia menggenggam kalung itu erat, lalu mendudukkan diri di atas ranjang, menahan isak yang nyaris meledak. "Kenapa kamu selalu pergi, bahkan saat aku hanya ingin mengucapkan terima kasih..."
Tak pernah ada jawaban. Hanya hembusan angin malam yang dingin membelai wajahnya. Sanghyun masih ada di balik bayangan. Menjaga Putri Minghua tanpa mengharapkan apa pun.
Putri Minghua membaringkan tubuhnya sambil tetap menggenggam kalung itu. Ia takut jika melepaskannya, kalung itu akan pecah seketika... dan Sanghyun akan benar-benar menghilang.
Malam itu begitu dingin, membuatnya sulit tertidur. Namun saat ia mengingat Sanghyun... hatinya terasa hampa, tapi juga hangat karena kerinduan.
Ia menangis dalam diam. Menyelimuti tubuhnya dengan selimut malam yang tebal, mencurahkan seluruh rindu yang menyesakkan.
Hingga akhirnya, ia tertidur... tanpa sadar.
***
Pagi datang dengan cerah. Sinar matahari menyusup melalui celah tirai. Putri Minghua bangun dengan mata yang sembab. Meski malam tadi ia menangis, hatinya sedikit lebih tenang meski kerinduan itu belum pergi.
Ia menyiapkan air mandi, menaburkan bunga-bunga harum di dalamnya. Aroma melati dan krisan memenuhi udara, menenangkan pikirannya yang kalut.
Setelah mandi, ia mengenakan pakaian yang indah. Kalung pemberian Sanghyun masih terpasang di lehernya yang jenjang. Retakannya tetap ada, tapi kilaunya belum padam. Rambut panjangnya ia biarkan terurai bebas.
Dengan langkah pelan, Putri Minghua berjalan menuju kediaman Putri Xiaolan. Sepanjang jalan, ia melewati taman bunga yang kini bermekaran lebih indah dari sebelumnya. Wangi bunga menyapa hidungnya dengan lembut.
"Aku tidak pernah tahu... kalau kepergianku bisa membuat taman ini dipenuhi bunga seharum ini," gumamnya lirih.
Ia memetik beberapa bunga yang menurutnya bisa membantu menekan racun dalam tubuh adiknya. Tak banyak yang ia temukan, namun cukup untuk sedikit mengurangi rasa sakit.
Ia kembali ke kamarnya, segera meracik ramuan dan menuangkannya ke dalam botol kecil.
Dengan langkah cepat, ia menuju kamar adiknya, menyimpan botol itu dalam kantong bajunya. Begitu sampai, ia langsung duduk di tepi ranjang dan menyodorkan botol itu. "Minum ini, ya. Setidaknya akan meringankan rasa sakitmu."
Putri Xiaolan mengangguk sambil memejamkan matanya. Ia tahu, hanya kakaknya lah satu-satunya harapan untuk bisa sembuh.
Mereka berbincang cukup lama. Waktu bergulir tanpa terasa. Putri Minghua belum makan sejak pagi, dan perutnya sempat berbunyi nyaring.
Putri Xiaolan tersenyum. "Kak, ayo makan dulu di sini," ajaknya dengan suara lembut.
Putri Minghua menggeleng sambil tersenyum tipis. "Nggak perlu, kakak nanti makan di kamar saja. Yang penting kamu dulu yang sembuh," ucapnya sambil membelai rambut adiknya yang sedikit kusut.
Ia berpamitan. "Kalau ada apa-apa, suruh pelayan kabari kakak, ya," katanya, mengecup kepala adiknya sebentar sebelum pergi, menembus kembali dinginnya malam yang sepi.