NovelToon NovelToon
Rahasia Di Balik Kandungan

Rahasia Di Balik Kandungan

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Hamil di luar nikah / Cinta Terlarang / Pengantin Pengganti / Romansa
Popularitas:2.1k
Nilai: 5
Nama Author: Leel K

Semua orang melihat Claire Hayes sebagai wanita yang mengandung anak mendiang Benjamin Silvan. Namun, di balik mata hijaunya yang menyimpan kesedihan, tersembunyi obsesi bertahun-tahun pada sang adik, Aaron. Pernikahan terpaksa ini adalah bagian dari rencana rumitnya. Tapi, rahasia terbesar Claire bukanlah cintanya yang terlarang, melainkan kebenaran tentang ayah dari bayi yang dikandungnya—sebuah bom waktu yang siap menghancurkan segalanya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Leel K, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 8. Kau Juga Mencintaiku Kan?

Sudah tengah malam ketika pintu utama penthouse terbuka. Aaron baru saja pulang dari perusahaan, langkahnya terasa berat karena lelah. Jika biasanya ia akan mendapati Claire menunggunya di sana—seringkali sampai tertidur di sofa—hari ini ruangan itu kosong.

Aaron menghela napas samar, campuran lelah dan sesuatu yang lain. Entah harus merasa bersyukur atau bagaimana atas keputusannya meletakkan kamera di kamar Claire.

Seharian ini, wanita itu tampak menghabiskan sebagian besar waktunya di kamar. Keluar sebentar, lalu kembali lagi. Entah itu untuk mengambil makanan dan minumannya untuk dibawa ke dalam kamar, atau hanya berjalan mondar-mandir gelisah. Ia melihat rekaman Claire duduk di atas tempat tidurnya sambil membaca buku, sesekali mencuri pandang ke arah kamera di sudut ruangan—tindakan aneh yang membuat Aaron tak habis pikir. Seperti... mencari perhatian?

Namun, lebih daripada itu, hal paling membuat Aaron tak bisa berkata-kata ialah momen ketika Claire hendak mandi. Wanita itu berdiri di depan kamera, seolah ragu sejenak, lalu berniat melepas pakaiannya tepat di depan lensa pengawas. Pada saat itu, Aaron yang memperhatikan rekaman dari ponselnya, langsung membalikkan layar ponselnya di atas meja kerjanya cukup kuat. Ia tidak bisa... atau tidak mau... melihat lebih jauh.

Tak sampai di situ. Bahkan setelah mandi, Claire bukannya mengenakan pakaiannya di dalam walk-in closet, area yang jelas di luar jangkauan kamera, malah kembali berdiri di depan kamera, memasang pakaiannya di sana. Aaron hanya bisa diam dalam frustrasi sembari mengusap wajahnya melihat rekaman itu.

Dia benar-benar sesuatu, pikirnya, campur aduk antara kesal, bingung, dan... sedikit terusik.

Kini, Aaron duduk di sofa ruang tamu, menghela napas panjang, berusaha melepaskan lelah di pundaknya. Sudah lama dia tidak duduk bersantai di ruang tamunya sendiri, sibuk menghindari Claire di setiap kesempatan. Tapi sekarang wanita itu sudah di kamarnya, terlelap beberapa jam yang lalu setelah lama memandang kamera sehabis membaca buku.

Dan sekarang, Aaron juga mengantuk. Matanya begitu berat, kelopak matanya terasa lengket. Ia berniat untuk memejamkan matanya sebentar di sana. Hanya sebentar. Ia tak menyangka bahwa dirinya akan terjebak dalam mimpi panjang yang aneh.

Mimpi itu erotis, namun diselimuti lapisan kesedihan. Mungkin mimpi itu dipicu oleh apa yang sempat ia lihat tadi—kulit putih polos itu, pakaian yang ditanggalkan satu per satu dan ditinggalkan di atas tempat tidur, tubuh yang kembali hanya terbalut handuk pendek.

Dalam mimpi itu, Claire hadir. Dia tersenyum, senyum yang tampak tulus namun juga rapuh. Dia duduk mengangkang di atas pangkuan Aaron, hanya dengan handuk melilit tubuhnya. Air dari rambutnya yang basah menetes pelan, jatuh ke pakaian Aaron, mengenai wajahnya.

"Aaron…," suaranya lirih, terdengar seperti bisikan, persis seperti biasa saat menyebut namanya dalam keadaan nyata.

Aaron tidak bersuara, hanya diam, terperangkap dalam mimpi itu, melihat apa yang dilakukan Claire selanjutnya. Tetapi meskipun dalam mimpi, Aaron dengan sadar meletakkan kedua tangannya di pinggangnya—ramping dan... seksi?

Bukankah dia sedang hamil? Pikiran aneh itu melintas, namun ia sadar, mungkin... karena ini di dalam mimpi.

"Aaron, aku mencintaimu." Claire kembali berbicara. Nadanya penuh permohonan, bahkan dalam mimpi. "Aku mencintaimu, Aaron. Aku mencintaimu."

Ya, kau mencintaiku, pikir Aaron dalam mimpi, kau melihat wajah pria yang kau cintai di wajahku. Wajah Benjamin-mu.

"Kau juga mencintaiku kan, hm?" Claire memeluk kepala Aaron, mendekapnya di dada. "Katakan, Aaron, katakan kalau kau sangat mencintaiku." Pinggulnya bergerak, maju mundur di atasnya, menciptakan sensasi yang aneh namun intens.

Aku akan membenci mimpi ini, pikir Aaron.

"Sekali saja, hm?" Suaranya memohon.

Aaron masih tak mengatakan apa pun. Lagipula ini hanya mimpi. Jadi tak perlu rasanya meladeni wanita yang ada di atasnya ini, bahkan dalam dunia bawah sadar.

"Aaron…," Claire berhenti menggerakkan pinggulnya. Kepalanya turun, mencium leher Aaron. Menghirup aromanya, lalu menciumnya lagi dengan putus asa.

Aaron hanya membiarkan, walau begitu sensasi ini membuat napasnya tertahan, campur aduk antara terangsang dan tidak nyaman.

"Maaf," bisik Claire, ia memasang wajah sedih, air mata berkumpul di sudut matanya bahkan dalam mimpi. Kemudian mengecup bibir Aaron dengan lembut. Tangannya melingkar di leher Aaron.

"Maaf karena terlalu mencintaimu, Aaron. Maaf…," bisiknya lagi, permohonannya penuh duka.

Aaron merasa jengah dalam mimpinya. Begitu besar Claire mencintai Benjamin, saudaranya, sampai rela mengatakan cinta pada adik dari pria yang ia cintai?

Akan lebih baik jika kau langsung menyebut namanya, pikir Aaron. Bukan namaku.

"Jadi, jangan membenciku, hm?" Claire mencium bibirnya lagi, kali ini lebih lama, menuntut. Namun Aaron tidak merespon. Aaron masih diam, mengatupkan bibirnya terhadap ciuman itu ketika Claire terus saja menjilatnya.

"Jangan membenciku, Aaron."

"Jangan pernah."

Aaron terbangun dari mimpi itu, terengah. Mimpi itu erotis, namun sarat akan kesedihan Claire dan kerumitan yang tak diinginkannya. Aaron menghela napasnya, ketika ia duduk tegap, sebuah kain jatuh dari bahunya.

Aaron tertegun. Itu sebuah selimut. Selimut yang jelas tidak ada di sana dan tidak dia pakai sebelum memejamkan mata di sofa ini.

Ia mengangkat wajahnya, melihat ke arah lantai dua. Ke arah kamar Claire. Ia sangat yakin Claire-lah yang menyelimutinya.

Tapi kapan? Dan mimpi erotis yang aneh itu… benar hanya mimpi, kan? Pertanyaan itu menggantung, membuatnya merasa gelisah.

...****************...

Hari ini, adalah akhir pekan. Meskipun begitu, seperti biasa, Aaron tetap bekerja, namun di dalam ruang kerjanya di penthouse. Hanya keluar sekali atau dua kali. Jarang sekali Claire berpapasan dengannya bahkan ketika dia sedang berada dirumah.

Namun akhir pekan kali ini berbeda. Orang tua Aaron datang berkunjung. Eva dan Charles tiba membawa masakan rumahan dan juga keranjang buah yang katanya bagus untuk ibu hamil.

"Claire sayang, apa Aaron merawatmu dengan baik?" tanya Eva, wajahnya khawatir saat duduk di sebelah Claire di sofa. Ia meneliti wajah menantunya yang sedang hamil itu. "Dia tidak memarahimu, kan?"

Aaron yang duduk di seberang sofa, dengan laptopnya terbuka di atas meja di depannya, tidak menggubris. Hanya diam sambil berkutat pada pekerjaannya, berusaha menulikan telinga dari percakapan yang membuatnya tidak nyaman.

"Aaron, Ibu sedang bertanya," ujar Eva, suaranya terdengar tidak senang karena sikap acuh tak acuh Aaron dalam pertemuan keluarga yang jarang terjadi ini.

Aaron mengangkat pandangannya. Alisnya terangkat sebelah. Jujur saja, dia bahkan tak mendengar apa yang kedua orang tuanya bicarakan pada wanita yang kini berstatus istrinya itu. Pikirannya masih melayang pada mimpi semalam dan selimut di sofanya.

Eva mendengus, "Ibu bertanya, apa kau memperlakukan Claire dengan baik?"

Bukannya menjawab langsung, Aaron malah mengalihkan pandangannya yang datar pada Claire yang duduk di sebelah ibunya.

"Aaron sangat baik padaku, Ibu," jawab Claire cepat, memegang tangan Eva berusaha meyakinkannya, sambil memberi senyum tipis yang terlihat tegang. Claire melirik Aaron lagi, memohon dengan mata agar Aaron setidaknya... berakting. Namun atensi pria itu sudah kembali pada layar laptopnya.

"Letakkan pekerjaanmu sejenak, Aaron," kata Charles, suaranya tenang tapi tegas. "Saat ini kita sedang berkumpul bersama. Waktu seperti ini tidak sering ada. Jadi, kesampingkan pekerjaanmu sebentar saja."

Aaron menatap ayahnya sebentar, lalu beralih ke Claire, lalu ke ibunya. Wajah mereka semua tampak... menuntut.

Sungguh, berada ditengah kebersamaan yang menyesakan ini saja sudah membuatnya kesal. Setidaknya biarkan dia melakukan pekerjaan agar dia bisa mengalihkan perhatiannya.

Ia menatap Claire dingin, kenapa juga dia harus merawat wanita milik mendiang saudaranya sepenuh hati?

Sudah cukup menikahinya, haruskah juga menjadikan dia sebagai wanita yang ia cintai?

Yang benar saja!

Aaron mendengus kasar, suara yang jelas menunjukkan rasa tidak senangnya.

“Aaron!” tegur Charles, suaranya meninggi, marah mendengar dengusan itu.

Aaron melipat laptopnya dengan kasar, menimbulkan suara 'klik' yang keras, lalu meletakkannya di sampingnya di atas meja. Setelahnya ia menyandarkan punggungnya dengan nyaman di sandaran sofa, kakinya bersilang, tangannya dilipat di depan dada. Sikap tubuh yang jelas-jelas defensif dan menantang. Dia diam, menatap lurus ke depan, menulikan telinga dari teguran ayahnya.

Ibunya menatapnya dengan wajah sedih, permohonan di matanya. "Aaron," panggilnya lirih.

Aaron melihatnya, tatapannya datar.

Eva semakin memasang wajah sedih, berpikir bahwa Aaron bahkan hanya melihatnya, tidak menjawab, tidak merespon sama sekali.

Charles melihat istrinya semakin sedih karena sikap Aaron, kemarahannya memuncak. “Aaron!” hardiknya, suaranya menggelegar.

Aaron melirik ke arah ayahnya kali ini, ekspresinya datar, nyaris bosan. Mereka terus saja menyebut namaku. Pikirnya sinis. Apa mereka pikir aku lupa namaku sendiri?

“Ibumu sedang berbicara,” cetus Charles, suaranya tercekat menahan amarah. “Kenapa sikapmu sangat tidak sopan seperti itu?!”

Aaron tersenyum tipis, senyum yang penuh sarkasme dan kepahitan. “Ibu hanya menyebut namaku,” katanya, suaranya tenang, kontras dengan nada ayahnya. “Lalu, haruskah aku sebut namanya juga?”

Brak!

Charles menggebrak meja dengan kuat, matanya melotot pada Aaron, wajahnya memerah. “Kau! Kau sengaja bersikap seperti ini, ya?! Karena masih tidak terima dirimu dinikahkan pada Claire, begitu?!”

Aaron mengangkat sebelah alisnya, tetap tenang di luar, tapi gejolak di dalam dirinya semakin besar. “Lalu, haruskah aku berterima kasih?” Ia tersenyum miris, menggeleng tak habis pikir akan absurditas situasi ini.

Aaron memutar tubuhnya sedikit ke arah Claire, mengunci manik hijau wanita itu dengan manik abunya yang dingin dan tajam.

“Menurutmu, Nona Hayes?” tanyanya, suaranya tenang, namun membawa bobot yang berat, menantang Claire di depan orang tuanya sendiri. Menempatkan Claire pada posisi yang sulit.

1
Ezy Aje
lanjur
Aura Cantika
Kepalang suka deh!
Leel K: Aaah... makasih 🤗
total 1 replies
Coke Bunny🎀
Cerita yang bikin baper, deh!
ナディン(nadin)
Nggak bisa move on.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!