Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sebuah Pintu Terbuka
Pintu kamar itu bergemuruh.
Tiga ketukan... lalu lima... lalu sembilan, setiap ketukan lebih dalam, lebih berat, seperti tulang besar dipukul ke peti mati. Tulisan darah di dinding mulai menetes, menetes beneran, bukan sekadar goresan kering—menetes seperti luka segar.
Rokif menatap pintu itu tanpa berkedip. Jantungnya menendang-nendang dadanya, tapi tangan tetap erat menggenggam golok. Ia berdiri di depan Ningsih, membentangkan tubuhnya seakan bisa melindungi istrinya dari apa pun yang sedang mengintai di luar.
“Jangan buka pintu ini... apapun yang terjadi,” gumamnya pelan.
Lalu... sesuatu mencengkeram kakinya dari bawah!
“ARGH!” Rokif jatuh mendadak, tubuhnya terseret mundur, seolah tali tak kasatmata menarik kakinya ke bawah ranjang.
Ningsih berteriak, “MAS!”
Kuku panjang berwarna kehitaman muncul dari celah lantai, menyobek kayu dan menancap ke betis Rokif. Goloknya terlepas. Darahnya menyembur, hangat dan deras, menyemprot ke dinding.
“NINGSIH LARI!” teriaknya, tapi suaranya tenggelam oleh desisan panjang seperti napas ular.
Tubuh Rokif ditarik makin cepat. Kakinya masuk duluan ke bawah ranjang, lalu pinggulnya. Ia menggapai udara, kakinya menghantam kayu, teriakan berubah jadi lolongan kesakitan saat kuku itu mencakar pahanya dan mengoyak kulit.
Ningsih panik, meraih bantal dan melemparkannya ke arah ranjang—sia-sia. Dengan nekat ia menggenggam kaki Rokif yang tersisa.
“JANGAN! JANGAN BAWA DIA!”
Tapi kekuatan yang menarik suaminya terlalu kuat. Tangan Ningsih terbakar oleh hawa panas dari kuku gaib itu, seperti menyentuh besi merah. Dalam sekejap, tubuh Rokif lenyap masuk ke dalam celah gelap di bawah ranjang, yang sekarang terbuka seperti mulut jurang.
Tak ada darah tersisa. Tak ada suara.
Ningsih terduduk, tubuhnya bergetar, tangan berlumur darah suaminya.
Lalu... celah itu bernapas.
Udara dari bawah ranjang seperti menghirup dan menghembus, membuat tirai jendela berkibar, membuat rambut Ningsih melayang.
Kemudian... suara itu datang lagi. Tapi bukan dari balik pintu. Sekarang dari dalam lantai.
“Darahnya manis... darah suamimu... kunci yang hampir lengkap...”
Ningsih menutup telinga. Tapi suara itu menyelinap langsung ke dalam kepalanya.
“Anakku... buka tubuhmu... mari lengkapi gerbang...”
Tiba-tiba Ningsih merasakan sesuatu mengalir dari perutnya. Bukan darah. Tapi seperti aliran energi panas, naik ke tenggorokannya, membuatnya ingin muntah. Ia berlari ke kamar mandi dan muntah keras—bukan isi perut yang keluar. Tapi rambut.
Rambut panjang, hitam, basah, menggumpal keluar dari mulutnya seperti benang kusut dari boneka mati.
“AAAAAAHHH!”
Ningsih jatuh terduduk. Dalam pantulan kaca kamar mandi, ia tak melihat wajahnya sendiri. Ia melihat wajah seorang perempuan tua, dengan wajah penuh retakan seperti tanah kering, dan mata hitam seluruhnya. Nyai Rante Mayit.
Perempuan itu menatapnya. Bibirnya tak bergerak, tapi suaranya terdengar jelas:
“Darahmu mengalir dalamku. Dan darahmu akan membuka jalanku.”
Cermin pecah sendiri, retaknya membentuk pola melingkar seperti mantra kuno. Di tengah lingkaran itu, pantulan Ningsih tersenyum—meskipun ia tidak tersenyum di dunia nyata.
Ia terdorong mundur, terengah, dan merangkak keluar kamar mandi. Tapi ketika ia keluar... lantai kamar sudah berubah.
Tak lagi dari kayu. Kini tanah merah. Basah. Lembek. Seperti dasar kuburan yang baru digali. Aroma bunga kenanga dan daging membusuk begitu pekat, membuat perutnya berontak lagi. Tapi ia tak bisa muntah. Yang ada hanya napas putus-putus dan keringat dingin.
“Mas... Mas Rokif...”
Ia menyusup ke bawah ranjang, mencoba menunduk. Tapi celah itu telah berubah jadi lubang besar hitam, dan dari sana... sebuah tangan muncul.
Tangan itu bukan tangan suaminya.
Ia terlalu besar. Tulang-tulangnya menonjol seperti rangka, kulitnya keabu-abuan dengan nadi hitam. Di jari tengahnya tergantung kalung yang pernah dipakai Rokif.
Ningsih menjerit.
Tangan itu tak menariknya. Belum. Tapi membuka jari-jari... dan dari celah telapak tangannya, sesuatu menetes ke tanah.
Darah.
Dan setiap tetesnya membentuk simbol. Huruf. Doa. Kutukan.
Ningsih hanya bisa menangis dalam diam.
Perlahan, tulisan-tulisan yang terbuat dari darah itu menyatu di lantai, menyusun satu kalimat:
GERBANG SUDAH TERBUKA.
Dan dari atas rumah, terdengar bunyi suara genteng pecah, lalu bunyi langkah-langkah... seperti kuku-kuku logam berjalan di atap. Suara-suara yang mengiringi:
“Sambutlah Ibu...”
“Sambutlah Daging Lama...”
“Sambutlah Dunia Baru...”
Dari celah lubang di lantai, sepasang mata mengintip ke atas. Mata penuh nanah. Dan ia menatap Ningsih.
Tubuh Ningsih lunglai. Tapi di tengah ketakutan itu, dari lubuk jiwanya yang terdalam... ia sadar.
Ini belum akhir.
Ia keturunan dari Nyai Rante Mayit, ya. Tapi dia juga manusia.
Dan sebelum dunia terbuka sepenuhnya, sebelum gerbang darah itu sempurna... dia akan melawan.
Walau harus menjemput neraka sendirian.