Ketika mobil Karan mogok di tengah jalan, pertemuannya dengan Puri menjadi awal dari kisah yang tak terduga.
Mereka berasal dari latar belakang keyakinan yang berbeda, namun benih cinta tumbuh seiring waktu. Di awal, perbedaan agama hanya dianggap warna dalam perjalanan mereka—mereka saling belajar, berbagi makna ibadah, dan menghargai kepercayaan masing-masing.
Namun, cinta tak selalu cukup. Ketika hubungan mereka semakin dalam, mereka mulai dihadapkan pada kenyataan yang jauh lebih rumit: restu keluarga yang tak kunjung datang, tekanan sosial, dan bayangan masa depan yang dipenuhi pertanyaan—terutama soal anak-anak dan prinsip hidup.
Di sisi lain, Yudha, sahabat lama Puri, diam-diam menyimpan perasaan. Ia adalah pelindung setia yang selalu hadir di saat Puri terpuruk, terutama saat sang ibu menentang hubungannya dengan Karan
Diam-diam, Yudha berharap bisa menjadi tempat pulang Puri.
Kini, Puri berdiri di persimpangan: antara cinta yang Karan Atau Yudha
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Setelah pertengkaran itu, Karan masuk ke ruang pemulihan. Puri terkejut bukan main saat melihat wajah Karan yang memar.
“Mas Karan, kenapa?” tanyanya cemas.
Karan tersenyum kecil, mencoba menutupi rasa sakit.
“Aku jatuh waktu beli makanan di luar. Jalannya licin.”
Puri memicingkan mata, curiga. Ia cepat menoleh saat mendengar pintu terbuka, lalu matanya membelalak melihat wajah Karan yang memerah dan bengkak. Ia langsung berdiri dan menghampiri.
“Mas Karan?! Wajah Mas... kenapa bisa begitu?”
“Aku jatuh,” ulang Karan, kali ini lebih pelan.
Puri menatapnya dalam-dalam. “Mas Karan nggak pernah selemah itu.”
Karan menunduk, menghindari tatapannya. “Yang penting aku baik-baik saja. Kamu nggak usah khawatir.”
Dengan lembut, Puri menyentuh pipi Karan. Ekspresinya tak bisa menyembunyikan keprihatinan.
“Ini bukan jatuh biasa... ini seperti bekas dipukul.”
Sejenak hening. Karan menarik napas panjang.
“Kadang, ada hal yang lebih baik dibiarkan tak terjelaskan, Pur. Yang penting kamu baik. Itu saja cukup buat aku.”
Puri menggenggam tangan Karan erat. “Aku nggak mau ada yang terluka karena aku...”
Karan tersenyum pahit. “Sayangnya, luka nggak selalu datang karena seseorang. Kadang, luka datang karena cinta yang nggak berjalan searah.”
“Apakah Yudha yang melakukannya?” tanya Puri, lirih namun tajam.
Karan terdiam. Lalu perlahan menggeleng, masih tanpa menatap mata Puri.
“Bukan. Ini bukan hal yang perlu kamu pikirkan,” katanya lembut namun tegas.
Sebelum Puri sempat berkata lagi, Karan membuka kantong plastik yang dibawanya.
“Aku sempat beli bubur ayam favorit kamu. Masih hangat, lho. Makan dulu, ya. Kamu butuh tenaga.”
Puri menatapnya lama. Ia tahu Karan sedang menutupi sesuatu. Tapi melihat senyumnya yang tetap hangat meski jelas menahan sakit, membuat hatinya berdesir.
“Mas Karan…” Puri mencoba lagi, namun suaranya melemah di tengah kalimat.
Karan menyodorkan sendok dengan senyum tenang. “Ayo makan, nanti dingin.”
Dan untuk sesaat, semua pertanyaan itu mengendap—belum terjawab, tapi belum terlupakan.
Setelah mereka selesai makan, seorang perawat masuk ke ruang pemulihan. Ia membawa hasil pemeriksaan Puri.
“Puri, kamu sudah boleh rawat jalan. Tapi pastikan banyak istirahat di rumah, ya.”
Puri mengangguk pelan, sementara Karan segera berdiri dan membantunya beres-beres.
“Ayo, kita pulang,” katanya lembut.
Sesampainya di rumah, Mama membuka pintu dengan wajah penuh kekhawatiran. Namun ekspresinya berubah seketika ketika melihat Puri menggenggam erat tangan Karan. Senyum tipis menghiasi wajahnya—senyum seorang ibu yang diam-diam merasa lega dan bahagia.
“Kalian sudah pulang,” ucap Mama pelan, matanya bergantian menatap Puri dan Karan.
“Iya, Ma. Kata dokter aku sudah boleh rawat jalan,” jawab Puri sambil tersenyum.
Mama mengangguk, lalu menatap lebih lama ke arah Karan. Ia melihat jelas pipi Karan yang memar, namun tak langsung bertanya. Seolah tahu, ada hal-hal yang tak perlu digali terlalu dalam malam itu.
“Masuk dulu, ayo. Karan, terima kasih ya sudah menjaga Puri,” ucap Mama tulus.
Karan tersenyum sopan. “Saya memang ingin ada di samping Puri, Tante.”
Puri tersipu, dan Mama semakin yakin—ada sesuatu yang tumbuh di antara mereka. Sesuatu yang mungkin belum terucap, tapi sudah mulai terlihat dari cara mereka saling menatap dan saling menjaga.
Di ruang tengah, Mama menyiapkan teh hangat. Puri duduk bersandar di sofa, sementara Karan duduk tak jauh darinya. Rumah terasa lebih hangat malam itu, meski cuaca di luar mulai dingin.
“Mas,” bisik Puri, hanya untuk Karan, “terima kasih… sudah di sini.”
Karan menoleh pelan, menatap Puri penuh kelembutan. “Aku nggak akan ke mana-mana.”
Mama mengintip dari dapur sambil membawa nampan berisi teh. Ia tersenyum sendiri, lalu berbisik dalam hati, Mungkin akhirnya, Puri menemukan orang yang benar-benar peduli padanya.
Setelah beberapa saat berbincang dan memastikan Puri cukup nyaman di rumah, Karan melirik jam di pergelangan tangannya. Waktu sudah cukup larut. Ia pun berdiri perlahan.
“Bu, saya pamit pulang dulu ya,” ucap Karan sopan sambil menunduk sedikit ke arah Mama.
Mama mengangguk dengan ramah. “Hati-hati di jalan ya, Karan.”
Karan kemudian menoleh ke arah Puri yang masih duduk di sofa, wajahnya tampak lebih tenang dibanding siang tadi. Ia tersenyum lembut, lalu berkata, “Besok aku ke sini lagi.”
Puri menatapnya, ada rasa enggan yang tersirat di matanya. Namun ia tahu Karan juga butuh istirahat.
“Iya… hati-hati, Mas,” jawabnya pelan.
Karan melangkah ke pintu, lalu sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi.
“Jangan mikirin apa-apa malam ini. Fokus istirahat, ya?”
Puri mengangguk pelan. “Iya. Terima kasih, Mas.”
Dan dengan senyuman kecil yang penuh makna, Karan pun melangkah keluar dari rumah.
Puri menatap pintu yang baru saja tertutup itu, dan untuk sesaat, rumah terasa sedikit lebih hening. Tapi hatinya… justru terasa lebih hangat.
Begitu pintu tertutup dan langkah Karan menjauh, Mama langsung menghampiri Puri yang masih duduk di sofa. Wajahnya dipenuhi senyum hangat.
“Akhirnya… anak Mama punya kekasih juga,” ucapnya lembut, sambil duduk di samping Puri.
Puri menoleh cepat, wajahnya langsung memerah.
“Ma… bukan gitu… Mas Karan cuma teman.”
Mama terkekeh pelan, menggenggam tangan Puri.
“Puri, Mama bukan anak kecil. Dari cara kalian saling menatap aja Mama udah tahu... itu bukan cuma teman.”
Puri terdiam, hatinya terasa hangat, tapi juga bingung.
Ia belum pernah merasakan sesuatu sekuat ini sebelumnya—dan perasaan itu tak bisa ia pungkiri, semakin jelas mengarah pada Karan.
Tiba-tiba, Mama berkata pelan, “Tadi pagi Yudha ke sini, lho.”
Puri sontak menatap ibunya. Kenangan dari pagi tadi kembali berputar di kepalanya—saat Yudha berdiri di depan rumah dengan tatapan serius, lalu berkata lirih bahwa ia menyukai Puri. Bahwa ia ingin mencoba memperbaiki semuanya, termasuk hubungan mereka.
Namun saat itu pun Puri sudah ragu, dan kini... keraguan itu berubah menjadi kepastian.
Ia menunduk, lalu berkata lirih, “Ma... Puri nggak bisa. Puri udah jatuh cinta sama Mas Karan.”
Mama hanya tersenyum, tak terkejut.
“Kalau itu yang buat kamu bahagia, Mama dukung. Tapi ingat... cinta itu butuh kejujuran dan keberanian, bukan cuma rasa nyaman.”
Puri mengangguk pelan. Malam itu, ia tahu, hatinya telah membuat pilihan.
Jam di dinding menunjukkan pukul dua belas malam. Rumah sudah sunyi, hanya suara detik jam yang terdengar.
Tiba-tiba, ponsel Puri berdering keras di atas meja. Ia terbangun dengan kaget, meraba ponselnya dan langsung mengangkat tanpa melihat nama penelepon.
“Iya, Rama... ada apa?” suaranya masih setengah mengantuk.
Namun suara di seberang membuat tubuhnya langsung tegang.
“Puri, cepat ke sini. Yudha… dia mabuk berat. Dan sekarang dia sedang ikut balapan liar!”
Puri membelalak. “Apa?!”
“Dia nggak bisa dikendalikan! Kami coba cegah tapi dia nekat bawa motor. Tolong, mungkin kamu bisa hentikan dia!”
Puri langsung bangkit dari tempat tidurnya, rasa kantuk menghilang seketika. Ia tak ingin membangunkan Mamanya, jadi dengan pelan ia melangkah ke ruang depan, mengambil jaket dan kunci motor.
“Yudha... apa yang kamu lakukan?” gumam Puri sambil bergegas keluar. Hatinya gelisah. Sepanjang ia mengenal Yudha, ia tak pernah mabuk—apalagi ikut balapan liar.
Saat motor melaju di jalanan malam yang sepi, berbagai pikiran berkecamuk di kepala Puri. Apakah ini karena penolakannya? Atau karena sesuatu yang lebih dalam?
Angin malam menerpa wajahnya, tapi dinginnya tak sebanding dengan kekhawatiran yang mulai menggumpal di dadanya.