"Aku tidak mencintaimu, Raya. Kau hanya pelengkap... sampai dia kembali."
Itulah kalimat pertama yang Raya dengar dari pria yang kini secara sah menjadi suaminya, Arka Xander — CEO dingin yang membangun tembok setebal benteng di sekeliling hatinya.
Raya tak pernah memilih jalan ini.
Di usia yang baru dua puluh tahun, ia dipaksa menggantikan kakak tirinya di altar, menikah dengan pria yang bahkan tak ingin melihat ke arahnya.
Pernikahan mereka adalah rahasia keluarga—dan dunia mengira, kakak tirinya lah yang menjadi istri Arka.
Selama dua tahun, Raya hidup dalam bayang-bayang.
Setiap pagi, ia tersenyum palsu, berusaha tidak berharap lebih dari tatapan kosong suaminya.
Sampai suatu malam, satu kesalahan kecil—sepotong roti—mengubah segalanya.
Untuk pertama kalinya, Arka menatapnya bukan sebagai pengganti... melainkan sebagai wanita yang menggetarkan dunianya.
Namun, ketika cinta mulai mekar di tengah dinginnya hubungan, masa lalu datang menerjang tanpa ampun.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ch : Delapan
Suasana dalam mobil terasa hening dan canggung. Hanya suara putaran roda dan hembusan AC yang mengisi kekosongan. Raya duduk diam di kursi penumpang, pandangannya tak lepas dari jendela. Cahaya lampu jalan memantul di wajahnya, membentuk bayangan redup yang mencerminkan isi hatinya—enggan, resah, dan nyaris muak.
Arka mengemudi tanpa suara, sesekali melirik ke arahnya. Ia bisa membaca perubahan suasana hati Raya dengan mudah—jelas sekali—Raya tidak ingin ada di mobil yang membawanya ke makan malam keluarga itu.
“Kau bisa bilang tidak, kalau memang tak ingin datang,” ujar Arka, akhirnya memecah sunyi.
Raya menggeleng pelan, masih memandangi jalan.
“Sudah terlalu sering aku menolak undangan seperti ini. Aku hanya tidak ingin menambah bahan omongan lagi.”
Arka tidak menanggapi, tapi ia mencatat kalimat itu dalam benaknya. Kata "lagi" terasa berat—seolah menandakan bahwa Raya bukan hanya pernah menjadi bahan omongan, tapi mungkin selalu.
Sesampainya di restoran, mobil mereka langsung diarahkan ke area parkir khusus. Salah satu staf menyambut dan mengantar mereka ke lantai dua, tempat ruang makan keluarga telah dipesan.
Sebelum pintu private room terbuka, Raya sudah bisa merasakan hawa tak nyaman menyelimuti tubuhnya. Ia menarik napas panjang, bersiap untuk senyum palsu dan sapaan basa-basi yang melelahkan.
Namun langkahnya terhenti ketika merasakan sesuatu menggenggam tangan kanannya.
Raya menoleh, nyaris terkejut. Arka—yang selama ini menjaga jarak seperti dua orang asing—baru saja menggenggam tangannya, menggiringnya masuk ke ruangan.
Genggaman itu tidak erat. Tapi hangat.
Seolah ingin berkata, aku tahu ini berat untukmu. Aku ada di sini.
Tatapan sinis dari mamanya Arka langsung menyambar begitu mereka melangkah masuk.
"Apa bagusnya bersandiwara di depan kami? Semua yang ada di sini juga tahu jika pernikahan kalian palsu," suara Grace terdengar tajam, bagai pisau yang menggores permukaan meja makan. Tak ada basa-basi, hanya kecaman yang disamarkan dalam tawa sinis.
Eric, papanya Arka, langsung berdehem pelan, memberi isyarat agar istrinya menahan diri. “Grace…” tegurnya singkat.
Sarah, ibu kandung Raya, hanya bisa memandang besannya itu dengan wajah masam. Tapi seperti biasa, ia tidak membela, apalagi bersuara. Seolah kehadirannya di situ hanya formalitas semata, bukan perlindungan bagi anaknya sendiri.
Suasana meja makan mendadak tegang, hidangan yang tersaji seakan kehilangan aroma. Raya menunduk, tak ingin menanggapi. Tapi ia tahu, di matanya sendiri, air hampir tumpah. Sekali lagi, ia menjadi sasaran—dihina tanpa ada yang membela.
"Apa sudah ada kabar dari Amara?" tanya Eric, mencoba mengalihkan topik. Wajahnya berubah serius.
Hendra, menghela napas panjang. “Belum. Orang-orangku masih terus mencarinya. Tapi aku rasa, dia memang sengaja menghilang.”
Arka, yang sejak tadi diam dan memegang tangan Raya di bawah meja, akhirnya bicara. Suaranya rendah namun tegas, “Bisakah kita membicarakan hal lain? Topik ini tidak nyaman untuk semua orang.”
Namun sebelum ia sempat menyelesaikan kalimatnya, Raya bangkit dari kursi.
“Permisi, aku ke toilet sebentar.”
Arka sempat melirik, ingin menahannya, tapi mengurungkan niat. Ia tahu, Raya butuh ruang untuk bernapas.
Raya melangkah cepat ke toilet wanita, menutup pintu dan berdiri di depan cermin. Napasnya berat. Bukan karena amarah—tapi karena lelah. Terlalu lelah untuk pura-pura kuat setiap waktu.
Pantulan dirinya di cermin tampak rapuh. Mata yang ditahan untuk tidak basah. Senyum yang terus dipaksakan untuk tidak retak.
Pintu toilet kembali terbuka. Sarah masuk dan menutupnya dengan suara cukup keras.
“Lihat,” katanya dingin, “bahkan pengorbananmu sama sekali tidak dihargai oleh mereka.”
Raya tak menjawab. Ia hanya berdiri kaku, menatap dirinya sendiri.
“Selama ini aku diam. Tapi kau juga harus tahu, pernikahanmu dengan Arka bukan sesuatu yang akan membuat mereka menerimamu. Kau bukan siapa-siapa, Raya. Dan kau tahu itu.”
Raya mengepalkan jemarinya di sisi tubuhnya. Tapi tetap diam.
Sarah melangkah lebih dekat, nada bicaranya menukik tajam. “Apa kau tidak bisa bermain cantik? Kau bukan anak kecil yang harus diajari terus-menerus. Jebak Arka. Buat dirimu hamil. Dengan begitu kau bisa membungkam mulut pedas ibu mertuamu itu.”
Raya menoleh. Perlahan. Tatapannya kosong, tetapi penuh luka. “Apa itu satu-satunya cara menurutmu, Ma?”
Sarah mendengus. “Itu cara paling realistis untuk bertahan. Kecuali kau ingin didepak dari hidup mereka secepat mungkin.”
Raya menatap lagi pantulan dirinya. Ia terlihat asing—seolah bukan dirinya lagi.
Dengan suara pelan, tapi jelas, ia menjawab, “Kalau satu-satunya cara agar diterima adalah dengan menjebak seseorang dan membawa anak sebagai senjata... maka mungkin, aku memang tak perlu diterima.”
Sarah terdiam, sejenak terpaku oleh nada tegas yang tak biasa dari putrinya.
Raya merapikan rambutnya, menarik napas panjang, lalu membuka pintu toilet.
“Sampaikan ke mereka, aku tidak bisa melanjutkan makan malam. Katakan saja aku sakit perut. Dan terima kasih, Ma, untuk... sarannya.”
Lalu ia melangkah keluar—bukan sebagai wanita rapuh yang tadi masuk, tapi sebagai seseorang yang mulai berani memilih dirinya sendiri.
Arka menyandarkan tubuh ke kursi, mencoba tetap tenang di tengah ketegangan yang belum reda. Tapi begitu melihat jam sudah berlalu lima belas menit sejak Raya pergi ke toilet, kegelisahan mulai merayap.
Ia menoleh ke pintu ruangan, lalu ke arah mamanya. Tatapan Arka menusuk—dingin, penuh ketidaksukaan.
“Kalau kalian datang ke sini hanya untuk mempermalukan istri saya, lebih baik kita sudahi saja makan malam ini.”
Grace menegakkan bahu. “Oh, jadi sekarang kau membelanya?”
“Dia istriku,” sahut Arka, suaranya dalam dan berat.
Sarah yang baru saja kembali dari toilet buru-buru menyela, “Raya bilang dia sakit perut. Sudah pulang duluan.”
Jantung Arka seketika mencelos. “Pulang?”
Sarah mengangguk. “Dia tak tahan duduk di sini, kurasa. Tapi, dia baik-baik saja.” Kalimat terakhir terdengar lebih seperti pernyataan untuk meredam suasana.
Tanpa bicara sepatah kata pun lagi, Arka langsung bangkit dari kursi. Ia menyingkirkan serbet makan dari pangkuannya dan berjalan cepat keluar ruangan, tak mengindahkan suara ayahnya yang memanggil dari belakang.
Ponselnya dikeluarkan. Ia menelepon Raya—namun hanya terdengar nada sambung panjang sebelum akhirnya terputus.
“Angkat, Ra…” gumamnya lirih.
Arka menuruni anak tangga dua anak tangga sekaligus, langsung berjalan ke parkiran tempat di mana mobilnya berada.
Sopir pribadi keluarganya yang berdiri di dekat kendaraan, segera menyambut, “Tuan Arka, Nona Raya pergi dengan taksi barusan. Katanya tak ingin mengganggu.”
Arka mengumpat pelan. Kepalan tangannya mengetuk setir begitu ia duduk di balik kemudi.
Selama ini ia terlalu fokus pada formalitas, pada menjaga batas, hingga lupa kalau Raya adalah manusia yang butuh dipahami—bukan hanya dijaga dari kejauhan. Ia mulai mengerti: luka Raya tak butuh perlindungan diam-diam, tapi seseorang yang mau berdiri di sampingnya, membela secara terang-terangan.
Untuk pertama kalinya sejak pernikahan mereka, Arka merasa bersalah.
Ia menyalakan mobilnya, menyalip kendaraan lain di jalan raya dengan kecepatan yang tak biasa.
To Be Continued >>>
km sbg suaminya raya sja tak mmberinya kpastian tentang posisi raya... apa lgi km jga GAJE... mmbiarkn masa lalumu hidup bebas dlm satu atap dgnmu dan raya....
rmh tangga macam apa ini arka........