"Nikah Dadakan"
Itulah yang tengah di alami oleh seorang gadis yang kerap di sapa Murni itu. Hanya karena terjebak dalam sebuah kesalahpahaman yang tak bisa dibantah, membuat Murni terpaksa menikah dengan seorang pria asing, tanpa tahu identitas bahkan nama pria yang berakhir menjadi suaminya itu.
Apakah ini takdir yang terselip berkah? Atau justru awal dari serangkaian luka?
Bagaimana kehidupan pernikahan yang tanpa diminta itu? Mampukan pasangan tersebut mempertahankan pernikahan mereka atau justru malah mengakhiri ikatan hubungan tersebut?
Cerita ini lahir dari rasa penasaran sang penulis tentang pernikahan yang hadir bukan dari cinta, tapi karena keadaan. Happy reading dan semoga para readers suka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Imelda Savitri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh
“Murni...!”
Suara beratnya yang lantang itu cukup membuat Murni terkejut. Tubuhnya seketika menegang ketika merasa familiar dengan suara itu. Ia pun menoleh cepat dan saking terkejutnya melihat sosok Kaan yang berdiri di dekat tumpukan batok kelapa, gerakannya mendadak jadi tak terkendali.
Pijakan kakinya meleset. Tumitnya tanpa sengaja menginjak serabut kelapa basah yang licin, membuat tubuhnya oleng ke belakang hingga-
Bruakk!
Tubuhnya terjatuh keras ke atas tumpukan batok kelapa.
“Murni!” seru Kaan spontan.
Rantang bekal yang ia bawa dalam sekejap terlepas dari tangannya, hingga jatuh dan terguling di lantai.
Tanpa pikir panjang, Kaan berlari menghampiri Murni yang kini terduduk lemas di atas tumpukan batok kelapa yang kasar. Beberapa wanita yang bekerja di sekitarnya ikut terkejut, bahkan ada yang refleks berdiri.
“Ya Allah, Murni!”
“Cepetan, tolong dilihat dulu keadaannya!”
“Cepat-cepat di bawa ke pos darurat!"
“Astaga, celananya robek, ada darah di lututnya!”
Kaan segera berjongkok di depan Murni, dengan ekspresi wajah yang terlihat panik.
“Are you okay?” Suaranya terdengar tercekat dan cemas.
Murni meringis kesakitan sambil memegangi lutut kanannya. Deru nafasnya sedikit memburu. Ketika ia menunduk dan melihat ke bawah, matanya membelalak.
Celana bagian lutut kanannya robek, dan dari robekan itu terlihat goresan memanjang yang berdarah. Akibat tergores potongan batok kelapa yang terlihat tajam serta sebagian ujungnya yang terbelah menyerupai bilah, dan tampaknya itulah yang menggores kulit Murni saat ia jatuh.
Kaan menatap luka itu dengan ngeri, lalu secepat kilat berdiri dan tanpa ragu, mengangkat tubuh Murni dalam gendongannya.
“Eh, mas- aku bisa jalan sendiri...” ucap Murni buru-buru, disertai pipi wajahnya yang perlahan memerah karena malu, apalagi di pandang oleh beberapa pasang mata ibu-ibu yang senyam-senyum sendiri.
Kaan hanya menggeleng tegas dengan ekspresi wajahnya yang tampak serius dan khawatir.
Beberapa ibu-ibu lain berlarian mendekat dan mengerubungi mereka.
“Cepet bawa dia ke pos darurat! Di sana ada kotak P3K!”
“Eh, jangan dibiarin berdarah terus, nanti bisa infeksi!”
“Sabar ya, Murni, bentar lagi ditangani...”
“Ih, suaminya perhatian banget... mana ganteng pula...” Dan masih banyak berbagai komentar dari para pekerja di dalam pabrik kelapa itu.
Ketika Kaan dengan sigap menggendongnya dan membawanya ke pos darurat, Murni mencoba sebisa mungkin menahan rasa malu yang terus menyeruak, apalagi tatapan orang-orang terus mengikuti mereka sampai ke luar area gudang.
Beberapa ibu-ibu menunjuk ke arah sebuah bangunan kecil di sudut area kerja yang tampak sederhana, dengan papan kayu bertuliskan 'Pos Darurat'.
“Di sana, nak! Bawa ke situ aja!” seru salah satu dari mereka.
Kaan mengangguk cepat, mengucap terima kasih singkat, lalu mempercepat langkahnya menuju bangunan kecil tersebut. Sesampainya di sana, aroma khas antiseptik menyambut hidungnya. Tempat itu terlihat sederhana, hanya sebuah ruang kecil dengan rak-rak kayu tempat menyimpan peralatan medis seadanya.
Tidak ada tenaga medis di sana, hanya ada peralatan untuk menangani luka ringan saja, dan itu pun dilakukan secara mandiri.
Dua orang wanita paruh baya sudah berada di dalam ruangan. Mereka tampaknya sudah terbiasa menangani kejadian seperti ini. Tanpa banyak bicara, mereka segera menghampiri.
"Taruh di ranjang situ, nak.” Ujar salah satu dari mereka, menunjuk ke sebuah ranjang pasien di pojok ruangan.
Kaan menuruti arahan itu. Ia dengan hati-hati menurunkan Murni dan membantunya duduk di atas ranjang. Murni meringis pelan, menarik ujung celananya yang sudah robek, lalu menatap bercak darah yang mulai mengering di lututnya.
Salah satu wanita itu mengambil gunting kecil dari rak, lalu perlahan menggunting sisa kain celana yang menutupi lukanya. Ujung-ujung kain digunting dengan hati-hati, memperlihatkan luka gores yang cukup dalam di lutut Murni, luka merah itu mulai tampak membiru di sekitar area tepian luka.
“Hmm... lumayan dalam. Tapi masih bisa ditangani,” gumam wanita itu sambil menyemprotkan antiseptik ke kapas.
Begitu cairan menyentuh luka, Murni meringis dan menarik nafas tajam, ketika rasa menyengat yang perih bisa ia rasakan dengan jelas menghantam lututnya.
"Tahan nak." Ucap wanita satunya lagi dengan suara menenangkan, sembari membersihkan luka dengan hati-hati.
Di sisi lain ruangan, Kaan berdiri tanpa suara. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, tapi matanya tak lepas dari lutut Murni yang terluka. Ekspresi wajahnya terlihat tegang, bersamaan dengan alisnya yang sedikit berkerut, dan rahangnya mengeras menahan rasa khawatir.
Setelah lukanya selesai dibersihkan dan dibalut, Murni duduk diam di ujung ranjang sambil menatap lututnya yang masih terasa ngilu. Tak lama, seorang pria paruh baya berseragam lusuh yang merupakan pengawas area kerja tersebut datang menghampiri dengan wajah serius.
"Kamu istirahat dulu ya, Murni. Pulang saja untuk hari ini, ndak usah kerja dulu."Ucapnya tegas.
Murni sempat membuka mulut, ingin membantah, namun suara lain lebih dulu menyusul.
“Udahlah Mur. Istirahat aja dulu. Kamu nggak mungkin kerja dengan kaki begitu,” timpal salah satu ibu-ibu sambil menyerahkan jaket lusuh dan sepatu sneakers yang tadi dipakai Murni saat berangkat.
Wanita lain menyambung, “Nanti kami bantu jelaskan ke bos. Biar kamu bisa libur beberapa hari sampai sembuh. Tenang aja.”
Meski hatinya berat, Murni akhirnya mengangguk kecil. Ia mengganti sepatu boots kotor dan beratnya dengan sneakers yang lebih ringan, lalu mengenakan jaketnya.Sebelum pulang, ia menyempatkan mengucapkan terima kasih pada orang-orang yang sudah membantunya.
Beberapa menit kemudian, Murni dan Kaan akhirnya meninggalkan area pabrik kelapa itu. Langkah Murni tampak tertatih-tatih, sebab kakinya terasa perih setiap kali menyentuh tanah. Kaan yang berjalan di samping, menatapnya dengan sorot prihatin, wajahnya tak lepas dari kerutan cemas yang mengukir wajahnya.
Baru beberapa langkah dari gerbang keluar, Kaan tiba-tiba berhenti. Tanpa aba-aba, ia membungkuk sedikit, lalu langsung mengangkat tubuh Murni dalam gendongan bridal style yang kokoh.
"Astaga- m-mas?!” Kedua mata Murni membelalak karena terkejut. “T-Turunin aku mas! Aku masih bisa jalan, serius!”
Kaan menatap lurus ke depan tanpa mengindahkan protes itu. “Kalau kamu berjalan, nanti kakimu jadi semakin parah.”
“Tapi nanti diliat orang, malu..." Murni mencoba mendorong pelan dadanya, tapi berakhir sia-sia. Kaan tidak memperdulikannya dan terus melangkah.
Murni terus memberontak pelan. Merasa tidak enak hati dan malu setengah mati, ia akhirnya mendesah kesal.
“Mas, aku bisa jalan sendiri. Turunin mas, turunin!"
Kaan menghela nafas panjang, akhirnya ia mengalah dan berhenti, perlahan ia menurunkan tubuh gadis itu, lalu menatap Murni sejenak. Tapi sebelum Murni sempat kembali melangkah, Kaan tiba-tiba membungkuk di depannya, sembari memunggungi Murni.
“Naik.”
Murni tertegun sekaligus bingung dengan gerakan tiba-tiba nya, “Naik apa mas?”
"Naik,” ulang Kaan, tanpa menoleh. “Naik di punggung saya. Kalau digendong di depan kamu malu, pakai cara ini saja.”
Murni diam beberapa detik, lalu mendesah pasrah. Wajahnya masih memerah saat akhirnya ia meraih pundak Kaan dan perlahan menaiki punggungnya. Dan dalam satu gerakan, Kaan mengangkat tubuhnya dengan mudah.
Langkah mereka pun kembali berlanjut, membelah jalan tanah yang mulai berdebu diterpa matahari siang. Tapi bagi Murni, dunia terasa sedikit lebih ringan, meski detak jantungnya berdetak sedikit lebih cepat dari biasanya.
ga cocok msk ke circle kaan. 😅😅😅
aq plg ga suka sm tokoh pajangan yg bermodal baik hati & cantik aja tp ga pny kontribusi apa2 di alur cerita. 🤣🤣🤣