Beberapa tahun lalu, Sora dikhianati oleh kekasih dan sahabatnya. Mengetahui hal itu, bukannya permintaan maaf yang Ia dapatkan, Sora justru menjadi korban kesalah pahaman hingga sebuah ‘kutukan’ dilontarkan kepadanya.
Mulanya Sora tak ambil pusing dengan sumpah serapah yang menurutnya salah sasaran itu. Hingga cukup lama setelahnya, Sora merasa lelah dengan perjalanan cintanya yang terus menemui kebuntuan. Hingga suatu hari, Sora memutuskan untuk ‘mengistirahatkan’ hatinya sejenak.
Tanpa diduga, pada momen itulah Sora justru menemukan alasan lain dibalik serangkaian kegagalan kisah cintanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rin Arunika, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
#8
Air hangat mengucur dari shower membasuh kepala Sora yang saat itu terasa berat. Ia berdiri dan terdiam untuk beberapa saat menikmati segarnya air yang melewati tiap inci kulitnya. Sudah lebih dari satu hari Sora tidak mandi, rasanya benar-benar menyegarkan meski harus mandi larut malam.
Setelah hampir setengah jam lamanya menghabiskan waktu di kamar mandi, Sora akhirnya keluar dari sana sambil menyeka rambutnya yang masih setengah kering. Ia berjalan perlahan menuju tempat tidurnya dengan tubuh yang terbalut handuk kimono berwarna abu-abu.
“Rayn?” Sora terkesiap ketika menyadari bahwa kamarnya yang luas itu terlihat lengang tanpa kehadiran makhluk berkaki empat yang dibawanya dari hutan.
Sora mengedarkan pandangannya pada setiap sudut kamar mencari keberadaan Rayn. Satu hal yang Sora sadari adalah bahwa selimut yang menutupi tempat tidurnya menghilang.
Tak berhenti sampai di sana, Ia buru-buru berjalan menuju wak in closet dengan maksud mengganti pakaiannya sebelum mencari Rayn di sisi lain rumahnya yang luas.
Tiba di area walk in closet, Sora terperangah melihat sosok yang berada di dalam sana.
“E-Elu ?” tangan kiri Sora menutup mulutnya yang menganga sementara telunjuk kanannya mengacung pada pria tinggi yang saat itu juga tengah menatapnya.
Sejurus kemudian kaki Sora menjadi lemas. Ia nyaris ambruk dan kini dirinya terduduk pada sebuah sofa ottoman yang berada di tengah ruangan itu.
“G-gua ngelindur gak sih ini? Apa gua halu?” Sora memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Bayangan tentang burung raksasa dan rambut putih panjang Rayn kembali memenuhi pikirannya.
“Lu itu sebenernya apaan, sih?” Tatapan tajam itu kemudian diarahkan Sora pada Rayn.
Kali ini, penampilan Rayn tampak berbeda dengan pertemuan pertama mereka di hutan. Pria itu tak lagi mengenakan jubah bertudung dan bahkan iris matanya tampak berwarna coklat tua.
Dengan balutan setelan berwarna hitam dan rambut cepak yang tertata rapi, kali ini Rayn terlihat seperti manusia pada umumnya.
Pria itu berlutut di hadapan Sora, “belas kasih” ucap Rayn sambil menerbitkan senyum.
“Maksudnya?” Sora tentu tak mengerti ucapan Rayn barusan.
“Mercy.” Ucap Rayn lagi.
“Eum… A-ada, dua” Sora mengangkat kedua jarinya membentuk huruf V, “Kenapa ya?” balas Sora ragu. Ia tak yakin jika pria itu benar-benar mendadak bertanya tentang mobil miliknya.
Rayn justru mengulum senyum mendengar jawaban Sora. Sudah jelas bahwa gadis itu salah paham dengan ucapannya barusan.
“Bukan mercy yang itu. Aku ini memang ‘belas kasih’. Kamu bisa kembali ke tempat ini karena aku yang izinin” Rayn tersenyum simpul. Untuk sesaat raut wajahnya tampak puas setelah berkata demikian.
“Aku-kamu, kayak lu kenal gue aja,” Sora mengalihkan topik pembicaraan karena Ia semakin tak memahami ucapan Rayn
Rayn mendelik. Apa salah jika obrolan mereka menggunakan sebutan ‘aku-kamu’? Dasar aneh, pikir Rayn.
“Ekhem,” Rayn berdehem.
Pria itu masih menyusun kalimat diotaknya ketika Sora tiba-tiba menyentuh bahunya dengan hanya satu jari.
“Kok?” kedua mata Sora melebar. Ia tak menyangka bahwa pria di hadapannya benar-benar bisa disentuh menggunakan jarinya. Berbeda dengan pria berambut putih di hutan itu.
Gadis itu terperanjat dan melangkah menjauhi Rayn, “maling kan,lu?”
“Ma-maling ?!” Rayn tercengang. Bisa-bisanya seorang ‘maling’ bisa setampan dan serapi dirinya.
“Kalo lu bukan maling, terus, kenapa lu ada di sini? Ngaku gak ?” kedua mata Sora melotot. Diam-diam tangan kanannya meraih sebuah kotak tissue dan bersiap melemparkan benda itu pada Rayn.
Sesaat sebelum kotak tissue itu akan Sora lemparkan, benda itu terjatuh dari tempatnya seperti menolak untuk Sora raih.
“Hm, kayaknya ada yang masih salah paham.” Rayn berdiri tegak dan memasukan lengannya ke saku celana
Sora masih menatap Rayn dengan was-was sementara Rayn terus berjalan mendekat ke arahnya.
“Tadi kamu gak mau pake aku-kamu, ya ? Okay. Sekarang biar gue perjelas lagi. Kayak yang lu bisa liat, sekarang ini wujud gue emang masih manusia. Dan semua manusia bisa liat wujud gue yang sekarang. Tapi lu gak lupa sosok yang lu temuin di hutan, kan ? Gak pernah ada manusia yang liat wujud asli gue, selain elu” Rayn berdiri tegak di hadapan Sora
“J-jadi, m-maksudnya… Gue ini anak spesial ? Tapi gue bukan indigo. Terus, lu ini makhluk apa ? Apa kucing itu juga…” Sora tergagap mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan itu pada Rayn.
Rayn melempar pandangannya ke arah lain sambil sedikit menyeringai.“Justru gua mau nanyain itu ke lu. Lu itu sebenernya siapa ?” raut wajah Rayn berubah menjadi serius.
“Awas, awas, ah. Minggir” Sora mendorong tubuh Rayn. Rasanya kepala Sora menjadi pusing mendengarkan omong kosong Rayn.
Namun, Rayn keburu menarik lengan Sora sehingga mereka berdua kembali berada di sudut ruang walk in closet itu. Wajah mereka hanya terpaut beberapa senti saja sehingga Rayn bisa melihat jelas Sora yang tengah menatapnya.
Sorot mata Sora yang tajam jelas menunjukkan bahwa Ia tak setuju dengan tindakan Rayn. Sora begitu kesal sehingga Ia bahkan tak memalingkan tatapannya dari kedua netra coklat Rayn.
Saat pandangan mata mereka bertemu, Rayn melihat bola mata coklat muda milik Sora mengeluarkan seberkas cahaya terang berwarna keemasan.
Rayn sontak melepaskan genggamannya dan melangkah mundur. Ia masih tak mempercayai apa yang baru saja dilihatnya di mata Sora.
Tak menyia-nyiakan kesempatan itu, Sora berjalan setengah berlari meninggalkan Rayn yang masih terkesiap di hadapannya. Entah apa yang terjadi pada pria itu, yang jelas Sora hanya ingin cepat-cepat berlalu dari sana.
#
“Ada maling...!” teriakan Sora menggema di hampir seisi rumahnya. Masih dengan balutan handuk kimono, Sora berjalan melewati ruang tamu dan mengetuk pintu yang berada sebelum dapur.
“Pak Ivan! Bi Lena!” Sora yang panik terus menggedor pintu kamar itu dengan kencang. Sesekali Ia menatap tangga untuk melihat apakah pria itu telah keluar atau masih berada di dalam kamarnya.
Setelah beberapa kali memanggil nama penghuni kamar, sepasang pria dan wanita yang terlihat tak lagi muda akhirnya membuka pintu itu.
“Ada apa, Non?” kedua orang itu tentu terkejut dengan tingkah Sora.
“Bi! Pak! Di kamar saya ada maling. Tolong…” Sora meraih lengan Bi Lena.
“Ah, masa? Ayo ayo kita cek ke sana.” Bi Lena beringsut dari ambang pintu mengikuti Sora di depannya.
“Biar saya duluan.” Tahu-tahu Pak Ivan berjalan setengah berlari mendahului mereka.
“Iya Pak! Iya! Kamar saya gak dikunci kok!” sambar Sora.
Pak Ivan dengan percaya diri membuka pintu kamar Sora yang memang tak dikunci ketika Sora dan Bi Lena masih akan menaiki tangga.
Alih-alih menemukan sosok maling yang dikatakan Sora, Pak Ivan justru mendapati seekor kucing putih yang duduk di dekat pintu seolah memang tengah menunggu kedatangannya.
Pak Ivan tak mengalihkan pandangannya dari kucing putih itu kemudian Ia menutup pintu kamar rapat-rapat.
#
“Pak Ivan?” Sora memanggil Pak Ivan yang baru saja keluar dari ambang pintu setelah dari tadi memasuki kamar.
Pria itu akhirnya kembali namun dengan tangan kosong, tak sesuai dengan apa yang ada dalam pikiran Sora tentang pria asing yang berada di dalam walk in closetnya.
“Lho, Pak?” Sora terperangah melihat Pak Ivan berjalan dengan santainya.
“Bi?” kemudian dirinya menatap Bi Lena yang entah apa arti dari tatapan itu.
Pak Ivan hanya menggelengkan kepalanya sambil menatap Sora. Dari tatapannya, Pak Ivan jelas mengatakan bahwa Ia tak menemukan apapun di kamar Sora.
“Tadi, tadi ada-“ Sora frustrasi.
“Anu… Maaf, Non. Bukan Bibi berani lancang, mungkin itu halusinasi Non. Ini kan udah hampir tengah malem lho, Non,” Bi Lena tampak merasa sungkan hingga tak menatap Sora ketika berkata seperti itu barusan.
“Ugghhh…” Sora memijat keningnya sambil memejamkan mata. Isi kepalanya nya kini begitu berantakan.
Sora menghembuskan nafas dengan kasar. “Ya udah Bi, Pak. Sorry ganggu malem-malem…”
Sora tersenyum simpul dan beranjak memasuki ruangan kamarnya. Bi Lena dan Pak Ivan tak lupa memberikan salam pada Sora dengan sedikit membungkukkan tubuh mereka.
“Huh…” sambil memejamkan mata, Sora terus menghirup dan menghembuskan nafas yang dalam dan berat.
Malam itu Sora membulatkan tekadnya untuk melupakan semua yang telah terjadi padanya. Semuanya.
Gemericik hujan yang mendadak ramai di luar sana seolah hadir untuk membantu Sora mewujudkan keinginannya. Sora akhirnya terlelap dan untuk sejenak Ia bisa beristirahat dari kejutan yang semesta berikan untuknya.
#
Di lain tempat, pada sebuah gundukan tanah yang terlihat kering, tampak sebuah tunas yang ukurannya begitu kecil. Sepertinya tunas itu baru mulai tumbuh.
Tunas itu memiliki keberanian yang tinggi karena Ia tumbuh di tempat yang amat gelap dan berkabut, di kedalaman hutan belantara.
Terlebih lagi, sepasang mata yang menyala berwarna merah tak henti-hentinya menatap tunas kecil itu. Beberapa detik kemudian, terlihat seringai lebar yang menampakkan deretan gigi-gigi yang runcing dan mengerikan.
“Yisha...” bisik sosok itu.