Deonall Argadewantara—atau yang lebih dikenal dengan Deon—adalah definisi sempurna dari cowok tengil yang menyebalkan. Lahir dari keluarga kaya raya, hidupnya selalu dipenuhi kemewahan, tanpa pernah perlu mengkhawatirkan apa pun. Sombong? Pasti. Banyak tingkah? Jelas. Tapi di balik sikapnya yang arogan dan menyebalkan, ada satu hal yang tak pernah ia duga: keluarganya akhirnya bosan dengan kelakuannya.
Sebagai hukuman, Deon dipaksa bekerja sebagai anak magang di perusahaan milik keluarganya sendiri, tanpa ada seorang pun yang tahu bahwa dia adalah pewaris sah dari perusahaan tersebut. Dari yang biasanya hanya duduk santai di mobil mewah, kini ia harus merasakan repotnya jadi bawahan. Dari yang biasanya tinggal minta, kini harus berusaha sendiri.
Di tempat kerja, Deon bertemu dengan berbagai macam orang yang membuatnya naik darah. Ada atasan yang galak, rekan kerja yang tak peduli dengan status sosialnya, hingga seorang gadis yang tampaknya menikmati setiap kesialan yang menimpanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mycake, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Deonall Story
Sementara Deon sibuk bertahan hidup di rimba keras dunia magang, di sudut lain gedung megah itu, di dalam ruangan eksklusif Presiden Direktur, seorang pria duduk dengan anggun di belakang meja besar.
Bukan sembarang pria dialah sang pemilik perusahaan sekaligus seseorang yang paling mengenal Deon lebih dari siapa pun, ayahnya.
Di hadapannya, seorang sekretaris pribadi berbicara dengan profesional, menjelaskan laporan pekerjaan dengan rinci. Tetapi di tengah-tengah penjelasan itu, sang Presdir tiba-tiba mengangkat tangan, menghentikan ucapannya.
"Bagaimana perkembangan Deon?" Suaranya tenang, tetapi ada nada ketertarikan yang sulit disembunyikan.
Sekretaris itu langsung menyesuaikan postur tubuhnya, menjawab dengan nada formal, "Tuan Deon sangat cepat berbaur dengan lingkungan barunya, Pak Presdir. Beliau tampak mudah beradaptasi dan cukup cerdas dalam menyikapi situasi di sekitarnya."
Sang Presdir menyipitkan mata sedikit, mengetuk-ngetukkan jemarinya di meja. "Benarkah? Dia tidak mengalami kesulitan sama sekali?"
Sekretaris itu berpikir sejenak, lalu menggeleng halus. "Sejauh yang saya amati, tidak Pak. Tuan Deon tampaknya menikmati pekerjaannya… dengan caranya sendiri."
Sang Presdir mendengus kecil, lalu menyandarkan tubuhnya ke kursi. Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis.
"Menikmati ya?" gumamnya pelan, seolah berbicara pada dirinya sendiri.
Matanya berkilat tajam, penuh pemikiran. Dia tahu betul bagaimana anaknya berpikir. Dan jika Deon menikmati sesuatu, itu berarti ada permainan yang sedang berlangsung.
Sang Presdir melempar pandangan ke luar jendela gedung pencakar langit itu, menatap ke arah kota yang ramai.
"Awasi dia," katanya akhirnya, nadanya lebih lembut tetapi penuh makna. "Aku ingin tahu sejauh mana anak itu bisa bertahan."
Sekretaris itu mengangguk patuh. "Tentu, Pak Presdir."
Sementara itu, di dalam lift yang sedang meluncur turun, Deon baru saja selesai ngakak setelah menipu dua seniornya.
Dan tanpa sadar, dia baru saja menarik perhatian seseorang yang tidak main-main.
Sang Presdir menyandarkan diri di kursinya, jemarinya bertaut di depan wajah, matanya menyipit tajam.
Dia sudah lama mengenal tabiat anaknya. Deon bukan tipe yang sekadar menyesuaikan diri. Dia pasti sedang merencanakan sesuatu.
Senyumnya melebar tipis.
"Menarik," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. "Baiklah, Deon… mari kita lihat sejauh mana kamu bisa melangkah."
Lalu, seakan teringat sesuatu, dia menoleh ke sekretarisnya.
"Siapkan laporan lebih detail tentang interaksi anak itu dengan seniornya," katanya santai. "Dan… pastikan ada sedikit tekanan tambahan."
Sekretaris itu berkedip. "Tekanan Pak?"
Sang Presdir tersenyum samar. "Tentu saja. Kalau dia memang putraku, dia pasti bisa mengatasinya."
Sementara itu, di dalam lift yang meluncur turun, Deon masih tersenyum puas… sampai ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal.
"Nikmati permainan kamu, Deon. Karena mulai besok… levelnya naik."
Deon menatap layar ponselnya, alisnya terangkat.
Sial, apa dia baru saja dipromosikan jadi target utama?
Deon membaca pesan itu sekali lagi, lalu menyeringai kecil.
"Oke, siapa pun yang mainin game ini sama gue… lo baru aja bikin kesalahan besar."
Tapi sebelum dia sempat membalas atau mencari tahu siapa dalang di balik ini, lift tiba-tiba berhenti di lantai yang tidak seharusnya.
Lampunya berkedip.
Pintu terbuka perlahan.
Dan di depan sana, berdiri seseorang yang membuat Deon otomatis menegakkan punggungnya.
Seorang pria dengan setelan mahal, ekspresi dingin, dan tatapan yang bisa membekukan neraka.
Deon berkedip.
"…Oh, sial."
Ayahnya melangkah masuk ke dalam lift dengan tenang, tangan dimasukkan ke dalam saku jasnya.
Pintu tertutup.
Lift kembali bergerak.
Dan di dalam ruang sempit itu, hanya ada dua orang—Deon dan orang yang baru saja menaikkan level permainannya.
Ayahnya menoleh ke arahnya dengan senyum tipis.
"Jadi, bagaimana magang kamu, Deon?"
Deon menelan ludah.
Deon menarik napas pelan, lalu menyunggingkan senyum tengil khasnya, menutupi kegugupan yang mulai merayap.
"Oh, luar biasa, Pak Presdir," jawabnya dengan nada santai. "Senior-seniornya ramah banget. Bahkan, ada yang sampai rela kasih aku latihan fisik gratis."
Ayahnya hanya mengangkat alis, ekspresinya tetap tenang, tapi sorot matanya penuh arti.
"Bagus," katanya, suaranya terdengar terlalu tenang, terlalu berbahaya. "Karena mulai besok, mereka akan lebih ramah lagi."
Deon berkedip.
Sebentar. Apa maksudnya lebih ramah?
Sebelum dia sempat bertanya, lift berbunyi itu tandanya mereka sudah sampai di lantai tujuan.
Pintu terbuka.
Dan di luar sana, Bayu serta dua senior jahilnya sudah berdiri menunggu, dengan senyum yang sangat mencurigakan.
Deon menoleh ke ayahnya, yang sekarang melangkah keluar dengan santai.
Sebelum pergi, sang Presdir hanya menepuk pundaknya sekali. Sebuah tepukan ringan, tapi entah kenapa terasa seperti vonis hukuman mati.
"Nikmati magang kamu, Deon," ucapnya datar. "Ayah yakin kamu akan belajar banyak hal baru."
Setelah mengatakan itu, pintu lift terbuka.
Lalu tanpa mengatakan sepatah katapun, ayahnya keluar begitu saja tanpa menoleh sedikitpun ke arah Deon putranya. Meninggalkan Deon dengan beribu pertanyaan di kepalanya.
"Maksud bapak gue apaan sih?!" guman Deon kesal.
__
Kantin Perusahaan
Deon berdiri di barisan kantin, satu tangan di saku celana, satu lagi mengetuk-ngetukkan nampan plastik ke pahanya.
Matanya menatap lurus ke depan, tapi pikirannya melayang jauh ke belakang. Ke dalam lift tadi, ke ucapan sang ayah yang masih terngiang di telinganya.
"Karena mulai besok, mereka akan lebih ramah lagi."
Deon mendengus kecil.
Lebih ramah? Lebih kayak mau nyembelih gue, kali.
Dia melirik ke sekeliling kantin yang ramai. Para karyawan duduk berkelompok, beberapa membicarakan pekerjaan, beberapa cekikikan gosip, dan beberapa… menatapnya.
Tunggu.
Kenapa banyak yang menatapnya?
Deon berkedip. Tiga meja ke kiri, ada sekumpulan pegawai senior. Salah satunya Bayu, dengan ekspresi seperti sedang merencanakan sesuatu.
Dua meja ke kanan, ada sekelompok staf yang tampak berbisik-bisik sambil melirik ke arahnya. Bahkan mbak kantin yang sedang menyendokkan nasi sesaat berhenti, menatapnya dengan mata menyipit.
Deon menegakkan punggungnya sedikit.
Oke, mungkin ini sedikit tidak wajar.
Dia mengambil napas dalam, maju ke depan, dan memasang senyum terbaiknya ke arah mbak kantin.
"Siang, Mbak. Porsi spesial buat gue ada, kan?" tanyanya santai.
Mbak kantin menatapnya lama, lalu tiba-tiba menyeringai seperti nenek sihir di film horor. "Oh tentu, Mas Deon. Pesanan spesialnya udah disiapin kok."
Deon mengerutkan kening. "Eh?"
Satu detik kemudian, dia sadar.
Brak!
Sepiring nasi dengan lauk ekstra pedas, sepedas dosa masa lalu mendarat di nampannya. Sambal merah menyala menatapnya dengan niat membunuh. Dan dari baunya saja, perutnya sudah meronta minta ampun.
Deon menoleh ke Bayu, yang sekarang sedang menahan tawa sambil mengacungkan jempol ke arahnya.
"Selamat menikmati, Magang!" teriak salah satu senior dari kejauhan.
Deon menghembuskan napas panjang, menatap makanan maut di hadapannya.
Oke. Jadi ini maksud ayahnya dengan lebih ramah.
Dia menatap ke sekeliling, semua orang menunggu reaksinya.
Lalu, dia tersenyum. Senyum yang begitu santai, begitu percaya diri, seolah-olah dia baru saja memenangkan lotre.
Dengan gerakan dramatis, dia mengambil sendok, menciduk nasi dan sambal dalam jumlah yang sangat tidak masuk akal, lalu menjejalkannya ke mulut tanpa ragu.
Semua orang menahan napas.
Detik pertama, pedasnya mulai merayap.
Detik kedua, rasa bak neraka menjalar ke lidah dan tenggorokan.
Detik ketiga, Deon menahan ekspresinya tetap datar.
Dan detik keempat… dia mengunyah dengan santai, menatap lurus ke arah Bayu, lalu...
Dia tersenyum. "Hmmm. Lezat."
Bayu dan yang lainnya langsung terbelalak.
Lalu, tanpa berkata apa-apa lagi, Deon menyendokkan lagi suapan besar ke mulutnya, mengunyahnya dengan ekspresi nikmat seolah sedang makan makanan bintang lima.
Suasana kantin mendadak hening.
Sampai akhirnya, seorang pegawai membisikkan sesuatu dengan nada ngeri.
"Sial, tu anak magang kayaknya bukan manusia."
Deon menelan makanannya dengan anggun, lalu menyeringai.
"Terima kasih atas jamuan makan siangnya, senior."
Dan dengan itu, dia mengambil botol air mineralnya, berjalan santai ke meja kosong, dan duduk dengan aura kemenangan yang luar biasa.
Mereka pikir bisa menjatuhkan Deon dengan sambal?
Kasihan banget. Mereka belum tahu siapa yang mereka hadapi.
Bayu masih melongo di tempatnya, sementara geng senior lain bertukar pandang, jelas kebingungan.
"Enggak mungkin…" gumam salah satu dari mereka. "Itu sambal yang kita pesen khusus dari warung sebelah! Pedesnya bisa bikin orang nangis!"
Tapi Deon? Dia duduk santai, menyilangkan kaki, dan dengan tenang membuka botol airnya. Bukannya langsung minum, dia malah memutar tutupnya perlahan, membiarkan ketegangan di kantin makin menumpuk.
Semua mata tertuju padanya.
Lalu, alih-alih meneguk air seperti orang normal, Deon malah menuangkannya sedikit ke tangannya, lalu dengan gaya sok dramatis. Dia mengusap air itu ke tengkuknya, seolah sedang menikmati pijatan spa.
"Hahhh… segarnya," gumamnya dengan suara yang sengaja diperjelas agar semua orang mendengar.
Bayu hampir tersedak ludahnya. "Apaan tuh?! Lo malah bikin itu kayak minuman penyegar?!"
Deon menoleh dengan ekspresi paling badass yang bisa dia keluarkan, lalu menyeringai lebar.
"Pedas itu bukan rasa, Bang. Pedas itu ujian." Dia menyentuhkan jari ke dadanya. "Dan jiwa gue udah kebal dari segala cobaan."
Seketika, suasana kantin meledak. Ada yang ngakak sampai hampir jatuh dari kursi, ada yang menepuk meja dengan kagum, bahkan ada yang bertepuk tangan.
"Anjir, bocah ini nggak bisa diboikot!"
"Respect, men! Respect!"
Sementara itu, Bayu hanya bisa menatap Deon dengan campuran takjub, frustasi, dan sedikit horor.
Deon mengangkat sendoknya tinggi, lalu menunjuk Bayu dengan gaya seperti seorang raja yang baru saja memenangkan perang.
"Bang, kalau ini tes mental, lo harus usaha lebih keras." Dia menyeringai lebih lebar. "Karena mulai sekarang, gue yang bakal mainin game ini."
Seketika, Bayu merasakan hawa dingin menjalar di punggungnya.
Oh, sial.
Dia baru saja membangunkan monster.