menjadi sukses dan kaya raya tidak menjamin kebahagiaanmu dan membuat orang yang kau cintai akan tetap di sampingmu. itulah yang di alami oleh Aldebaran, menjadi seorang CEO sukses dan kaya tidak mampu membuat istrinya tetap bersamanya, namu sebaliknya istrinya memilih berselingkuh dengan sahabat dan rekan bisnisnya. yang membuat kehidupan Aldebaran terpuruk dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ni Luh putu Sri rahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8
Setelah pertimbangan panjang akhirnya Aldebaran memutuskan membelikan Lilia bunga, saat pulang kantor Aldebaran singgah di sebuah toko bunga memutuskan akan memberikan hadiah bunga pada Lilia.
Di dalam toko Aldebaran memilih bunga apa yang mungkin gadis itu sukai, ia menatap sendu ke arah bunga-bunga segar yang terpajang di dalam toko, ia memikirkan wajah Lilia yang terlihat senang saat menerima hadiah darinya.
Saat ia memilih bunga pandangan Aldebaran tertuju pada seorang anak laki-laki yang tampak kesulitan mengambil bunga matahari yang terpajang di sebuah sudut ruangan. Dengan langkah hati-hati ia menghampiri anak itu. Anak itu memakai seragam sekolah taman kanak-kanak, mungkin usianya baru tujuh tahun.
Tanpa mengatakan apapun Aldebaran mengambil setangkai bunga mata hari itu untuk anak itu. "Bunga ini yang aku mau?" Tanya Aldebaran, sambil berlutut di hadapan anak itu. Sesaat anak laki-laki itu menatap Aldebaran lalu mengangguk, kemudian sebuah senyum manis menghiasi wajah anak itu.
"Wah! Iya... Terimakasih, paman."
"Iya." Jawabnya. Lalu mengusap kepala anak itu. "Bunga itu untuk siapa?"
"Bunga ini, untuk Mamaku." Jawab anak itu, dengan polosnya.
"Wah, kua pasti sangat menyayangi Mamamu. Ya?" kata Aldebaran sambil tersenyum hangat.
"Iya, Mama suka bunga matahari jadi aku ingin belikan bunga ini sebagai hadiah untuk Mama." Kata anak itu tampak senang.
Dengan penuh semangat anak itu menuju kasir dan membayar bunga itu. Aldebaran menatap anak itu, lalu anak itu kembali berbalik dan menatap Aldebaran lagi sebelum ia keluar dari toko.
"Terimakasih, banyak, Paman." ucap anak itu, sebelum akhirnya anak itu pergi.
Aldebaran hanya tersenyum, melihat anak itu pergi.
Di luar toko Aldebaran meliat anak itu menghampiri seorang wanita, penampilannya sangat menawan dan menarik, wanita itu turun dari sebuah mobil mewah bersama dengan seorang pria.
Saat itu jantung Aldebaran berdetak cepat, saat ia mengenali sosok wanita itu—Diana, wanita yang telah meninggalkannya. Setelah delapan tahun ia bertemu lagi dengan Diana. Wanita yang sempat menjadi wanita yang mengisi hatinya, bahkan Aldebaran masih menyimpan perasaan itu pada Diana—mantan istrinya.
"Mama!" anak laki-laki tadi menghampiri Diana dengan senyuman cerah sambil memberikan bunga matahari yang ia ambilkan untuk anak itu.
"Diana..." Kata Aldebaran pelan, nyaris berbisik, rasa sakit yang telah lama ia kubur jauh di dalam hatinya kini kembali menyeruak kepermukaan, setelah melihat diana—manta istrinya yang kini telah memiliki anak bersama Dimitri—teman sekaligus mantan rekan bisnisnya. "Jadi itu... Anak kalian..." Kata-kata itu seolah merobek hati Aldebaran, ia menunduk berusaha menyembunyikan kesedihannya.
Selama delapan tahun ia mencoba melupakan istri sekaligus wanita yang ia cintai, yang tak pernah benar-benar bisa ia benci kini ia melihatnya kembali di saat Aldebaran masih mencoba menata kembali kehidupannya, dan ia tahu itu tidak mudah.
"Pak! Maaf, pesanan anda sudah siap." Panggil pegawai toko bunga memanggilnya.
"Oh! Iya, iya. Maaf" Aldebaran tersentak setelah beberapa saat ia terpaku melihat Diana bersama dengan Dimitri dan anak mereka.
Sekilas Diana menatap ke arah toko dan melihat Aldebaran di sana, namun dengan dingin Diana memalingkan wajahnya, kemudian pandangan Diana berbalik pada anaknya, ia tersenyum lembut dan penuh perhatian ke arah anaknya sebelum akhirnya mereka masuk kedalam mobil.
Setelah melihat Diana pergi, Aldebaran keluar dari toko dengan langkah gontai menghampiri mobilnya yang terparkir di tepi jalan, Aldebaran berdiri di depan pintu mobilnya untuk waktu yang cukup lama sebelum akhirnya ia masuk kedalam mobil. Di dalam mobilnya, Aldebaran menatap kosong ke depan, seolah bayangan malam perpisahannya dan Diana kembali menghantuinya.
Ia meletakan buket bunga lili yang ia beli di kursi penumpang. Saat itu ia kembali mengingat masa-masa manis saat Diana masih bersamanya, kenangan itu semakin mengoyak hati Aldebaran setelah ia melihat Diana benar-benar sudah melupakannya.
"Kenapa! Kenapa... Rasanya sakit sekali." Aldebaran mengikat seluruh perkataan Diana malam itu, saat wanita itu melempar surat cerai padanya, dengan tatapan dingin wanita itu meminta cerai darinya. "Kenapa? Kenapa aku tidak bisa melupakanmu..." gumam Aldebaran pelan. "Tapi kau... Ku dengan mudahnya melupakan segalanya, Diana..." air matanya mulai menetes, Tangan Aldebaran mencengkram erat kemudi mobil hingga kuku-kukunya memutih.
Aldebaran mengemudi dengan kecepatan tinggi, ia tak memperdulikan apapun—selain rasa sakit di hatinya yang kembali timbul ke permukaan. Air matanya menetes, ia tak sanggup lagi membayangkan rasa sakit di hatinya setelah melihat wanita yang dia cintai dengan begitu mudah melupakannya dan kembali melanjutkan hidup seolah dirinya hanya sebuah masa lalu yang tak berarti.
Aldebaran sampai di apartemennya dengan kecepatan tinggi, ia menikung tajam saat ia memasuki area parkir apartemen, sebelum ia mengerem mendadak ketika memarkir mobilnya di area parkir apartemen. ia keluar dari mobilnya dan membanting pintu dengan kasar, hingga terdengar suara dentuman pitu mobil bergema di tempat parkir.
Tanpa mempedulikan apapun ia berjalan dengan langkah cepat menuju lift ke unit apartemennya.
Ketika pintu lift terbuka Aldebaran, berjalan cepat dengan langkah lebar menuju unit apartemennya. Saat Aldebaran sudah berdiri di depan pintu ketika jarinya hendak menekan pin kunci pintu tangannya gemetar hebat, air matanya kembali jatuh merasakan kepedihan yang begitu mendalam di hatinya.
"Tidak... Aku tidak bisa seperti ini terus..." Gumamnya, kemudian mengusap air matanya dengan kasar, sambil mencoba menenangkan emosinya sebelum ia menekan kembali pin pintu kamar apartemennya.
Ketika ia membuka pintu pelan, saat pintu itu mula terbuka, Aldebaran melihat Lilia sedang membersihkan rumah dan di meja makan sudah tersedia makan malam untuknya.
"Papa?" sapa Lilia, ketika ia melihat Aldebaran berdiri di ambang pintu. "Papa pulang cepat?" tanya gadis itu lagi, sepertinya ia tak menyadari gejolak emosi Aldebaran saat ini.
Saat itu Aldebaran tak sanggup berkata-kata lagi melihat kepolosan gadis ini.
"Apa... Aku berharap terlalu tinggi? Atau... Aku hanya menggunakan dia sebagai pelarianku..." batin Aldebaran, ia menatap Lilia dengan tatapan yang sulit di artikan.
Tanpa banyak bicara, tiba-tiba saja Aldebaran menarik tangan Lilia, hingga gadis itu tersentak, Lilia sampai hampir berlari mencoba menyamai langkah Aldebaran.
"Papa?! Papa kenapa?" tanya Lilia bingung, ini tak seperti biasanya setiap kali Aldebaran pulang kantor. "Papa sedang marah?" tanya Lilia lagi, namun Aldebaran tak merespon pertanyaan gadis itu.
"Apa yang terjadi padaku?! Apa aku menjadikan gadis ini sebagai pelampiasanku? Apa aku benar-benar memiliki persamaan yang spesial padanya?" batin Aldebaran, terlihat jelas gejolak emosi di matanya. Emosi yang tak pernah ia harapkan akan kembali muncul.
Namun, kali ini Aldebaran tak bisa lagi menyembunyikan perasaanya saat ini. Seluruh emosinya bercampur aduk, antara cintanya pada Diana namun ia juga membenci wanita itu karena pengkhianatan yang sudah ia lakukan. Namun Aldebaran memilih lilia sebagai pelampiasan perasaanya saat ini. "Apa aku benar-benar menginginkan ini..."
di ruang tengah Aldebaran masih menarik tangan Lilia memaksa gadis itu mengikutinya. Tanpa peringatan Aldebaran menghempaskan tubuh mungil Lilia ke sofa, sontak itu membuat Lilia terkejut.
"Papa?! Apa yang..."
Belum sempat Lilia merespon Aldebaran menjatuhkan tubuhnya di atas tubuh mungil Lilia.
"Eh?!"
Tanpa sepatah katapun Aldebaran membenamkan wajahnya di dada Lilia.
"Papa? Papa kenapa?" Tanya Lilia lagi, tampak khawatir, karena tak seperti bisanya Aldebaran akan seperti ini. "Papa... Apa Papa tidak ingin makan malam dulu? Em... Lilia sudah buat makan malam."
"Diam!" geram Aldebaran, tajam.
"?!"
Lilia seketika terdiam mendengar bentakan Aldebaran, wajahnya yang polos masih tampak kebingungan melihat tingkah Aldebaran yang sangat emosional dan tertekan seperti ini.
"Aku tidak ingin apapun... Atau melakukan apapun..." perlahan tangan Aldebaran menyusup ke belakang punggung Lilia, Aldebaran memeluk tubuh mungil yang terbaring di bawah tubuhnya dengan erat.
"Pa-papa!" wajah Lilia memerah merasakan tubuhnya semakin menempel sempurna di tubuh Aldebaran yang besar dan kokoh seperti batu karang, tubuh Aldebaran yang keras semakin menekan tubuh mungil Lilia.
Aldebaran semakin membenamkan wajahnya di dada gadis itu seolah mencari kenyamanan di tengah rasa sakit yang sedang di alaminya.
"Jangan! aku ingin tetap seperti ini." kata Aldebaran pelan, mempererat pelukannya saat Lilia berusaha melepaskan diri dari pelukan Aldebaran yang semakin menekan tubuh mungil Lilia.
"Em... Papa... Lilia sudah buat makan malam, apa Papa tidak ingin makan malam dulu?" Tanya Lilia lagi.
"Tidak! Aku tidak mau apapun."
Perlahan, Aldebaran memejamkan matanya, mencoba meredakan bada dalam dirinya, "Apa lilia hanya akan menjadi pelampiasanku saja? Aku tak ingin menyakitinya. Tapi... Aku juga tidak tahu apa yang sebenarnya aku rasakan padanya." gumam Aldebaran dalam hati. Pikirannya penuh dengan bayangan wajah Lilia, namun di satu sisi bayangan Diana juga tak mau pergi.
Pikiran itu membuat dadanya terasa sekak, Aldebaran merasakan air matanya mengalir lagi di sudut matanya. Menunjukan dilema yang begitu mendalam di dalam hatinya, ia mempererat pelukannya di tubuh Lilia, yang membuat Lilia tak memiliki pilihan untuk tetap diam dan membiarkan Aldebaran memeluknya.
Bersambung....
sukses buat novelnya, jangan lupa support baliknya di novel baru aku ya 🙏☺️