Xavier, dokter obgyn yang dingin, dan Luna, pelukis dengan sifat cerianya. Terjebak dalam hubungan sahabat dengan kesepakatan tanpa ikatan. Namun, ketika batas-batas itu mulai memudar, keduanya harus menghadapi pertanyaan besar: apakah mereka akan tetap nyaman dalam zona abu-abu atau berani melangkah ke arah yang penuh risiko?
Tinggal dibawah atap yang sama, keduanya tak punya batasan dalam segala hal. Bagi Xavier, Luna adalah tempat untuk dia pulang. Lalu, sampai kapan Xavier bisa menyembunyikan hubungan persahabatannya yang tak wajar dari kekasihnya, Zora!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Lestary, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 8 : Between Us
Pagi itu, aroma kopi memenuhi dapur mereka. Luna berdiri di depan mesin kopi, mengenakan piyama longgar dengan rambut diikat asal-asalan. Matanya menatap kosong ke cangkir di depannya. Ia telah memutuskan bahwa ia harus mendukung Xavier, apa pun pilihannya. Hubungan mereka hanyalah persahabatan, dan ia harus memastikan batas itu tetap jelas.
Sedangkan Claire, Luna harus mencari waktu untuk berbicara dengannya. Mungkin untuk meminta maaf.
Saat Xavier muncul dari kamarnya, mengenakan kaus hitam dan celana pendek, Luna tersenyum cerah seperti biasa. "Kopi?" tanyanya sambil mengangkat cangkir.
Xavier mengangguk, berjalan mendekat. "Sepertinya kau bangun lebih pagi dari biasanya."
Luna mengangkat bahu, mencoba bersikap santai. "Pikiran terlalu banyak. Aku pikir, lebih baik mengawali hari dengan kopi daripada berguling-guling di tempat tidur."
"Pikiran tentang apa?" Xavier bertanya sambil menuang kopi ke cangkirnya.
Luna terdiam sejenak, lalu tersenyum kecil. "Tentang Zora. Aku pikir dia wanita yang hebat, Xavier. Jika kau ingin melanjutkan hubungan dengannya, aku akan mendukungmu sepenuhnya."
Xavier berhenti sejenak, cangkir kopinya tergantung di udara. Matanya menatap Luna dengan ekspresi yang sulit dibaca. "Kau benar-benar berpikir begitu?"
Luna mengangguk cepat, mencoba menyembunyikan kegugupan yang mulai merayapi dirinya. "Tentu saja. Aku ingin kau bahagia, Xavier. Zora terlihat seperti seseorang yang bisa memberimu itu."
Ekspresi Xavier mengeras. Ia meletakkan cangkirnya di meja dengan sedikit terlalu keras. "Itu saja yang kau pikirkan? Bahwa aku harus bahagia dengan orang lain?"
Luna terkejut dengan nada suaranya yang tiba-tiba berubah. "Xavier, aku hanya... Aku hanya ingin mendukungmu. Bukankah itu yang dilakukan sahabat?"
"Sahabat?" Xavier mengulang kata itu dengan getir, menatap Luna dengan intens. Xavier tersenyum dengan sudut bibirnya, menatap penuh arti ke arah gelas kopi di hadapannya. "Baiklah, jika menurutmu itu baik."
Xavier beranjak dari sana, meninggalkan Luna dan kopinya disana begitu saja.
Luna mematung di tempatnya berdiri, melirik bergantian antara kopi yang tergeletak dimeja, dan Xavier yang kembali masuk ke kamarnya.
Luna menghela napas panjang, merasa ada sesuatu yang salah, tetapi tidak bisa sepenuhnya memahami apa. Ia mengangkat cangkir kopinya, lalu menyeruputnya, mencoba menghilangkan rasa tidak nyaman yang mulai mengganggunya.
“Kenapa dia marah? Bukannya aku baru saja mendukungnya?” gumamnya pelan.
Namun, keheningan pagi itu terlalu berat untuk dibiarkan. Luna memutuskan untuk menyelesaikan sarapannya dengan cepat, lalu pergi ke balkon untuk menghirup udara segar. Ia berharap suasana di luar bisa meringankan beban pikirannya.
Di dalam kamar, Xavier berdiri di depan jendela dengan rahang yang mengeras. Kata-kata Luna terus berputar di kepalanya, menusuk seperti duri. "Aku ingin kau bahagia, Xavier. Zora terlihat seperti seseorang yang bisa memberimu itu." Ucapan itu terdengar begitu datar, tanpa emosi, seolah Luna sama sekali tidak peduli. Entah kapan Luna bisa peka, sedikit saja.
“Apa aku hanya sekadar sahabat baginya?” gumam Xavier lirih. Ia mengepalkan tangannya, lalu menghembuskan napas panjang. Ia tahu, ia tak punya hak untuk marah, apalagi berharap lebih. Tapi hati kecilnya tidak bisa menerima. Ia menginginkan Luna berkata sebaliknya—memintanya untuk tidak pergi, memintanya untuk tetap di sisinya.
Pagi itu terasa berbeda. Xavier bergegas keluar dari apartemen, mengenakan kemeja biru gelap yang sudah rapi tanpa banyak bicara. Tidak ada basa-basi seperti biasanya, bahkan tidak ada pandangan sekilas ke arah Luna. Ia hanya menyambar kunci mobilnya, memasang sepatu dengan gerakan terburu-buru, lalu keluar begitu saja.
Luna, yang masih berada di balkon hanya menoleh sekilas ke arah pintu yang tertutup. Ia mendesah pelan. "Dia pasti masih kesal," gumamnya sambil mengangkat bahu.
Lagi pula, ini bukan kali pertama mereka beradu argumen. Dan seperti biasa, Luna memutuskan untuk tidak mengambil pusing. Xavier mungkin akan kembali seperti biasa nanti malam—begitulah pikirnya.
Setelah menyelesaikan rutinitas paginya, Luna bergegas bersiap untuk bertemu kliennya. Hari ini, ia dijadwalkan untuk melihat lokasi pameran yang akan diadakan seminggu lagi. Dengan membawa beberapa sketsa dan dokumen terkait, Luna melangkah keluar apartemen dengan semangat yang coba ia bangun sendiri.
Lokasi pameran itu adalah sebuah galeri seni modern di pusat kota. Bangunannya megah, dengan dinding kaca besar yang memantulkan sinar matahari pagi. Luna melangkah masuk dengan percaya diri, mengenakan blazer abu-abu muda yang membuatnya terlihat profesional, meskipun gaya santainya tetap terlihat dari celana jeans yang ia kenakan.
“Luna?” panggil seseorang dari arah meja resepsionis.
Luna menoleh, senyumnya otomatis terulas. “Bu Sarah, senang bertemu Anda lagi!”
Bu Sarah, kliennya, seorang wanita paruh baya dengan gaya anggun, menyambutnya hangat. “Senang melihatmu juga, Luna. Oh, ini asistenku, Zora. Mulai hari ini, dia yang akan mengurus semua komunikasi denganmu dan memeriksa hasil karyamu.”
Luna terpaku sejenak, merasa nama itu seperti tidak asing. Matanya bergerak ke arah Zora, wanita yang berdiri di samping Bu Sarah dengan senyum sopan. Ia mengenakan blus putih rapi yang dipadukan dengan rok hitam, penampilannya begitu profesional. Rambutnya yang panjang dan hitam tergerai sempurna.
“Zora…” Luna akhirnya berkata, senyumnya melebar. “Senang bertemu lagi.”
“Luna,” Zora menjawab dengan senyum yang tak bisa terbaca. “Aku tidak menyangka kita akan bekerja sama dalam proyek ini.”
Bu Sarah tampak senang melihat keduanya saling mengenal. “Bagus! Itu berarti kerja sama kita akan lebih lancar, bukan?”
Luna mengangguk kecil. Ia tidak pernah membayangkan akan bertemu Zora dalam situasi seperti ini, apalagi harus bekerja sama dengannya. Seakan dunia terasa begitu sempit.
“Baiklah, kalau begitu, aku akan meninggalkan kalian untuk berdiskusi,” kata Bu Sarah sambil menepuk bahu Zora. “Pastikan semuanya berjalan lancar, Zora.”
“Ya, Bu,” jawab Zora sopan. Setelah Bu Sarah pergi, Zora berbalik menghadap Luna. “Sepertinya kita akan sering bertemu mulai sekarang.”
Luna tersenyum kecil, “Ya, sepertinya begitu.”
Zora menatap Luna sejenak, seolah mencoba membaca pikirannya. “Xavier sering bercerita tentangmu, Luna.” katanya tiba-tiba.
Luna tertegun. “Oh, ya?” jawabnya, sesuai dengan ciri khasnya yang santai.
“Ya,” Zora melanjutkan, senyumnya tak pernah pudar. “Dia bilang kau adalah sahabat terbaiknya. Aku pikir itu luar biasa. Tidak semua orang bisa memiliki hubungan sedekat itu, dengan Xavier.”
“Kau benar, aku sendiri bahkan tidak menyangka bisa betah berteman dengannya.” canda Luna, lalu kedua wanita itu tertawa bersama.
“Baiklah,” kata Zora akhirnya, yang tampak semakin akrab dengan Luna. “Kita mulai saja, ya? Aku ingin melihat sketsa dan konsep lukisan yang kau siapkan untuk pameran ini.”
“Baik,” jawab Luna sambil mengangguk, kembali fokus pada pekerjaannya. Keduanya duduk disalah satu meja kosong di lobi, Luna menunjukkan beberapa sketsa yang ia bawa. Obrolan mereka kini hanya fokus pada pekerjaan.
To Be Continued ♡♡♡
semangaaattt ya thor
Aku dukung 🥰