NovelToon NovelToon
Kejamnya Mertuaku

Kejamnya Mertuaku

Status: sedang berlangsung
Genre:Ibu Mertua Kejam
Popularitas:4.4k
Nilai: 5
Nama Author: Mira j

Anjani, gadis manis dari kampung, menikah dengan Adrian karena cinta. Mereka tampak serasi, tetapi setelah menikah, Anjani sadar bahwa cinta saja tidak cukup. Adrian terlalu penurut pada ibunya, Bu Rina, dan adiknya, Dita. Anjani diperlakukan seperti pembantu di rumah sendiri. Semua pekerjaan rumah ia kerjakan, tanpa bantuan, tanpa penghargaan.

Hari-harinya penuh tekanan. Namun Anjani bertahan karena cintanya pada Adrian—sampai sebuah kecelakaan merenggut janin yang dikandungnya. Dalam keadaan hancur, Anjani memilih pergi. Ia kabur, meninggalkan rumah yang tak lagi bisa disebut "rumah".

Di sinilah cerita sesungguhnya dimulai. Identitas asli Anjani mulai terungkap. Ternyata, ia bukan gadis kampung biasa. Ada darah bangsawan dan warisan besar yang tersembunyi di balik kesederhanaannya. Kini, Anjani kembali—bukan sebagai istri yang tertindas, tapi sebagai wanita kuat yang akan menampar balik mertua dan iparnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

bab 18

Kabar bahwa perceraian Adrian akan disidangkan bulan depan membawa kebahagiaan tersendiri bagi Anggun.

Senyum puas terukir di wajahnya saat membayangkan dirinya akhirnya bisa menikah dengan pria yang selama ini menjadi pujaan hatinya. Baginya, ini adalah kesempatan untuk mengukuhkan posisi di hati Adrian—tanpa ada lagi bayang-bayang Anjani.

Sore itu, dengan penuh semangat, Anggun mempersiapkan diri untuk mengunjungi rumah calon mertuanya. Ia memilih pakaian terbaiknya, riasan yang sempurna, dan tak lupa membawa beberapa tas belanja berisi barang-barang bermerek yang mahal.

"Sedikit kesan yang baik tak akan pernah salah," gumamnya sambil memeriksa kembali isi tas belanjaan. Ada parfum mewah untuk sang mertua, serta sepatu terbaru untuk calon adik iparnya, Dita. Ia tahu betul cara merebut hati keluarga Adrian—melalui perhatian kecil yang dikemas dalam kemewahan.

Setibanya di depan rumah itu, Anggun menarik napas panjang, berusaha menunjukkan keanggunan yang sesuai dengan namanya. Ia mengetuk pintu dengan sopan, dan tak lama kemudian, Bu Rina membukakan pintu.

"Oh, Anggun. Kamu datang …" sapa Bu Rina dengan senyum yang penuh arti.

"Ya, Tante. Saya sengaja datang untuk bersilaturahmi... dan membawa sedikit oleh-oleh. Semoga Tante dan Dita menyukainya.”

Wajah Bu Rina langsung berbinar melihat merek-merek mewah yang tertera di tas-tas tersebut. "Wah, terima kasih banyak, sayang. Kamu memang calon menantu yang tahu bagaimana menyenangkan hati keluarga."

Anggun hanya membalas dengan senyuman manis. Dalam hatinya, ia tahu bahwa ia semakin dekat dengan tujuannya. Bagi Anggun, memenangkan hati keluarga Adrian adalah langkah penting untuk memastikan masa depannya bersama pria yang selama ini ia inginkan.

Bu Rina menyambut Anggun dengan penuh antusias. "Masuklah, sayang. Tante sudah lama menunggu kamu datang," katanya dengan senyum lebar sambil mempersilakan Anggun duduk di ruang tamu.

Anggun menyerahkan tas oleh-oleh bermerek dengan manis.

"Wah, terima kasih, Anggun. Kamu memang selalu perhatian," balas Bu Rina dengan senyum puas.

Tak lama, Dita yang baru pulang kerja muncul dari arah tangga. Melihat Anggun, ia langsung tersenyum dan duduk di sampingnya. "Kak Anggun, sudah lama di sini?" tanyanya ramah.

"Baru saja, Dita. Ini ada sedikit oleh-oleh untukmu. Aku harap kamu suka," jawab Anggun sambil menyerahkan tas belanjaan khusus untuk Dita.

Dita membuka tas tersebut, matanya berbinar melihat isinya. "Wah, Kak, ini benar-benar keren! Terima kasih banyak."

Bu Rina, yang sejak tadi memperhatikan interaksi mereka, bertanya dengan nada penuh harap, "Bagaimana kabar Adrian? Sidangnya jadi bulan depan, ya?"

Anggun mengangguk sambil tersenyum. "Iya, Tante. Kalau semuanya berjalan lancar, setelah perceraian selesai, aku dan Adrian akan mulai merencanakan pernikahan kami."

Dita menoleh dengan antusias, kali ini tanpa nada sinis. "Aku setuju, Kak. Sejujurnya, aku pikir kamu memang yang terbaik untuk Adrian. Kakakku butuh seseorang yang bisa benar-benar mengerti dia."

Anggun tersenyum, lega mendengar dukungan dari Dita. "Terima kasih, Dita. Aku hanya ingin menjadi bagian dari keluarga ini dan membahagiakan Adrian."

Bu Rina langsung menepuk tangan kecil-kecil, terlihat puas dengan keharmonisan yang mulai terjalin. "Nah, seperti ini kan lebih baik. Tante yakin, kamu bisa membuat Adrian bahagia, Anggun."

Dita mengangguk setuju. "Iya, Kak. Dan aku akan dukung kalian berdua. Aku juga capek lihat Adrian terus-terusan terjebak dalam hubungan yang nggak sehat."

Anggun memandang Dita dengan tatapan penuh rasa terima kasih. "Aku benar-benar menghargai dukunganmu, Dita. Semoga semuanya bisa berjalan sesuai harapan."

Bu Rina menambahkan dengan senyum penuh arti, "Dengan begini, keluarga kita akan lebih kuat. Tante yakin, masa depan kalian akan lebih baik."

Percakapan pun berlanjut dengan suasana yang jauh lebih hangat. Untuk pertama kalinya, Anggun merasa rencananya benar-benar mendapat dukungan penuh dari keluarga Adrian.

Sore itu, suasana di rumah Bu Rina terasa hangat. Anggun duduk bersama Bu Rina dan Dita di ruang tamu, membicarakan rencana pernikahan yang akan segera berlangsung setelah proses perceraian Adrian selesai. Tawa kecil terdengar, menciptakan keakraban yang nyaman.

Namun, kehangatan itu langsung pecah saat pintu depan dibuka dengan kasar. Adrian baru saja pulang dari kantor, wajahnya lelah, dasinya longgar, dan raut wajahnya penuh kejengkelan.

Tanpa sepatah kata pun, Adrian berjalan cepat menuju meja makan, berharap ada makanan setelah seharian bekerja. Namun, meja itu kosong. Ekspresinya mengeras, rasa kesalnya mulai muncul.

Ia berbalik menuju ruang tamu, tatapannya tajam tertuju pada ibunya. "Kenapa nggak ada makanan? Sibuk ngobrol sampai lupa masak?"

Bu Rina terdiam sejenak, lalu mencoba menjelaskan dengan tenang. "Mama lupa, Nak. Tadi ngobrol sama Anggun, jadi belum sempat masak."

Adrian menghela napas kasar, menahan rasa kesal yang hampir meledak. "Seharian aku kerja, pulang-pulang malah nggak ada yang peduli aku makan atau nggak?"

Melihat suasana yang mulai tegang, Anggun berdiri dengan tenang. "Adrian, bagaimana kalau kita makan di luar saja? Aku traktir, sekalian menghilangkan penat. Lagipula, suasana makan di luar mungkin bisa menyegarkan pikiranmu."

Dita ikut mendukung ide tersebut. "Iya, Kak. Sekalian refreshing, daripada suasana di rumah makin tegang."

Adrian terdiam beberapa saat, pikirannya tampak berat. Lalu, dengan nada dingin, ia akhirnya mengangguk pelan. "Baiklah..."

Bu Rina tersenyum lega, mencoba mencairkan suasana. "Bagus, Nak. Anggap saja ini waktu untuk melepas stres."

Anggun tersenyum tipis, merasa lega karena setidaknya Adrian setuju. "Oke, kalau begitu, ayo kita berangkat sekarang. Aku tahu restoran yang makanannya enak dan suasananya nyaman."

Mereka pun bersiap-siap, meninggalkan rumah bersama. Selama perjalanan, suasana masih terasa canggung, terutama antara Adrian dan Anggun. Namun, setidaknya ada kesempatan untuk membuat suasana menjadi lebih baik.

Sesampainya di restoran, mereka mulai menikmati makan malam dengan obrolan ringan. Meskipun Adrian masih terlihat dingin.

Suasana restoran malam itu cukup tenang, hanya terdengar suara dentingan alat makan dan obrolan pelan para pengunjung. Adrian duduk bersama Anggun, Bu Rina, dan Dita, perlahan mulai melunak setelah makan malam yang cukup menyenangkan.

Namun, ketenangan itu mendadak pecah saat matanya secara tak sengaja menangkap sosok yang familiar di sudut restoran. Seorang wanita duduk dengan anggun, mengenakan blouse sederhana berwarna pastel. Wajahnya, posturnya—tidak salah lagi, itu Anjani.

Adrian membelalak, tubuhnya kaku. Yang membuat dadanya semakin sesak, Anjani tidak sendirian. Di hadapannya duduk seorang pria yang tampak nyaman berbicara dengannya. Pria itu tersenyum, membuat Anjani tertawa kecil—sebuah pemandangan yang mengaduk emosi Adrian.

Tanpa pikir panjang, rasa cemburu dan amarah yang tak tertahan menguasai dirinya. Ia bangkit dari kursi, melangkah cepat menuju meja di sudut restoran itu.

"Anjani?" Suaranya rendah, tapi tajam, membuat Anjani menoleh dengan wajah terkejut.

Sebelum sempat berkata apa-apa, Adrian langsung meraih pergelangan tangannya dengan kasar. "Apa yang kamu lakukan di sini? Dan siapa dia?"

Anjani terkejut, berusaha menarik tangannya. "Lepaskan, Adrian! Kamu nggak punya hak memperlakukanku seperti ini lagi!"

Saat Adrian dengan kasar menarik tangan Anjani, suasana restoran langsung berubah tegang. Tatapan para pengunjung yang tadinya asyik menikmati makan malam kini tertuju pada mereka.

Anjani mencoba menarik tangannya, namun genggaman Adrian terlalu kuat. "Lepaskan, Adrian! Kamu nggak punya hak memperlakukanku seperti ini!" serunya dengan suara bergetar, campuran antara marah dan malu.

Tanpa disangka, Bu Rina dan Dita ikut mendekat dengan wajah sinis. Mereka berdiri di samping Adrian, memperkeruh situasi yang sudah panas.

Bu Rina menatap Anjani tajam dari ujung kepala hingga kaki, lalu berkata dengan nada merendahkan, "Pantas saja kamu cepat-cepat ingin bercerai, teryata kamu sudah punya pacar baru ,  memang tabiatmu seperti ini, Anjani. Wanita murahan  nggak tahu diri!"

Anjani tertegun, matanya membelalak mendengar tuduhan itu. Napasnya tercekat, tapi ia berusaha menahan amarah.

Dita menambahkan dengan senyum mengejek, "Nggak heran Kak Adrian muak sama kamu. Baru pisah sebentar udah nempel sama laki-laki lain. Memalukan!"

Wiliam, yang sejak tadi menahan diri, akhirnya maju, berdiri di antara Anjani dan keluarga Adrian. "Cukup! Kalian nggak punya hak memperlakukan Anjani seperti ini. Ini tempat umum, jaga sikap kalian!"

Adrian mendekat ke Wiliam dengan wajah gelap. "Ini urusan keluarga kami. Jangan ikut campur!"

Wiliam menatap Adrian dengan dingin. "Keluarga? Kamu bahkan nggak menghormati proses perceraian kalian. Dia bukan milikmu lagi, Adrian. Dan Anjani pantas diperlakukan dengan hormat."

Anjani akhirnya menarik napas dalam-dalam, menatap langsung ke arah Bu Rina dan Dita. Suaranya rendah tapi tegas, "Kalian sudah cukup mempermalukan diri sendiri. Jangan pikir aku akan diam. Perceraian ini akan segera selesai, dan setelah itu, aku tidak akan pernah terlibat lagi dengan keluarga yang seperti ini."

Bu Rina hendak membalas, tapi Anjani lebih dulu menarik tangan Wiliam, "Ayo, pak, Kita nggak perlu buang waktu untuk orang-orang yang nggak tahu sopan santun."

sementara Adrian berdiri mematung, rahangnya mengeras. Anggun, yang sedari tadi memperhatikan dari kejauhan, hanya bisa tersenyum puas melihat bagaimana Bu Rina dan Dita membela dirinya secara terang-terangan.

Melihat keributan yang mulai menarik perhatian pengunjung lain, Anggun cepat-cepat menghampiri, berusaha menarik Adrian menjauh. "Adrian, jangan buat malu di sini. Ayo, kembali ke meja kita."

Adrian mendengus, penuh amarah dan kekecewaan yang tertahan. Ia akhirnya kembali ke mejanya dengan wajah muram, sementara Anggun hanya bisa memandang dengan tatapan khawatir.

Dita, yang menyaksikan kejadian itu, berbisik pelan pada ibunya, "Sepertinya Kak Adrian belum benar-benar bisa melepaskan Kak Anjani, Ma."

Bu Rina mendesah, melihat situasi itu dengan rasa frustrasi yang dalam. Sementara itu, Anjani kembali duduk, mencoba menenangkan hatinya yang bergetar hebat karena kejadian tak terduga barusan.

Suasana restoran yang semula tenang berubah menjadi tegang setelah kejadian tak terduga itu. Tatapan para pengunjung yang penasaran membuat Anjani merasa semakin tak nyaman. Wajahnya masih memerah, bukan karena malu, tapi karena kesal atas perlakuan Adrian yang tiba-tiba muncul dan bersikap semena-mena.

Wiliam menghela napas panjang, mencoba menenangkan situasi. "Sepertinya, lebih baik kita pergi dari sini," ucapnya dengan nada lembut.

Anjani mengangguk pelan, suaranya bergetar menahan emosi. "Iya, aku nggak nyaman di sini. Maaf, Wiliam… aku nggak menyangka Adrian akan datang dengan sikap sekasar itu."

Wiliam tersenyum menenangkan. "Kamu nggak perlu minta maaf. Ini bukan salah kamu. Ayo, kita cari tempat lain yang lebih tenang."

Mereka segera bangkit, meninggalkan restoran itu dengan langkah cepat. Anjani merasa seluruh mata tertuju pada dirinya, tapi ia berusaha menegakkan kepala, menunjukkan bahwa dirinya tidak selemah yang Adrian kira.

Di luar restoran, Anjani menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan detak jantungnya yang masih berdegup kencang. "Aku benar-benar nggak habis pikir kenapa dia harus bertindak seperti itu. Padahal kami sudah sepakat menjalani proses perceraian dengan damai."

Wiliam menatap Anjani penuh perhatian. "Mungkin dia belum siap melepaskanmu, meskipun dia yang membuat semua ini berakhir."

Anjani menggeleng, tatapannya kosong menatap jalanan. "Itu bukan alasan untuk bersikap tidak sopan. Aku cuma ingin semua ini cepat selesai, tanpa drama yang nggak perlu."

Wiliam tersenyum hangat, berusaha mengalihkan suasana. "Sudahlah, jangan biarkan kejadian tadi merusak makan malam kita. Ayo, aku tahu satu restoran yang suasananya lebih tenang dan makanannya enak."

Anjani mengangguk pelan, akhirnya tersenyum tipis. "Baiklah, aku butuh makan malam yang tenang setelah semua kekacauan ini."

Mereka pun melangkah pergi ,mobil Wiliam meluncur di keramaian malam …..

1
Arsyi Aisyah
Ya Silahkan ambillah semua Krn masa lalu Anjani tdk ada hal yang membahagiakan kecuali penderitaan jdi ambil semua'x
Arsyi Aisyah
katanya akan pergi klu udh keguguran ini mlh apa BKIN jengkel tdk ada berubahnya
Linda Semisemi
greget ihhh.... kok diem aja ya diremehkan oleh suami dan keluarganya....
hrs berani lawan lahhh
Heni Setianingsih
Luar biasa
Petir Luhur
seru banget
Petir Luhur
lanjut.. seru
Petir Luhur
lanjut kan
Petir Luhur
lanjut thor
Petir Luhur
bagus bikin geregetan
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!