Perjalanan hidup Kanaya dari bercerai dengan suaminya.
Lalu ia pergi karena sebuah ancaman, kemudian menikah dengan Rafa yang sudah dianggap adiknya sendiri.
Sosok Angela ternyata mempunyai misi untuk mengambil alih harta kekayaan dari orang tua angkat Kanaya.
Selain itu, ada harta tersembunyi yang diwariskan kepada Kanaya dan juga Nadira, saudara tirinya.
Namun apakah harta yang di maksud itu??
Lalu bagaimana Rafa mempertahankan hubungannya dengan Kanaya?
Dan...
Siapakah ayah dari Alya, putri dari Kanaya, karena Barata bukanlah ayah kandung Alya.
Apakah Kanaya bisa bertemu dengan ayah kandung Alya?
Lika-liku hidup Kanaya sedang diperjuangkan.
Apakah berakhir bahagia?
Ataukah luka?
Ikutilah Novel Ikatan Takdir karya si ciprut
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon si ciprut, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bersembunyi
Pagi itu, Kanaya datang ke warung dekat pasar untuk membeli popok dan sedikit sayur.
Ia memilih waktu saat kampung masih sepi… tapi ternyata ia salah.
Sepanjang jalan, tatapan mata mengikuti setiap langkahnya.
Bisik-bisik mulai terdengar:
“Itu Kanaya ya? yang tinggal tempat mbok Ratih?”
“Dengar-dengar suaminya nggak mau… anaknya siapa, coba?”
“Katanya semalam nangis keras lho. Ada masalah besar tuh…”
Kanaya menggigit bibir, berusaha terus berjalan sambil mengendong bayinya lebih erat.
Ketika ia hendak membayar, Bu Leni—tetangga cerewet dan paling suka mengorek gosip—tiba-tiba muncul tepat di belakangnya.
“Oh… belanja untuk bayi? Lucu sekali,” suaranya manis tapi pedas.
“Eh, suaminya kok nggak ikut? Mana bapak dari anak ini?”
Kanaya menahan napas.
“Dia… ada urusan di kota.”
Bu Leni menghampiri lebih dekat, menatap bayi itu penuh curiga.
“Hmmm… jadi ini anaknya ya?
Mirip siapa ya? Kamu? Suamimu? Atau…”
Ia sengaja mengulur kalimat terakhir.
Kanaya mulai panik. Jemarinya gemetar saat memasukkan kembalian ke tas.
Bu Leni makin semangat melihat Kanaya terpojok.
“Kanaya, kalau kamu butuh bantuan… kita semua siap kok.
Apalagi kalau suamimu nggak mau terima kamu lagi— eh, maksudnya…”
Itu jelas bukan “khawatir”, itu umpan.
Kanaya menunduk, berharap bisa pergi tanpa drama.
Tiba-tiba pintu warung berbunyi keras.
Rafa masuk dengan langkah panjang, mata tajam menatap situasi.
Ia langsung berdiri di sisi Kanaya.
“Bu Leni,” ucapnya datar.
“Saya yang suruh Kanaya belanja. Kalau ada yang Ibu tanyakan, Ibu tanya ke saya.”
Bu Leni terkejut, tapi cepat menyembunyikan wajah kagetnya dengan senyuman sinis.
“Eh, Rafa… kamu pulang? Tumben perhatian sekali sama Kanaya.”
Rafa menggendong kantong belanja Kanaya, sikap protektifnya tidak dibuat-buat.
“Keluarga saya dari kecil sudah anggap Kanaya seperti saudara,” katanya mantap.
“Jadi saya yang bertanggung jawab dia aman di sini.”
Bu Leni menyipitkan mata.
“Keluarga? Saudara? Sejak kapan?”
Rafa tersenyum tipis—senyum yang memperingatkan.
“Sejak sebelum Ibu datang tinggal di kampung ini.”
Bu Leni membuka mulut, tapi tak ada kata yang keluar.
Rafa menggenggam lengan Kanaya, mengajaknya pergi.
“Permisi,” katanya dingin.
Mereka melangkah keluar.
Di jalan menuju rumah, Kanaya menunduk, air mata jatuh tanpa suara.
“Maaf… aku menyusahkanmu,” suaranya bergetar.
Rafa berhenti.
Ia memutar tubuh Kanaya menghadapnya, menatap matanya yang sembab.
“Kamu nggak menyusahkan siapa-siapa,” ucapnya pelan tapi tegas.
“Kalau kampung ini mulai ribut… aku akan jadi tameng kamu.”
Kanaya terdiam—mencari kekuatan dalam tatapan Rafa.
“Aku akan pastikan,” Rafa menambahkan,
“Tidak ada siapa pun… yang bisa menyentuh kamu dan bayi ini.”
Di balik kalimat itu,
ada perasaan yang lebih besar—
tapi Rafa menyimpannya sendiri.
Namun… jauh di sudut jalan, Bu Leni memperhatikan mereka dari kejauhan.
Senyum curiganya kembali menghiasi bibir.
Dan ia mulai mengetik pesan cepat ke seseorang yang gemar membongkar rahasia.
Yang berarti…
jejak Kanaya perlahan mulai muncul ke permukaan.
Dan jika gosip sampai ke orang yang salah…
Angela hanya tinggal menunggu alamat.
***
Sore itu, hujan turun pelan, menutupi suara langkah di kampung.
Kanaya duduk di ruang tamu Bibi Ratih, menggenggam bayinya erat.
Mata Kanaya sembab, tubuhnya lelah, tapi hatinya tetap tegang karena gosip Bu Leni semalam.
Rafa berdiri di dekat jendela, menatap jalan yang basah.
Ia tahu… ini bukan lagi soal gosip biasa.
Angela dan orang-orangnya bisa mengikuti jejak mereka.
Rafa menarik napas panjang, menatap Kanaya.
“Kak,” katanya pelan, tapi penuh tekad,
“Kita nggak bisa tetap di sini. Aku harus bawa kamu dan bayi pergi… ke tempat yang lebih aman.”
Kanaya menoleh, matanya penuh kebingungan.
“Rafa… tapi… ke mana? Bagaimana aku bisa pergi begitu saja?”
Rafa menepuk bahunya lembut.
“Kamu nggak perlu takut. Aku tahu tempat yang jauh dari kampung… jauh dari orang kota yang mencari.
Aku sudah mikirin semua rutenya. Kita pindah diam-diam, malam ini.”
Kanaya menunduk, suara pelan:
“Tapi aku nggak tahu siapa yang bisa dipercaya… Aku takut…”
Rafa tersenyum tipis, menatap mata Kanaya, tulus:
“Kamu nggak perlu percaya siapa pun. Cukup percaya sama aku.
Aku janji, selama aku di sini, tidak ada yang akan menyakiti kamu dan bayi ini.”
Malam mulai turun.
Rafa menyiapkan tas untuk Kanaya—popok, pakaian bayi, sedikit makanan.
Bibi Ratih membantu, menatap mereka dengan haru tapi juga lega.
Rafa mengecek semua sudut rumah, memastikan tidak ada jejak yang bisa diikuti.
Ia menutupi semua bekas tapak kaki dengan daun kering dan tanah basah, berusaha menyulitkan siapa pun yang mencoba melacak.
“Siap?” tanya Rafa pada Kanaya.
Kanaya mengangguk, meski tangannya masih gemetar memeluk bayinya.
Rafa memegang lengan Kanaya dan berkata pelan:
“Kalau ada yang bertanya atau mencoba menghalangi… jangan khawatir. Aku akan berada di depan.
Kamu tinggal ikut langkahku.”
Kanaya menelan ludah, menunduk, tapi hatinya sedikit lega.
Ia merasakan ketenangan yang belum pernah ia rasakan sejak melarikan diri dari Barata dan Angela.
Rafa memimpin mereka pergi melalui jalan setapak desa, melewati sawah basah, di bawah remang lampu malam.
Hanya suara gemericik hujan dan langkah kaki mereka yang terdengar.
Dalam hati, Rafa bertekad:
“Aku tidak peduli seberapa jauh… seberapa sulit…selagi aku masih bisa berdiri, aku akan melindungi mereka.
Tidak ada yang akan menyentuh Kanaya dan anaknya, selama aku masih hidup.”
Namun Rafa juga tahu…
ini baru awal.
Angela sudah mulai melacak, dan setiap langkah mereka bisa diamati oleh mata yang salah.
Tetapi malam itu, satu hal jelas:
Kanaya dan bayinya aman… untuk sementara.
Malam itu, Rafa dan Kanaya tiba di sebuah rumah kayu kecil di tepi hutan, beberapa kilometer dari kampung Bibi Ratih.
Rumah itu sepi, dikelilingi pepohonan tinggi, jauh dari jalan utama.
Satu-satunya suara hanyalah angin yang menembus celah-celah kayu dan gemericik hujan di atap seng.
Rafa menurunkan tas berisi popok, baju, dan makanan.
Kanaya duduk di bangku kayu, bayi di pelukannya masih tertidur lelap.
Meski jauh dari kota dan kampung, ketegangan masih terasa—mata Kanaya sering menatap jendela, tubuhnya tegang.
“Ini tempat yang aman untuk sementara,” kata Rafa, menenangkan.
“Tapi kita harus tetap waspada. Angela pasti tidak akan menyerah.
Dia pasti mencari jejak kita.”
Kanaya mengangguk, suara lembut tapi masih bergetar:
“Rafa… aku takut. Aku tidak tahu berapa lama kita bisa bersembunyi.”
Rafa mendekat, meletakkan tangannya di bahu Kanaya.
“Kamu tidak perlu takut. Selama aku di sini, tidak ada yang akan menyakiti kamu dan bayi.”
Meski kata-katanya meyakinkan, hatinya sendiri tetap tegang.
Ia tahu: dari suatu arah, seseorang pasti mengawasi mereka.
Dan di dunia nyata… Angela bisa mengirim orang untuk menelusuri setiap gerak mereka.
Rafa menyalakan lampu minyak kecil dan memeriksa pintu serta jendela.
Ia menata kursi dan meja agar bisa menghalangi siapa pun yang masuk.
Setiap langkah dilakukan dengan teliti, seperti strategi militer kecil—melindungi dua nyawa yang paling ia pedulikan.
Kanaya, duduk di kursi, memeluk bayinya, memperhatikan Rafa.
Ada rasa lega, tapi juga was-was yang tidak bisa ia hapus.
“Hidupku… sekarang tergantung pada Rafa,” pikirnya.
Dan meski takut, ia merasa ada seseorang yang benar-benar peduli.
Di luar rumah, angin malam bertiup kencang.
Rafa berdiri di depan jendela, mata menatap gelap hutan.
Dalam hatinya ia berbisik:
“Tidak peduli apa yang akan datang…selama aku masih bisa berdiri, aku akan menjaga kalian.”
Namun satu hal pasti: ketegangan itu tidak akan hilang.
Angela dan orang-orangnya masih mengintai… dan setiap suara, setiap langkah di malam sunyi, bisa menjadi tanda bahaya.
.
.
.
BERSAMBUNG
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
kira2 gmn akhir dari kisah ini
hahh jd anak itu anak siapa alya kok bisa kanya sma barata dan kok bisa alya hamil hadeh kepingan puzel yg bener2 rumit tingkat dewa 🤣🤣🤣🤣
jawaban dr alya anak dia bukan kira2 kasih flash back nya kapan 🤣🤣🤣
jane apa.sih iki 🤣🤣🤣
ini cerita gak tembus retensi, keterlaluan si LUN itu gak bantu promosiin 😤😤😤
ini bukan genre konflik etika, tetapi horor/ misteri