Ihsan Ghazi Rasyid, 40 tahun seorang duda beranak dua sekaligus pengusaha furnitur sukses yang dikenal karismatik, dingin dan tegas.
Kehidupannya terlihat sempurna harta berlimpah, jaringan luas, dan citra pria idaman. Namun di balik semua itu, ada kehampaan yang tak pernah ia akui pada siapa pun.
Kehampaan itu mulai berubah ketika ia bertemu Naina, gadis SMA kelas 12 berusia 18 tahun. Lugu, polos, dan penuh semangat hidup sosok yang tak pernah Ihsan temui di lingkaran sosialnya.
Naina yang sederhana tapi tangguh justru menjeratnya, membuatnya terobsesi hingga rela melakukan apa pun untuk mendapatkannya.
Perbedaan usia yang jauh, pandangan sinis dari orang sekitar, dan benturan prinsip membuat perjalanan Ihsan mendekati Naina bukan sekadar romansa biasa. Di mata dunia, ia pria matang yang “memikat anak sekolah”, tapi di hatinya, ia merasa menemukan alasan baru untuk hidup.
Satu fakta mengejutkan kalau Naina adalah teman satu kelas putri kesayangannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon fania Mikaila AzZahrah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 7. Keputusan Final Naina
Di kamar, Naina terduduk di tepi ranjang. Matanya sembab, napasnya berat menahan sesak. Ia baru saja menerima kenyataan pahit bahwa dirinya bukan anak kandung dari Pak Aditya, melainkan hasil luka gelap mamanya.
“Kenapa hidupku harus seperti ini,” lirihnya sambil menggenggam bantal.
Meski kuat di depan teman, hatinya sebenarnya rapuh. Ia terbiasa menjadi benteng di luar rumah, tetapi di balik pintu kamar, Naina hanyalah seorang gadis yang haus kasih sayang. Tatapan mamanya selalu berbeda ketika melihatnya dan adiknya, seolah ia hanyalah beban.
Naina menutup mata, berharap semua ini hanya mimpi buruk. Namun hatinya tahu, kenyataan tak bisa dihindari.
Naina menendang kursi di kamarnya, suaranya pecah menahan tangis yang berubah jadi amarah. Ia berdiri di depan kaca, menatap wajahnya sendiri seakan itu orang asing.
“Kenapa harus aku yang lahir dari dosa, kenapa bukan orang lain,” serunya dengan nada bergetar.
Ia mengusap air matanya kasar. “Aku capek pura-pura kuat, capek dibilang anak durhaka padahal aku cuma ingin disayang kayak adikku,” katanya sambil menekan dada sendiri.
Naina berjalan mondar-mandir, jari-jarinya gemetar. “Mama selalu bilang aku anak pembangkang, tapi apa salahku kalau aku berbeda. Aku nggak pernah minta dilahirkan dari cerita gelap Mama. Kenapa aku harus tanggung semua aib itu,” ujarnya lirih, lalu terisak.
Ia menatap langit-langit kamar, suaranya meninggi. “Papa Aditya selalu kuanggap ayah kandung, tapi ternyata aku cuma anak haram. Mama jahat, Mama egois. Mama nggak pernah lihat aku sebagai anak, cuma beban yang harus ditukar dengan rumah, mobil, uang. Apa aku segitu murahnya di mata Mama,” ucapnya penuh sakit hati.
Naina lalu jatuh terduduk di lantai, tubuhnya lemas. “Aku nggak butuh rumah mewah, nggak butuh mobil, nggak butuh uang. Aku cuma pengen dicintai, disayang tanpa syarat. Apa itu terlalu susah, Ma,” imbuhnya dengan tangis yang pecah.
Tangannya menggenggam lantai, seolah mencari pegangan. “Kalau terus begini, lebih baik aku nggak usah ada. Aku lelah hidup sebagai rahasia kotor orang lain,” katanya sambil menutup wajah dengan kedua telapak tangan.
Malam semakin larut, udara dingin menyelimuti rumah itu. Suara tangis dan amarah Naina dari dalam kamar terdengar jelas sampai ke telinga Bu Rahayu yang kebetulan lewat di koridor. Wajahnya menegang, langkahnya cepat menghampiri.
Tanpa mengetuk pintu, Bu Rahayu langsung menerobos masuk. “Kamu ngomong apa barusan? Anak nggak tahu diri!” serunya dengan nada tinggi.
Naina berdiri kaget, matanya masih basah. “Iya, aku ngomong! Aku benci hidup kayak gini, Ma!” katanya berani meski suara bergetar.
“Tutup mulutmu!” imbuh Bu Rahayu sambil menampar pipi Naina keras.
“Kenapa Mama tampar aku? Apa salahku selain lahir dari dosa yang Mama buat sendiri!” ucap Naina dengan air mata bercucuran.
Plak!! Plak!!
Tamparan kedua mendarat lagi, kali ini lebih keras. “Kurang ajar! Kamu tega bilang begitu ke mamamu sendiri?” serunya.
Naina memegang pipinya yang panas, tubuhnya gemetar tapi mulutnya tetap lantang.
“Aku udah cukup sabar! Dari kecil Mama selalu bedain aku sama adikku. Aku selalu dianggap salah, selalu disalahin, padahal aku cuma pengen disayang. Apa itu terlalu banyak, Ma?” katanya penuh perih.
“Jangan bikin malu aku, Naina. Kamu itu cuma aib, jangan berlagak jadi korban!” ucap Bu Rahayu penuh emosi.
Naina menatap mamanya dengan tatapan tajam bercampur hancur. “Kalau aku aib, kenapa Mama nggak bunuh aku aja waktu lahir! Kenapa Mama biarin aku hidup cuma buat jadi bahan dagangan ke laki-laki itu!” ujarnya sambil terisak.
Bu Rahayu tersentak, emosinya bercampur dengan rasa bersalah, namun mulutnya tetap membentak. “Diam! Jangan kurang ajar sama ibumu!”
Naina berteriak sambil menangis. “Aku bukan anakmu! Aku cuma hasil dari masa lalu Mama yang kelam. Kalau Mama benci aku, bilang aja! Jangan pura-pura jadi ibu yang peduli padahal Mama rela jual aku buat uang!”
Suasana kamar berubah mencekam. Hanya suara isak Naina dan napas Bu Rahayu yang memburu. Kedua hati sama-sama terluka, tapi yang satu tersiksa karena rahasia, yang lain hancur karena tak pernah dipeluk kasih sayang.
Naina terduduk di sudut kamarnya, pipinya panas berbekas merah, tubuhnya bergetar. Air mata jatuh tanpa henti, membasahi bantal yang ia dekap erat. Dalam kegelapan kamar, suara tangisnya pecah menjadi doa yang lirih, hampir tak terdengar, tapi penuh luka.
“Ya Allah… Kalau benar aku hanya kesalahan masa lalu, kenapa Kau lahirkan aku ke dunia ini? Kalau benar aku cuma beban, kenapa Kau titipkan aku di rahim seorang ibu yang tidak pernah bisa melihatku dengan cinta?”
Ia menutup wajah dengan kedua tangannya, suaranya parau, penuh sesak.
“Aku lelah, Ya Rabb…
Dari kecil aku mencari alasan untuk tetap bertahan. Aku berusaha meyakinkan diriku bahwa suatu hari Mama akan memelukku dengan tulus, bahwa suatu hari aku akan diperlakukan sama seperti Namira.
Tapi hari ini semuanya runtuh, dan aku tidak punya apa-apa lagi.”
Isaknya makin keras. Ia menatap ke langit-langit kamar, seakan menembus dinding tipis menuju langit yang jauh.
“Aku tidak butuh rumah mewah, aku tidak butuh uang, aku hanya ingin dicintai seperti anak lain dicintai ibunya.
Apakah itu terlalu banyak, Ya Allah?
Apakah aku terlalu hina untuk mendapatkan itu?”
Tubuhnya merosot, kakinya terlipat rapat. Suaranya merendah, hampir tenggelam oleh tangis.
“Kalau memang dunia ini tidak menyisakan tempat untukku,
jangan biarkan aku terseret lebih jauh ke dalam luka ini.
Lindungi aku dari tangan-tangan yang ingin merenggut kebebasanku.
Berikan aku kekuatan untuk bertahan,
atau ambil saja aku, Ya Allah, sebelum aku hancur sepenuhnya.”
Di akhir doanya, Naina hanya bisa terisak tanpa suara. Matanya bengkak, hatinya remuk, tapi di sela air mata itu, ada secercah tekad yaitu jika dunia menolaknya, maka ia hanya bisa berpegang pada Tuhannya.
Naina terdiam cukup lama di tepi ranjangnya. Tangannya masih gemetar, matanya bengkak, tetapi di dalam kepalanya ada pusaran pikiran yang terus berputar. Hatinya perih, tapi logika yang penuh luka itu perlahan mendorongnya ke arah jalan yang paling pahit.
Ia menarik napas panjang, lalu berbisik pada dirinya sendiri, seakan sedang menandatangani perjanjian dengan nasib.
“Baiklah aku setuju menikah dengan Om Ihsan.” gumamnya sambil menyeka air matanya yang tak berhenti menetes membasahi pipinya.
Kata-kata itu membuat dadanya terasa seperti diremas, tapi ada juga sedikit kelegaan pahit yang menyeruak. Ia menegakkan punggung, meski matanya kembali berkaca-kaca.
Dengan suara yang serak namun mantap, ia melanjutkan, “Besok aku akan menemuinya ini jalan keluar yang terbaik. Aku ingin bebas dari rumah Mama, dari semua cacian, dari tamparan, dari siksa batin yang nggak pernah berhenti. Kalau rumah ini sudah seperti neraka, mungkin pintu ke surga bukan kebebasan, tapi penjara baru yang lebih tenang.”
Air matanya jatuh lagi, deras kali ini. Ia buru-buru menyekanya dengan punggung tangan, berusaha menutup rapuhnya dengan wajah yang dipaksakan tegar.
Di kaca cermin kamar, ia melihat bayangan dirinya yaitu seorang gadis delapan belas tahun, terlalu muda untuk menyerah, tapi terlalu lelah untuk terus melawan.
Dengan bisikan terakhir, hampir seperti doa, ia menunduk dalam-dalam,
“Ya Allah, aku tidak tahu apakah ini pilihan benar atau salah, tapi aku tidak punya jalan lain. Tolong jaga aku, meski aku harus menjalani takdir yang tidak kuinginkan.”
Pagi itu udara masih basah oleh embun ketika Naina melangkah ragu menuju rumah besar bergaya modern milik Ihsan. Seragam sekolahnya masih rapi, rambutnya dikuncir sederhana, wajahnya letih setelah malam panjang penuh tangis.
Ketika ia sampai di gerbang yang terbuka setengah, langkahnya mendadak terhenti. Dari dalam rumah itu, seorang siswi SMA keluar dengan langkah santai.
Seragam putih abu-abu, dasi yang sedikit longgar, wajah polos remaja yang begitu familiar bagi Naina, karena mereka sebaya.
Dunia Naina seakan berhenti berputar. Mata gadis itu membesar, kaget bukan main. Bibirnya terbuka sedikit, nyaris berucap, tapi suara tercekat di tenggorokan. Wajahnya pucat, lalu berubah jadi campuran ngeri dan bingung.
Di sisi lain, siswi SMA itu anak pertama Ihsan juga sama terkejutnya. Tatapannya membesar saat melihat sosok Naina berdiri kaku di depan gerbang.
Jari-jarinya yang masih menggenggam tali ransel bergetar halus, wajahnya kaku, seakan tidak percaya bahwa gadis yang ingin dijadikan istri ayahnya ternyata seusia dengannya.
Sejenak mereka saling menatap, tanpa kata-kata. Dua remaja sebaya, tapi dipertemukan oleh kenyataan yang ganjil dan menyakitkan.
Sementara dari dalam rumah, langkah berat Ihsan terdengar, bayangannya mulai muncul di ambang pintu membuat udara pagi itu berubah menjadi mencekik.
ayah sabung naina berhati mulia mau Nerima naina seperti putri kandungnya beda sama emaknya naina yg berhati siluman 😠👊
Apa mereke adek beradek tiri author???
Kenapa beda kasih sayangnya???
🤔🤔🤔🤔🤔
keluarkan Naina dari rumah itu.. 🥺🥺🥺🥺🥺