Kania, gadis yang hidupnya berubah seketika di hari pernikahannya.
Ayah dan ibu tirinya secara tiba-tiba membatalkan pernikahan yang telah lama direncanakan, menggantikan posisi Kania dengan adik tiri yang licik. Namun, penderitaan belum berhenti di situ. Herman, ayah kandungnya, terhasut oleh Leni—adik Elizabet, ibu tirinya—dan dengan tega mengusir Kania dari rumah.
Terlunta di jalanan, dihujani cobaan yang tak berkesudahan, Kania bertemu dengan seorang pria tua kaya raya yang dingin dan penuh luka karena pengkhianatan wanita di masa lalu.
Meski disakiti dan diperlakukan kejam, Kania tak menyerah. Dengan segala upaya, ia berjuang untuk mendapatkan hati pria itu—meski harus menanggung luka dan sakit hati berkali-kali.
Akankah Kania berhasil menembus dinding hati pria dingin itu? Atau akankah penderitaannya bertambah dalam?
Ikuti kisah penuh emosi, duka, dan romansa yang menguras air mata—hanya di Novel Toon.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 7. KEDATANGAN TUAN MUDA.
Raut wajah Arin mengeras, matanya memancarkan rasa cemburu yang tak bisa ia sembunyikan. Ia tak rela ada orang lain, apalagi seorang pelayan yang mendekati Nyonya Marlin dan merebut simpati darinya.
Menjadi menantu di keluarga besar itu adalah impian dan ambisi Arin selama ini. Ia sudah membayangkan dirinya duduk di kursi terhormat, menjadi bagian dari kemewahan yang selama ini hanya bisa ia pandang dari luar.
Arin memutar otak untuk mengerjai Kania, dengan tersenyum licik perempuan itu memerintahkan Kania mengambil minuman untuknya.
Kania mengangguk, lalu bangkit dari kursi. Arin mengambil alih tugas Kania agar dia bisa lebih dekat dengan nyonya Marlin. Sungguh perempuan yang pandai memanfaatkan situasi.
Kania berjalan keluar menjalankan perintah Arin.
Di dapur, aroma tumisan dan wangi kaldu menyambutnya. Bi Ana sedang mengawasi para koki, memberi instruksi sambil sesekali mencicipi masakan. Melihat kedatangan Kania, bi Ana langsung menghampiri dan menanyakan tujuannya kesana.
“Nona Arin meminta dibuatkan minuman,” jawab Kania.
Bi Ana mengangguk paham, ia tahu betul minuman kesukaan Arin. Bi Ana memerintahkan seorang koki untuk membuat Jus sirsak dengan buah segar dan takaran gula sedikit.
Wajah Bi Ana tampak muram. sepertinya ada sesuatu yang mengganjal di hatinya soal kedatangan Arin.
Tatapan Bi Ana kosong sesaat, pikirannya melayang pada masa lalu. Ia masih ingat betul bagaimana kelakuan Arin dan keluarganya pada nyonya Milan dan tuan muda.
Arin, 25 tahun, calon istri Tuan Muda kala itu, mantan model ternama yang beralih profesi menjadi pengusaha dan mengambil alih bisnis keluarganya. Tinggal menghitung hari menuju pernikahan, tiba-tiba keluarganya membatalkan segalanya secara sepihak. Alasannya terdengar hina, mereka tak mau Arin tinggal seatap dengan Nyonya Marlin yang dianggap gila, ditambah kondisi perusahaan Tuan Muda yang sedang jatuh terpuruk.
Saat itu, jangankan menggaji karyawan, membayar pelayan pun sering tertunda berbulan-bulan. Satu per satu pelayan memutuskan pergi. Hanya Bi Ana yang bertahan, meski tanpa gaji.
Arin menghilang, meninggalkan luka yang dalam. Tuan Muda terpuruk, menutup diri berbulan-bulan, bahkan hampir mengakhiri hidupnya. Hanya dukungan Nyonya Marlin yang membuatnya bertahan.
Beberapa perempuan sempat dikenalkan kepada Nyonya Marlin untuk menggantikan posisi Arin, tapi semuanya menolak dengan alasan yang sama: “Siapa yang mau serumah dengan orang gila?”
Waktu berlalu. Perusahaan Tuan Muda bangkit, bahkan lebih besar dari sebelumnya. Harta melimpah, aset di berbagai kota, membuatnya kembali jadi incaran. Model, artis, pengusaha bahkan para pebisnis ternama berlomba menawarkan anak gadis mereka. Tapi hati tuan muda sudah beku. Janjinya jelas, ia tak akan membuka hati untuk perempuan manapun.
Kania kembali ke kamar membawa jus pesanan Arin. “Nona, minuman anda sudah siap. Saya letakkan di sini saja.”
Sebelum gelas sempat menyentuh nakas, Arin menoleh. “Antarkan ke sini. Aku sudah sangat haus.”
Kania menyerahkan gelas itu. Arin menatapnya curiga, memutar gelas di tangannya sambil mengamati isi minuman.
“Kamu tidak menaruh sesuatu di dalamnya, kan?” tanyanya dingin.
Mata Kania membesar. Ia tak menyangka perempuan berkelas seperti Arin bisa berpikir se picik itu padanya.
“Maaf, Nona. Mana mungkin saya melakukan hal sekotor itu? Lagi pula, saya tidak punya alasan untuk membenci atau mencelakai Anda.”
Nyonya Marlin memperhatikan diam-diam. Dalam hati, ia menilai Kania cukup berani menjawab tanpa gentar, berbeda dari para pelayan lain di mansion itu.
“Tahan dirimu, Arin, Jadilah wanita berkelas di depan calon mertuamu.”
Arin tersenyum tipis, meski di balik senyum itu ia menyimpan niat untuk memberi pelajaran pada Kania andaikan saja Nyonya Marlin tak berada di situ.
“Sepertinya aku sudah kehilangan selera dengan jus ini,” ujarnya manis. “Kamu saja yang minum, lalu ambilkan yang baru untukku.”
Saat menyerahkan gelas, Arin dengan sengaja mendorongnya sedikit. Jus sirsak menetes dan mengotori baju Kania.
“Maaf, aku tidak sengaja.”
Arin mengambil tisu, pura-pura hendak membersihkan baju Kania. Namun Kania cepat menepisnya. Ia tahu betul itu ulah yang disengaja.
Dengan perasaan kesal yang ia tahan, Kania kembali ke dapur untuk mengganti minuman. Bi Ana hanya menggeleng mendengar cerita kania.
“Arin memang tak pernah berubah,” ucapnya. “Suka menindas orang yang dianggapnya lemah.”
Kali ini, Bi Ana ikut mengantar minuman baru ke kamar, agar Arin tak semena-mena lagi pada Kania.
Sementara itu, di dalam sebuah mobil mewah yang melaju mulus di jalan berliku, seorang pria tampan bersetelan jas hitam duduk di kursi belakang.
Ponselnya bergetar, seseorang mengirim pesan lewat WhatsApp, Foto seorang perempuan cantik berpose layaknya model profesional. Ia menatap layar beberapa detik, lalu menutupnya dan memasukkan ponsel ke saku.
“Kamu tahu dia sudah kembali ke kota ini?” suaranya tenang namun dalam.
Sopir yang juga sekretaris pribadinya melihat lewat kaca spion.
"Dengar-dengar, perusahaan mereka sedang mengalami masalah keuangan di Kota X. Kabarnya, Nona Arin diutus ke kota ini untuk mencari investor."
Pria itu menatap keluar jendela. Ada sesuatu yang bergejolak dalam hatinya, kenangan lama yang tak mudah ia lupakan.
Mobil terus melaju melewati perbukitan dan desa yang masih asri. Namun saat memasuki kota, seekor kucing tiba-tiba melintas di depan mobil.
Beep!
Bruk!
Klakson panjang, lalu suara benturan keras. Sopir kehilangan kendali, menabrak sepeda motor yang terparkir di pinggir jalan.
“Motorku!” teriak seorang gadis yang berlari menghampiri.
Sopir keluar tergesa. “Maaf, tadi ada kucing yang melintas. Aku kehilangan kendali.”
“Dengan minta maaf, kamu pikir urusan selesai? Jangan mentang-mentang bawa mobil mewah, aku takut sama kamu!” oceh gadis itu tanpa putus.
“Berapa yang harus aku bayar untuk ganti motor?” tanya sang sang sekertaris.
“Sepuluh juta!”
“Hah? Motor tua begini sepuluh juta? Kamu gila?”
“Terserah! Kalau mau cepat, transfer. Kalau tidak, ayo kita ke pengadilan!”
Kesal, sang sekertaris mengeluarkan ponselnya
“ Berikan nomor rekeningmu?
Gadis itu tersenyum puas, menyebutkan beberapa digit nomor rekeningnya. Sang sekertaris mengumpat pelan sebelum kembali ke mobil.
Tak lama, mobil berhenti di depan sebuah mansion besar dengan pagar besi menjulang. Pintu pagar terbuka, mobil memasuki halaman.
Di dalam, Kania dan Bi Ana baru tiba di depan kamar Nyonya Marlin, seketika terdengar jeritan Arin.
Mereka bergegas masuk dan terkejut. Nyonya Marlin menarik rambut Arin dengan tangan kanan, sementara tangan kirinya menggenggam gunting, siap menusuk.
Kania berlari, memukul tangan Nyonya Marlin hingga gunting terlepas. Nyonya Marlin menjerit histeris bersamaan dengan pintu yang didobrak dari luar.
“Kamu apakan ibuku?!”
Tamparan keras mendarat di pipi Kania, bukan hanya sekali. Pandangannya berkunang. Tubuhnya ambruk ke lantai, gelap, dan tak sadarkan diri.