Mati sebelum kematian, itulah yang dirasakan oleh Jeno Urias, pria usia 43 tahun yang sudah lelah dengan hidupnya. keinginannya hanya satu, mati secara normal dan menyatu dengan semesta.
Namun, Sang Pencipta tidak menghendakinya, jiwa Jeno Urias ditarik, dipindahkan ke dunia lain, Dunia Atherion, dunia yang hanya mengenal kekuatan sihir dan pedang. Dunia kekacauan yang menjadi ladang arogansi para dewa.
Kehadiran Jeno Urias untuk meledakkan kepala para dewa cahaya dan kegelapan. Namun, apakah Jeno Urias sebagai manusia biasa mampu melakukannya? Menentang kekuasaan dan kekuatan para dewa adalah hal yang MUSTAHIL bagi manusia seperti Jeno.
Tapi, Sang Pencipta menghendaki Jeno sebagai sosok legenda di masa depan. Ia mendapatkan berkah sistem yang tidak dimiliki oleh siapa pun.
Perjalanan panjang Jeno pun dimulai.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ex_yu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 07. Difitnah Tetap Tenang.
Bab 07. Difitnah Tetap Tenang.
Angin senja bertiup dingin di padang rumput yang mengelilingi Kota Velden, membawa aroma ketegangan yang mencekam. Langit yang berubah dari jingga ke ungu kelam seakan menjadi kanvas bagi pertempuran yang akan segera terjadi. Jeno Urias berdiri dengan sikap acuh tak acuh, matanya yang tajam menatap ke kejauhan di mana siluet-siluet hijau para goblin mulai tampak di kejauhan.
"Kak Jeno," suara Rinka memecah ketegangan. Gadis Beastkin itu melangkah dengan gesit, ekor kecilnya bergerak-gerak gelisah. "Gerbang kota sudah pasti tertutup rapat dalam situasi seperti ini. Bahkan seorang petualang terkenal pun tidak akan bisa masuk sebelum ancaman ini berakhir."
Jeno hanya mendesah pelan, pandangannya masih tertuju pada gerombolan monster yang semakin mendekat. Suara derap kaki dan teriakan perang mulai terdengar samar-samar dari kejauhan.
"Yang harus Kak Jeno ketahui," Rinka melanjutkan dengan nada yang lebih mendesak, "jika kau membantu kami mengalahkan gerombolan goblin itu, guild akan lebih mudah menerima pendaftaranmu. Prestasi di medan perang selalu lebih berharga daripada sekedar tes kemampuan."
Doru, penyembuh muda dengan jubah coklat lusuh, mengangguk-angguk sambil menggenggam tongkat kayunya. "Benar sekali! Dan yang terpenting, setiap goblin yang kita kalahkan bisa dijual telinga kirinya. Goblin biasa dihargai 50 koin perak, Hobgoblin 500 perak, dan Bugbear..." matanya berbinar, "1500 perak per kepala!"
Kata 'uang' seketika membuat telinga Jeno bergerak. Ia menoleh, ekspresi dinginnya sedikit berubah. "Berapa banyak yang biasanya muncul dalam satu kali penyerbuan?"
"Bisa puluhan, bahkan ratusan. Tapi kali ini ribuan. Ini kesempatan langka," Ren menjawab sambil memeriksa pedang dan perisainya. Pria muda itu sudah tampak tidak sabar, tubuhnya bergetar karena adrenalin. "Tapi jangan meremehkan mereka. Bugbear bisa setara dengan petualang peringkat B."
Suara perang tiba-tiba menggema dari menara kota, diikuti oleh teriakan komando yang keras. Di kejauhan, barisan goblin sudah mulai terlihat jelas: sosok-sosok pendek berkulit hijau dengan mata merah menyala, dipimpin oleh beberapa Hobgoblin yang lebih besar dan berotot, serta tiga Bugbear raksasa yang berjalan dengan langkah berat di belakang.
"Saatnya bergerak!" Ren berteriak sambil mengacungkan pedangnya ke udara. "Demi Kota Velden!"
Tanpa menunggu, ia berlari menuju medan perang, diikuti oleh Kael dengan busur panah di tangan, Toma dengan dua belati tajam di kedua tangannya, dan Doru yang berkonsentrasi mempersiapkan mantra penyembuhan. Suara langkah kaki mereka menggema di tanah keras.
Rinka meraih pergelangan tangan Jeno dengan gerakan tiba-tiba. Sentuhan tangannya yang kecil namun kuat membuat Jeno terkejut sejenak.
"Jangan sampai ketinggalan!" serunya dengan mata yang berkilat-kilat. "Aku khawatir Kesatria Suci Arbelista akan menumpas habis semua goblin sebelum kita mendapat bagian!"
Jeno menatap tangan yang mencengkeram pergelangan tangannya, lalu perlahan melepaskan genggaman Rinka. "Baiklah," gumamnya dengan nada datar. "Tapi aku berburu dengan caraku sendiri."
Rinka mengangguk dan segera berlari menyusul teman-temannya.
Setelah Rinka jauh, Jeno tiba-tiba bergerak dengan kecepatan yang mencengangkan. Tubuhnya seperti bayangan yang meluncur menembus angin, menuju langsung ke barisan belakang di mana tiga Bugbear berdiri dengan gagah.
Sementara itu, di garis depan, Kesatria Suci Arbelista menyerang dengan kemegahan yang memukau. Kuda putihnya yang bersinar bagaikan mutiara berderap dengan anggun, sementara armor perak yang dipakainya memantulkan cahaya senja. Pedang suci di tangannya bersinar dengan cahaya keemasan.
"Dalam nama Dewa Cahaya Aetherian!" teriaknya dengan suara yang bergema di seluruh medan perang. "Kalian para monster kotor, bersiaplah untuk merasakan murka suci!"
Tubuh Arbelista tiba-tiba bersinar dengan aura keemasan ketika menggunakan sihir Penguat Fisik tingkat tinggi yang hanya bisa dikuasai oleh kesatria kelas atas. Kekuatan, kecepatan, dan daya serangannya meningkat berlipat ganda. Dengan ayunan pedang yang elegan namun mematikan, ia membelah kepala tiga goblin sekaligus.
Para prajurit di belakangnya berteriak dan mengikuti jejak pemimpin mereka. Tubuh mereka juga bersinar dengan aura yang lebih redup ketika menggunakan sihir Penguat Fisik versi dasar yang bisa dipelajari siapa saja, namun tetap efektif untuk meningkatkan kemampuan tempur.
Tim Serigala Pemburu yang dipimpin Rinka juga tidak mau kalah. Mereka bergerak dengan formasi yang teratur, saling melindungi sambil menyerang dengan koordinasi yang sempurna. Aura enhancement (peningkatan) mereka berwarna kebiruan, menandakan spesialisasi mereka dalam kecepatan dan ketangkasan.
Suara pertempuran sengit bergemuruh. Suara benturan logam, teriakan perang, dan auman monster berbaur menjadi simfoni kematian yang mencekam. Darah mulai membasahi tanah, dan aroma besi berkarat menyebar di udara.
Namun di tengah kekacauan itu, semua mata tiba-tiba tertuju pada sosok yang bergerak sendirian di barisan belakang musuh.
Jeno Urias berdiri dengan tenang di hadapan tiga Bugbear yang menjulang tinggi dengan otot-otot yang menggembung. Ketiga monster itu menatapnya dengan mata merah berkilat, gigi taring yang tajam berkilau dalam cahaya senja.
"Manusia kecil," salah satu Bugbear berkata dengan suara serak, "kau datang mau mati?"
Jeno tidak menjawab. Ia hanya mengangkat tangan kanannya dengan gerakan yang sangat sederhana, seakan hendak melemparkan pukulan biasa.
Tapi saat kepalan tangannya bergerak maju, sesuatu yang luar biasa terjadi.
BOOOOOOMMMMM!
Ledakan dahsyat menggetarkan seluruh medan perang. Gelombang energi tak terlihat menyapu area seluas puluhan meter, dan ketiga Bugbear raksasa itu terpental ke udara sebelum jatuh terguling-guling ke tanah tanpa bergerak lagi.
Seluruh medan perang tiba-tiba sunyi senyap. Semua orang, prajurit maupun petualang, berhenti bertarung dan menatap ke arah Jeno dengan mata terbelalak. Bahkan para goblin sempat terdiam karena shock.
"Apa... apa yang baru saja terjadi?" Doru si gadis imut sampai tergagap, tongkat kayunya hampir terjatuh dari tangan.
Arbelista menarik tali kekang kudanya, wajahnya pucat. "Mustahil... ledakan sekuat itu tanpa merapal mantra atau sihir apapun?"
Namun yang lebih mengejutkan lagi adalah ketika mereka melihat Jeno dengan tenang berjalan menuju ketiga Bugbear yang tergeletak, lalu tiba-tiba ketiga monster raksasa itu menghilang dengan kilauan cahaya biru, mereka tersimpan ke dalam Item Box sistem.
"Dia... dia masih bisa menyimpan mahkluk-mahkluk besar itu," Kael berbisik dengan suara bergetar. "Berapa besar dimensi penyimpanan orang itu?"
Tapi pertanyaan itu tidak sempat dijawab karena empat belas Hobgoblin yang melihat pemimpin mereka dikalahkan tiba-tiba mengamuk.
"MANUSIA TERKUTUK!" teriak salah satu Hobgoblin dengan suara yang menggelegar. "KALIAN AKAN MEMBAYAR MAHAL!"
Mereka berlari dengan mata menyala-nyala menuju Jeno, kapak dan gada besar di tangan mereka berkilauan dengan niat membunuh. Tanah bergetar di bawah langkah kaki mereka.
Jeno menatap gerombolan Hobgoblin yang mendekat dengan ekspresi yang sama datarnya. Ia mengangkat tangan kanannya sekali lagi, kali ini dengan gerakan yang sedikit lebih lebar.
"Kalian terlalu berisik," gumamnya pelan.
BOOOOOOMMMMM!
Ledakan kedua jauh lebih dahsyat dari yang pertama. Tanah retak-retak, batu-batu kecil beterbangan, dan gelombang energi menyapu bersih seluruh barisan Hobgoblin. Belasan monster itu terpental ke segala arah, tubuh mereka terlempar puluhan meter sebelum jatuh tidak bergerak lagi.
Keheningan total menyelimuti medan perang. Bahkan angin seakan-akan berhenti bertiup.
Para goblin kecil yang tersisa menatap dengan mata melebar penuh ketakutan. Lalu, satu per satu, mereka mulai berteriak histeris dan berlari tunggang-langgang melarikan diri ke arah hutan. Dalam hitungan menit, medan perang yang tadinya dipenuhi ratusan monster yang tersisa kini menjadi sepi.
Jeno berjalan dengan santai mengumpulkan tubuh-tubuh Hobgoblin, menyimpan mereka ke dalam Item Box-nya satu per satu. Gerakannya tenang dan metodis, seakan apa yang baru saja terjadi adalah hal yang biasa.
Namun suasana damai itu tidak berlangsung lama.
"IBLIS!" suara Arbelista memecah keheningan dengan nada yang penuh kemarahan dan ketakutan. "Kau adalah iblis yang menyamar sebagai manusia!"
Kesatria Suci itu menunjuk Jeno dengan pedangnya, mata biru cerahnya menyala dengan kemarahan. "Tidak ada manusia yang bisa melakukan hal seperti itu tanpa sihir! Kau pasti menggunakan kekuatan iblis!"
Tuduhan itu seperti memecah bendungan. Para petualang yang tadinya terpesona kini mulai saling berbisik dengan wajah cemas. Ketakutan dan kecurigaan mulai menyebar seperti api.
"Benar!" seru salah satu petualang berjenggot. "Kekuatan seperti itu tidak masuk akal! Bahkan archmage (Penyihir Agung) terkuat pun perlu mantra dan ritual untuk ledakan sebesar itu!"
"Aku merasakan aura yang aneh darinya," tambah seorang petualang wanita dengan tongkat sihir. "Seperti... seperti kegelapan yang tersembunyi."
Rinka dan timnya menatap satu sama lain dengan wajah gelisah. Mereka ingin membela Jeno, tapi menghadapi Kesatria Suci dan seluruh kelompok petualang adalah hal yang mustahil. Ren mengepalkan tangan dengan frustrasi, sementara Doru mundur selangkah karena takut.
"Kalian semua melihat sendiri!" Arbelista melanjutkan dengan suara yang semakin keras. "Dia menghancurkan monster-monster itu dengan mudah, tanpa keringat, tanpa mantra, tanpa senjata! Hanya iblis yang bisa melakukan hal 'MUSTAHIL' seperti itu!"
Para petualang mulai mengangguk-angguk, ketakutan semakin terlihat jelas di wajah mereka. Beberapa sudah mulai menggenggam senjata mereka dengan erat.
Di tengah tuduhan dan kecurigaan itu, Jeno Urias berdiri dengan tenang. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi apapun, bahkan tidak marah, tidak takut, tapi sedikit kecewa.
Sejenak, pikirannya melayang ke masa lalu. Ke ruang kantor dinas yang pengap di Bumi, di mana ia pernah berdiri menghadapi tuduhan yang sama tidak masuk akalnya. Ketika ia mencoba mengungkap praktik korupsi di kantornya, justru dirinya yang difitnah sebagai mata-mata asing. Atasannya sendiri, orang yang pernah ia percayai, membalikkan semua bukti untuk menjatuhkannya.
"Sejarah berulang," gumamnya dalam hati dengan senyum pahit yang tak terlihat. "Bahkan di dunia yang berbeda, kebenaran tetap menjadi ancaman bagi yang lemah."
Keheningan menyelimuti medan perang yang dipenuhi mayat monster. Semua mata tertuju pada Jeno, menunggu reaksinya.
Akhirnya, Jeno angkat bicara. Suaranya tenang, dingin, namun mengandung kekuatan yang membuat semua orang terdiam.
"Iblis?" ia menatap langsung ke mata Arbelista. "Jika kalian yakin aku adalah iblis, tunjukkan buktinya."
Kesatria Suci itu terdiam sejenak, mulutnya terbuka tapi tidak ada kata yang keluar.
"Atau kalian hanya bisa berteriak tanpa landasan?" Jeno melanjutkan dengan nada yang semakin dingin. "Aku telah menyelamatkan kota kalian dari ancaman. Dan inilah balasannya?"
Arbelista menggenggam pedangnya dengan erat, wajahnya merah padam. "Kau... kau..."
"Aku menunggu buktinya," Jeno memotong dengan suara yang tajam seperti pisau. "Tunjukkan satu bukti bahwa aku adalah iblis. Satu saja."
Keheningan total menyelimuti medan perang. Tidak ada yang berani menjawab. Karena memang tidak ada bukti, hanya ketakutan pada kekuatan yang tidak bisa mereka pahami.
Jeno menatap ke sekeliling, matanya menyapu wajah-wajah yang dipenuhi kecurigaan dan ketakutan. Lalu ia tersenyum, senyuman dingin dan penuh makna.
"Seperti yang kuduga," gumamnya pelan. "Kalian hanya bisa berteriak dan menuduh, tapi tidak punya keberanian untuk membuktikan kata-kata kalian sendiri."
Ia berbalik dan mulai berjalan menuju gerbang kota, meninggalkan keheningan yang mencekam di belakangnya.
Rinka menatap punggung Jeno yang menjauh, hatinya bergejolak dengan perasaan campur aduk. Ia tahu bahwa mereka baru saja menyaksikan sesuatu yang luar biasa, dan mungkin juga sesuatu yang akan mengubah takdir mereka semua.
Sementara itu, di menara kota, beberapa mata tajam mengamati seluruh peristiwa dengan penuh perhatian. Mereka adalah orang-orang yang paham betul bahwa kekuatan sejati jarang datang dalam bentuk yang bisa dipahami oleh pikiran biasa.
Situ Sehat ??!