NovelToon NovelToon
CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

CEO Sadis Yang Membeli Keperawananku

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Romansa
Popularitas:1.9k
Nilai: 5
Nama Author: GOD NIKA

Demi menyelamatkan keluarganya dari utang, Lana menjual keperawanannya pada pria misterius yang hanya dikenal sebagai “Mr. L”. Tapi hidupnya berubah saat pria itu ternyata CEO tempat ia bekerja… dan menjadikannya milik pribadi.
Dia sadis. Dingin. Menyakitkan. Tapi mengapa hatiku justru menjerit saat dia menjauh?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon GOD NIKA, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan Masa Lalu

Malam itu, di apartemen Arvino, Lana akhirnya bisa bernapas tanpa tercekik. Aroma teh jahe yang mengepul dari cangkir di tangannya adalah satu-satunya kehangatan yang terasa nyata. Arvino duduk di sofa seberang, memberikan ruang yang sangat ia butuhkan. Tak ada tuntutan, tak ada klaim. Hanya kehadiran yang menenangkan, sebuah oasis di tengah badai emosi yang mengamuk di dalam dirinya.

"Kamu bisa tinggal di sini selama yang kamu mau," ucap Arvino lembut, memecah keheningan. "Apartemen ini cukup besar, dan aku jarang pulang karena pekerjaanku."

Lana menatapnya, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak tahu harus bilang apa. Terima kasih, Arvino."

Arvino tersenyum tipis. "Aku tidak butuh ucapan terima kasih. Aku hanya ingin kamu aman. Dan, jujur saja, aku juga butuh alasan untuk percaya bahwa ada hal baik yang bisa terjadi di dunia ini."

Kata-kata itu menyentuh hati Lana, membuka pintu-pintu yang selama ini terkunci rapat. Ia merasa lelah berpura-pura kuat. Lelah menyembunyikan kerapuhannya. Malam ini, di hadapan Arvino, ia merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri.

"Aku... aku tidak tahu harus bagaimana," bisik Lana, suaranya bergetar. "Semua ini terlalu banyak. Leon, ibuku, hutang-hutang itu... dan sekarang pesan anonim tentang ibunya Leon."

Arvino mengerutkan kening. "Pesan anonim? Tentang ibunya Leon?"

Lana mengangguk, lalu mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan pesan itu pada Arvino. Arvino membacanya, raut wajahnya berubah serius.

"Ini... ini serius, Lana," katanya, nadanya lebih rendah. "Hubungan Leon dengan ibunya adalah rahasia yang dijaga sangat ketat di kalangan atas. Kabar anginnya, ibunya meninggal karena bunuh diri, tapi tidak ada yang tahu detailnya."

"Maksudmu, ada kemungkinan pesan itu benar?" tanya Lana, merasakan firasat buruk.

Arvino menghela napas. "Leonhart adalah pria yang penuh luka. Sejak kecil, dia hidup dalam bayang-bayang ayahnya yang kejam dan ibunya yang... rapuh. Aku tidak tahu detailnya, tapi rumornya kematian ibunya sangat mempengaruhi dia. Dia menjadi dingin, kejam, dan obsesif setelah itu. Dia tidak ingin ada orang lain yang mengalami apa yang ibunya alami."

Lana terdiam, mencerna informasi itu. Selama ini, Leon selalu tampak seperti tembok baja yang tak tergoyahkan. Mendengar bahwa ia juga memiliki luka, bahkan mungkin lebih dalam dari yang ia duga, membuat Lana merasa sedikit... bingung. Ia membenci Leon, tapi di sisi lain, ada empati yang mulai tumbuh.

"Tapi apa hubungannya denganku?" tanya Lana. "Kenapa dia harus menjadikanku istrinya? Kenapa dia terus mengikatku?"

Arvino menatapnya lurus. "Mungkin... dia melihat sesuatu pada dirimu yang mengingatkannya pada ibunya. Atau mungkin, dia takut kehilanganmu seperti dia kehilangan ibunya."

Teori Arvino seperti petir di siang bolong. Lana tak pernah terpikirkan ke arah itu. Apakah obsesi Leon bukan hanya tentang kepemilikan, tapi juga tentang ketakutan akan kehilangan?

"Aku rasa aku harus tahu lebih banyak," kata Lana. "Aku tidak bisa terus hidup dalam ketakutan dan kebingungan ini. Aku harus tahu kebenaran tentang Leon, tentang masa lalunya."

Arvino mengangguk. "Aku akan membantumu, Lana. Aku punya beberapa koneksi yang mungkin bisa memberitahumu lebih banyak. Tapi kamu harus hati-hati. Leon adalah pria berbahaya, dan ia tidak suka rahasianya digali."

Lana memejamkan mata. Ia tahu ini adalah keputusan besar. Sebuah langkah yang mungkin akan membawanya semakin dalam ke dalam dunia Leon yang gelap. Tapi ia tidak bisa mundur. Demi dirinya, demi kedamaian batinnya, ia harus tahu.

Keesokan paginya, Lana tidak kembali ke apartemen Leon. Ia menghubungi kantor Leonhart Group dan mengajukan cuti mendadak dengan alasan sakit. Ia tahu Leon pasti akan tahu itu kebohongan, tapi ia butuh waktu.

Arvino menepati janjinya. Ia mempertemukan Lana dengan seorang jurnalis investigasi senior yang dulunya pernah mencoba menggali kasus kematian ibu Leonhart, namun kasus itu tiba-tiba ditutup dan semua akses informasi ditutup rapat.

Jurnalis itu, seorang wanita paruh baya bernama Bu Rani, tampak hati-hati saat bertemu Lana di sebuah kedai kopi terpencil.

"Saya dengar Anda ingin tahu tentang mendiang Nyonya Leonhart," kata Bu Rani, menatap Lana dengan sorot menyelidik. "Saya tidak tahu apa hubungan Anda dengannya, tapi saya peringatkan, ini bukan kasus biasa."

Lana menceritakan sedikit tentang situasinya, tanpa menyebutkan detail pernikahannya dengan Leon. Ia hanya mengatakan bahwa ia berada dalam situasi yang rumit dengan Leonhart dan merasa masa lalu pria itu memegang kunci.

Bu Rani menghela napas. "Nyonya Leonhart, namanya Maria. Dia adalah seorang penyanyi bar, sederhana, tapi punya suara yang indah. Tuan Besar Hartono, ayah Leonhart, terobsesi dengannya. Dia menikahinya, tapi memperlakukannya seperti budak. Mengurungnya di rumah, melarangnya bernyanyi, dan memaksanya melahirkan pewaris."

Lana mendengarkan dengan saksama, hatinya terasa perih mendengar kisah itu. Ia bisa membayangkan betapa tersiksanya Maria.

"Maria mencoba melarikan diri beberapa kali," lanjut Bu Rani. "Tapi Tuan Besar Hartono selalu menemukannya. Terakhir kali, Maria hamil Leonhart. Ia berharap dengan adanya anak, Tuan Besar akan berubah. Tapi tidak. Setelah Leonhart lahir, Maria semakin tertekan. Ia diisolasi, disiksa mental, dan tidak diizinkan bertemu siapa pun, bahkan anaknya sendiri."

"Dan dia... bunuh diri?" tanya Lana, suaranya tercekat.

Bu Rani mengangguk pelan. "Itulah versi resminya. Ditemukan tewas di kamar mandi, dengan sayatan di pergelangan tangan. Tapi... ada kejanggalan."

"Kejanggalan apa?"

"Maria tidak pernah menggunakan perhiasan. Tapi saat ditemukan, ia mengenakan kalung mutiara yang sangat mahal, pemberian Tuan Besar Hartono. Dan yang lebih aneh, kalung itu sudah dirobek, mutiaranya berserakan di lantai. Seolah ada perlawanan." Bu Rani menatap Lana intens. "Ada yang bilang, Tuan Besar Hartono sendiri yang membunuh Maria. Tapi tidak ada bukti. Semuanya ditutup. Bahkan Leonhart yang masih kecil saat itu, dikirim jauh dari rumah setelah kejadian itu."

Lana merasakan darahnya berdesir dingin. Leonhart dikirim jauh setelah kematian ibunya? Itu menjelaskan mengapa ia tumbuh menjadi pribadi yang penuh luka dan haus kendali. Ia tidak hanya kehilangan ibunya, tapi juga dibiarkan sendirian dengan trauma itu.

"Apa ada orang lain yang tahu tentang ini?" tanya Lana.

"Hanya segelintir orang. Termasuk beberapa pelayan lama di mansion Hartono. Tapi mereka semua dibungkam. Dan satu orang lagi... mantan kekasih Leonhart."

"Amanda?" Lana terkesiap.

Bu Rani mengangguk. "Ya. Dia pernah mencoba membantu saya menggali lebih dalam, tapi kemudian ia mundur. Mungkin diancam, atau mungkin... ia tahu sesuatu yang lebih menakutkan."

Lana pamit pada Bu Rani, pikirannya berkecamuk. Informasi ini mengubah segalanya. Obsesi Leon padanya, mungkin bukan hanya tentang dirinya sebagai wanita, tapi sebagai simbol dari apa yang ia tak bisa selamatkan di masa lalu. Ibunya.

Beberapa hari kemudian, Lana memberanikan diri menemui Amanda. Ia tidak tahu apakah Amanda akan mau bicara, tapi ia harus mencoba.

Mereka bertemu di sebuah galeri seni yang tenang. Amanda tampak terkejut melihat Lana.

"Aku tidak menyangka kau akan datang menemuiku," kata Amanda, nadanya dingin.

"Aku butuh jawaban, Amanda," kata Lana. "Tentang ibunya Leon. Dan kenapa kamu mengatakan Leon akan membakar siapa pun yang terlalu dekat dengannya."

Amanda menghela napas. Ia menatap sebuah lukisan abstrak di depannya, seolah mencari kekuatan di sana.

"Leon... dia melihat ibunya meninggal di depan matanya," bisik Amanda, suaranya rendah. "Ayahnya yang melakukan itu. Tuan Besar Hartono adalah iblis. Dia mencekik Maria di depan Leonhart yang masih sangat kecil. Dan kemudian... ia mengubahnya menjadi adegan bunuh diri."

Dunia Lana terasa berhenti. Nafasnya tercekat. Ia bisa merasakan air mata mengalir di pipinya. Jadi, Leon melihat semua itu? Ia menyaksikan ibunya dibunuh oleh ayahnya sendiri? Dan ayahnya kemudian menutupi kejahatan itu, mengubahnya menjadi bunuh diri, dan mengirim Leon menjauh?

"Kenapa dia tidak melawan?" tanya Lana, merasakan kemarahan yang membuncah.

"Bagaimana mungkin anak kecil bisa melawan pria sekuat Tuan Besar Hartono?" kata Amanda, suaranya getir. "Dia hanya bisa melihat. Dan sejak saat itu, dia hidup dengan rasa bersalah yang besar. Rasa bersalah karena tidak bisa melindungi ibunya. Dan dendam."

"Dendam?"

"Ya. Dendam pada ayahnya, dendam pada dunia yang kejam. Dan dendam pada dirinya sendiri karena merasa lemah. Dia ingin menguasai segalanya, mengendalikan setiap aspek hidupnya, agar tidak ada lagi yang bisa diambil darinya. Agar tidak ada lagi yang bisa dia lepaskan."

Lana mulai mengerti. Obsesi Leon, sifat posesifnya, hasratnya untuk mengendalikan, semuanya berakar pada trauma mengerikan itu. Ia tidak ingin kehilangan Lana seperti ia kehilangan ibunya. Ia tidak ingin melihat Lana rapuh, tak berdaya, seperti ibunya.

"Aku mundur karena aku tidak tahan," kata Amanda. "Dia mencoba mengendalikan hidupku, setiap gerak-gerikku. Aku tahu itu karena dia takut kehilanganku, tapi aku tidak bisa hidup seperti itu. Dia akan membakar siapa pun yang terlalu dekat dengannya, bukan karena dia jahat, tapi karena dia takut."

Lana menatap Amanda, merasakan simpati yang dalam pada wanita itu. Mereka berdua adalah korban dari luka yang sama, luka yang diciptakan oleh Leonhart, dan luka yang diwarisi Leonhart dari ayahnya.

"Terima kasih, Amanda," kata Lana. "Kau sudah membuka mataku."

Amanda tersenyum tipis. "Hati-hati, Lana. Mengetahui kebenaran tidak selalu membuatmu bebas. Terkadang, itu hanya membuatmu semakin terikat."

Kata-kata Amanda terngiang di benak Lana saat ia meninggalkan galeri. Ia memang mengetahui kebenaran, kebenaran yang mengerikan dan menyedihkan. Leon bukan monster tanpa hati, ia adalah pria yang hancur, terperangkap dalam siklus trauma dan dendam.

Tapi apakah itu berarti Lana harus menerima perlakuan Leon? Apakah luka masa lalu bisa membenarkan tindakannya yang posesif dan menyakitkan?

Lana merasa hatinya terbelah. Bagian dari dirinya ingin memeluk Leon, menenangkannya, membantunya sembuh. Tapi bagian lain, bagian yang terluka dan ingin bebas, berteriak untuk lari sejauh mungkin.

Ia tidak tahu harus ke mana. Pulang ke apartemen Arvino? Ya, itu adalah tempat aman, tapi apakah itu akan menyelesaikan masalahnya? Apakah ia bisa terus lari dari Leon?

Ponselnya bergetar. Nama Leonhart tertera di layar.

Lana ragu, tapi ia menjawab.

"Lana, di mana kamu?" Suara Leon terdengar tegang, cemas. "Aku tahu kamu tidak sakit. Jangan main-main denganku."

Lana menarik napas dalam-dalam. "Aku tahu tentang ibumu, Leon."

Hening di seberang sana. Lama. Sangat lama.

Lalu suara Leon terdengar lagi, kali ini lebih rendah, lebih rapuh. "Siapa... siapa yang memberitahumu?"

"Itu tidak penting," kata Lana. "Yang penting, aku tahu. Aku tahu kenapa kamu seperti ini."

"Dan apa yang akan kamu lakukan dengan pengetahuan itu?" tanya Leon, suaranya kembali mengeras. "Apa kamu akan meninggalkanku karena aku monster?"

Air mata Lana kembali mengalir. Ia tidak tahu jawabannya. Ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan.

"Aku... aku hanya ingin tahu, Leon," bisik Lana. "Aku ingin tahu apakah ada harapan untuk kita. Atau apakah aku harus menyerah saja."

Suara Leon terdengar putus asa. "Harapan? Lana, aku tidak tahu apa itu harapan. Aku hanya tahu... aku tidak bisa membiarkanmu pergi. Aku tidak bisa kehilanganmu."

Dan dalam kalimat itu, Lana mendengar ketakutan yang begitu dalam, rasa sakit yang begitu nyata. Ia tahu, ia telah menyentuh inti dari luka Leon.

Ini bukan lagi tentang cinta atau perang. Ini tentang penyembuhan. Dan Lana tidak tahu apakah ia memiliki kekuatan untuk menyembuhkan luka sebesar itu, terutama ketika hatinya sendiri masih terenggut dalam jeratan yang tak terlihat.

Bagaimana Lana akan bereaksi terhadap pengakuan Leon yang tak langsung ini? Akankah ia memilih untuk menghadapi luka Leon bersamanya, atau tetap mencari kebebasan yang ditawarkan Arvino?

1
Risa Koizumi
Bikin terhanyut. 🌟
GOD NIKA: Terima kasih🙏🥰🥰
total 1 replies
Mít ướt
Jatuh hati.
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!