Marina Yuana Tia, dia menyelesaikan permainan mematikan, dan keluar sendiri dalam waktu sepuluh tahun, tetapi di dunia nyata hanya berlangsung dua minggu saja.
Marina sangat dendam dan dia harus menguak bagaimana dan siapa yang membuat permainan mematikan itu, dia harus memegang teguh janji dia dengan teman-temannya dulu yang sudah mati, tapi tak diingat keluarga mereka.
Apakah Marina bisa? Atau...
ayo baca guys
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Halo Haiyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab tujuh. Keluar sekolah?
Bab Tujuh
"Ah, kenyangnya..."
"Sama," Kata Gevano.
Hana melihat bahwa Marina hanya menyisakan setengah wadah.
Lalu dia bertanya."Kenapa gak dihabisin sekalian?"
Marina melihat makanan itu tak nafsu.
"Aku kenyang."
"Ah tak mungkin!"
"Dulu kamu gak begitu, lho!"
"Dulu aja makananku sampai kamu minta, saking laparnya,"
"Benarkah?" Tanya Gevan tak percaya, apa yang membuat gadis itu jadi lesu setiap hari.
"Ayo kita bermain game! Kamu punya game konsol permainan kan di sini,"
"Sudah ku buang."
"Ap-"
Hana terdiam.
"Sudah kamu buang? Bukannya itu pakai uang tabungan kamu, kenapa kamu buang?"
Marina memijat kepala frustasi, setiap kali dia melihat konsel game di kamarnya. Dia teringat dengan salah satu permainan Tembak-menembak zombie, persis dengan kehidupan sengsara yang dia jalani.
"Aku bukan anak kecil lagi Haru."
"Ah maksudku-Hana..."
Hana diam, nama Haru lagi. Padahal dia bukan anak laki-laki."Marina... Akhir-akhir ini kamu jadi aneh deh, aku sebelumnya gak kenal lho yang kayak kami gini, biasanya gak gini..."
'Memang biasanya kayak gimana? ' penasaran laki-laki itu.
"Kamu... Kenapa seolah menjauh dariku, aku seperti tidak mengenal dirimu. Apa kamu masih Marina yang aku kenal?"
Marina terdiam, dia memikirkan pertanyaan yang dilontarkan Hana padanya.
"Kamu sedikit egois, pemarah, dingin, aku tak tau harus menyebut bagaimana..."
"Tapi, dulu kamu ceria, juga kadang pemalu, tapi kamu selalu menemaniku..."
'Itu dulu, bahkan aku tak mengingat lagi kebersamaan kita 10 tahun lalu untukku, dua minggu untuk dunia nyata... '
"Maaf Hana,"
"Bukan maaf seharusnya," Hana mulai menitikkan air mata. Dia mengusap mata sambil berkata,"kok aku cengeng sih,"
"Hiks!"
Hana langsung berjalan pergi ke ambang pintu sambil memakai sepatu,"terimakasih atas makanannya, terimakasih."
"Hana." Panggil Marina dingin, Hana tak berani menoleh, dia langsung membuka pintu berlari dari sana.
"Tunggu..."
"Tunggu kau,"
Gevan terhenti, kenapa dia harus ikut ke dalam situasi drama persahabatan ini?
Laki-laki itu menoleh ke belakang,"hati-hati, antar Hana sampai pulang." Ucapnya, hanya itu saja.
Gevan mekutar bola mata malas, entahlah apa yang ada di otak Marina ini. Kenapa dia seolah tak peduli dengan temannya Hana,"orang normal pasti akan mengejarnya, bukan membiarkan dia lari,"
"Kau memang beda dari yang lain." Kata si Gevan.
Cukup membuat Hana terpaku di tempat.
Dia tak punya kata-kata untuk itu.
.
.
.
Ia terus berjalan, semakin lama dia berjalan, banyaknya hantu-hantu yang berseliweran ke mana-mana.
Kejadian seperti ini, apakah akan terasa sampai pemenang keluar dari permainan?
Pengawas, pembuat permainan, dan peghukum sama-sama keji. Mereka tak membiarkan sekalipun hidup abadi seseorang tenang begitu saja.
Marina berdiri di depan pintu ruang kantor.
Dia masuk ke dalam, menghela nafas kecil.
Bu Naya, adalah guru pengganti yang menggantikan bu Siska mengajar.
Dia menghampiri guru sosiologi itu.
"Bu,"
"Ada yang mau saya beritahu."
"Oh silakan nak, ada apa?" Bu Naya langsung excited sendiri.
.
"Apa?! Keluar dari sekolah??"
"Kenapa nak! Kamu belum lulus kan? Kurang beberapa bulan lagi-"
"Saya tak ada biaya." Alasan Marina.
Tatapannya jauh ke atas kaca meja, memandang bayangan sendiri.
Kepala sekolah, wakil sekolah, serketaris sekolah ikut terkejut. Ada satu anak yang tak mereka ketahui akan keluar dari sekolah, sendirian tanpa membawa orangtua.
"Nak Marina pikirkan baik-baik."
"Apa orangtua mu sudah tau?" Tanya bu Naya.
Marina diam sebentar, dia memandang ke depan.
"Maaf bu, mungkin saya akan keluar sekolah 1 minggu lagi,"
"Tu-tunggu dulu nak, apa gak dipikirkan dulu saja ya?"
"Kalau soal biaya tenang saja, ya kan pak?" Tanya bu Naya pada pak kepala sekolah.
Kepala sekolah juga mengangguk, anak yang kekurangan bisa mereka bantu.
'Tapi ku rasa aku sudah tak pantas di sekolah ini, '
"Maaf bu, tolong izinkan saya..."
"Tidak, pasti ada alasan lain kan? Kan?" Desak bu Naya mendekat.
Marina meneguk ludah,"saya tak punya alasan lain lagi..."
"Ah begitu ya?"
"Bagaimana pak kepala sekolah?"
Pak kepala sekolah berpikir sebentar,"kalau begitu panggil kedua orangtua mu nak, bawa mereka kesini."
'Ah... Apa mereka setuju? '
.
.
.
Marina melewati kelasnya, dia melihat dari jendela kelas. Hana fokus mengerjakan tugas, dia tak lagi mempermasalahkan kejadian kemarin.
"Selamat tinggal teman baikku,"
"Aku tak mau kesialanku menular kedirimu."
Lalu dia pergi, Hana merasa ada yang mengawasinya.
Di ujung gerbang, seseorang berlari memegang tangan Marina cepat.
"Hei, kau!"
"Mau bolos sekolah hah?!"
Marina melihat tangannya dipegang Gevan, entah kenapa dia ada dimana-mana. Mata Marina juga tak akan lepas dari korban pemain selanjutnya.
"Waktumu tak tersisa banyak, kau membuat pilihan apa?"
"Maksudmu?"
"Huh"
"Ku tanya, kau jawab apa? Mati atau bermain?"
Gevano langsung bergidik ngeri sendiri, ada apa dengan ucapan gadis ini. Mengerikan, apalagi tatapan seriusnya.
"Kau gila?"
"Dia selalu ada disampingmu, bertanya padamu tentang banyak hal, lalu dia menyeretmu ke suatu tempat,"
Marina mulai mendekat, Gevan yang notabenya seorang laki-laki malah terpojok."Memilih iya atau tidak?"
"Kau akan ikut bermain, panggil aku. Mengerti?"
"Apa maksudmu itu, aku tak tau..."
Mata Marina mengedip cepat, dia tak lagi mengintimidasi laki-laki didepannya.
Rupanya pengawas bajingan itu belum datang. Syukurlah, Marina mendekat. Lalu dia menepia wajahnya,"tidak ada apa-apa, jangan ikut campur urusanku,"
"Kau yang malah lebih aneh bodoh!"
"Apa?"
"Apa maksudmu itu?"
"Aku tak tau, katakan padaku."
"Dari kemarin omonganmu tak jelas. Bertahan, bertahan, bertahan, apa kau gila?"
'Aku tidak gila, aku waras, orang-orang belum mendapati ajal mereka... '
"Maafkan aku,"
"Maaf? Itu yang kau katakan kemarin juga kan?"
"Haish, memang ada-ada saja."
"Cepat kembali ke kelasmu, kau tau kan? Jangan seenaknya bolos."
"Hm, loh? Dimana dia?!"
"MARINA!! Aish dia kabur! Ah guru bk, dia pasti kabur karena paling-paking tak bisa ke ruang bk! Ah sial!! Aku lagi yang disalahkan!!"
Marina menghela nafas sendiri, dia kecapekan. Bersembunyi di balik tembok adalah cara terbaik, sampai dia menemukan kembali ke akses permainan itu.
Marina harus menyelesaikan tujuannya, entah sampai kapan.
.
.
.
"Huh~"
"Benar-benar gadis tak bisa ditebak, bagaimana kalau aku dimarahi lagi!!"
Gevan hanya bisa menarik nafas cepat, lalu mengetuk pintu ruang bk kecil."Tok.Tok."
"Aku buat laporan dulu aja, kalau soal dia nanti aja, mudah."
"Permisi pak,"
"Silakan masuk,"
"Baik pak."
Gevan membuka pintu yang tak dikunci. Disana guru bk membelakangi dirinya.
Lelaki itu takut-takut sendiri bila terus dimarahi, tak berhenti dia memejamkan mata erat.
"Pak, maaf,"
"Maaf untuk apa?"
"Marina, dia..."
Guru bk memutar tubuh, wajah pria itu nampak kesal.
Dia mengeluarkan sesuatu dari dalam laci.
"Selama ini saya masih sabar, tapi sekarang... Tak bisa!!"
"PAK! AAAAA!!"
Bersambung...