"Angelica, seorang wanita tegar berusia 40 tahun, berani dalam menghadapi kesulitan. Namun, ketika dia secara bertahap kehilangan motivasinya untuk berjuang, pertemuan tak terduga dengan seorang pria tampan mengubah nasibnya sepenuhnya.
Axel yang berusia 25 tahun masih muda tetapi sombong dan berkuasa, cintanya yang penuh gairah dan kebaikannya menghidupkan kembali Angelica.
Bisakah dia menyembuhkan bekas lukanya dan percaya pada cinta lagi?
Kisah dua sejoli yang bersemangat dan berjuang ini akan membuktikan bahwa usia tidak pernah menjadi penghalang dalam mengejar kebahagiaan."
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Angie de Suaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 7
Axel masih bimbang, antara mencari Angelica atau membiarkan semuanya seperti adanya.
Ia terdiam cukup lama, hingga membuat Bu Ramona lebih gugup daripada saat Axel "berubah jadi Hulk".
"Pak Darko, kalau tidak ada lagi, boleh saya permisi?" tanya Ramona hati-hati.
"Tidak!" seru Axel, membuat Ramona terkejut. Setelah berpikir sejenak, ia akhirnya membuat keputusan. "Saya ingin Anda mempekerjakan kembali karyawan itu dan tempatkan dia di area ini. Tapi jam kerjanya mulai sore."
Ramona nyaris tak percaya. Pria itu—atasannya sendiri—memintanya mempekerjakan lagi si Angelica, perempuan tak berguna itu. Tapi perintah tetaplah perintah. Yang berkuasa tetap berkuasa, meski kadang perintahnya ngawur. Singkatnya, di mana kapten memerintah, awak kapal tak bisa membantah.
"Baik, Pak. Akan saya hubungi sekarang juga," ucap Ramona, bangkit dengan penuh rasa kesal. Dalam hati, ia berharap Angelica tetap menganggur dan kucing-kucing fiksinya itu ikut mati kelaparan.
"Saya ingin dia sudah ada di sini sore ini juga, Bu Ramona. Dan tentang apa yang terjadi di kantor ini—ingat, Anda dilarang keras membicarakannya. Kalau Anda sampai melanggar, Anda yang akan saya pecat," tegas Axel.
Ia mengacu pada kejadian di kantor antara dirinya dan Angelica, karena mengira Ramona sudah tahu. Padahal Ramona tak paham maksudnya, ia mengira Angelica hanya dilindungi oleh salah satu pemilik saham emporium.
Axel berniat "menghukum" Angelica karena berpikir perempuan itu telah melanggar janjinya untuk tidak membocorkan apa yang terjadi. Ia bahkan sudah membayangkan jenis hukumannya—dalam posisi terlentang atau tengkurap.
Sementara Axel sibuk membayangkan Kamasutra sebagai buku pedoman hukuman, Angelica berjalan lesu ke Universitas Cendekia.
Meski sempat tidur malam tadi, ia tak merasa istirahat sama sekali. Sepanjang malam, pikirannya dipenuhi pertanyaan tentang masa depannya. Kini hanya pekerjaan ini yang tersisa, dan ia harus menjaganya. Meskipun bukan benar-benar kucingnya yang akan mati kelaparan, tapi kalau sampai kehilangan pekerjaan ini juga, dialah yang akan mati perlahan.
Hari itu, tugasnya adalah membersihkan ruang kelas Profesor Guillermo Pagliaro. Kelas itu membahas modernisme dan seni abstrak. Tidak seperti dengan Ibu Estelita, ia tidak memiliki kedekatan apa pun dengan profesor ini. Profesor Pagliaro bahkan seolah tidak menyadari keberadaannya. Ia tetap saja pura-pura sibuk membersihkan kaca patri sambil diam-diam mendengarkan pelajaran.
“Seni abstrak—juga dikenal sebagai seni nonrepresentasional atau nonobjektif—telah lama dianggap sebagai pencapaian utama dalam modernisme,” demikian suara profesor yang ia rekam dengan ponselnya yang sudah usang. Bagi Angelica, aliran seni ini cukup rumit, karena tidak sesuai dengan seleranya. Ia lebih menyukai aliran romantisme dan impresionisme, dengan seniman favoritnya: Renoir dan Van Gogh.
Usai kelas selesai, ia tidak menyadari bahwa baterai ponselnya telah habis. Ia pun melanjutkan tugasnya membersihkan ruang-ruang lainnya.
Angelica tidak tahu bahwa mantan atasannya sedang mencoba menghubunginya untuk memintanya kembali bekerja—kali ini tanpa perlu begadang.
Namun, Ramona tak berusaha terlalu keras. "Kalau nanti Pak Darko bertanya soal dia, aku akan bilang dia tidak menjawab panggilan," pikirnya.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Angelica keluar dari area kampus dan tanpa sengaja menabrak papan pengumuman. Sebuah kertas kecil terlepas dan jatuh ke tanah. Di situ tertulis iklan penyewaan kamar, lokasinya tidak jauh dari kampus.
"Ini pasti pertanda dari Tuhan," gumam Angelica. Ia ingin segera menelepon, tetapi baterai ponselnya sudah benar-benar habis.
Tak ada pekerjaan sore ini, jadi ia memutuskan langsung ke alamat yang tertera di iklan. Jaraknya sekitar lima blok. Angelica sudah terbiasa berjalan jauh di akhir bulan saat tak punya uang untuk ongkos.
Sesampainya di depan rumah kos tersebut, ia mengetuk pintu sambil berdoa dalam hati agar biaya sewanya tidak terlalu mahal. Hanya gaji dari pekerjaan di kampus yang ia andalkan, dan rumah kos itu tampak rapi dan bersih dari luar.
Begitu masuk, terdengar bunyi lonceng kecil. Dari balik ruang belakang, muncullah seorang perempuan dengan senyum lebar.
"Selamat sore. Nama saya Angelica, saya datang untuk menanyakan kamar yang disewakan, yang tertempel di Cendekia," ujar Angelica dengan sopan.
"Halo, saya Giovanna, tapi panggil saja Gio. Ya, kamar itu masih tersedia. Kamu mahasiswa?" tanya perempuan itu dengan hati-hati. Angelica memang tak tampak seperti mahasiswi.
"Bukan, saya bukan mahasiswa. Saya staf kebersihan. Tadinya mau kuliah, tapi batal karena uang kuliah saya dicuri di rumah kos sebelumnya. Malah saya juga diusir oleh pemiliknya, yang justru membiarkan pencuri itu masuk. Maaf ya, jadi curhat begini," kata Angelica sambil tersenyum kikuk. Tapi Gio terlihat seperti orang yang bisa dipercaya. "Saya hanya ingin tahu harganya, apakah sesuai dengan anggaran saya."
Gio menatap Angelica dengan iba. Ia merasa Angelica berkata jujur, dan ia tahu bagaimana rasanya hidup susah.
"Biaya bulanannya enam ratus euro," ucapnya.
Angelica langsung kehilangan harapan. Gajinya di Cendekia hanya sembilan ratus euro, dan dari situ ia harus membayar makan, serta denda seratus lima puluh euro per bulan karena masalah yang ditinggalkan Paco. Jelas tidak cukup. Di rumah kos Zoila, ia hanya membayar empat ratus euro.
"Tidak cukup. Tapi terima kasih, ya," ujar Angelica, kecewa.
Melihat raut wajah Angelica, Gio merasa iba dan memutuskan memberi keringanan.
"Berapa yang kamu bayar di tempat lama?"
"Di tempat jelek itu, empat ratus euro."
"Bayar segitu saja. Saya kasih tarif mahasiswa," kata Gio sambil tersenyum.
Mata Angelica langsung berbinar. Ia merasa seperti baru saja bertemu malaikat—dan Gio memang seperti malaikat.
"Kalau kamu mau, malam ini juga sudah bisa pindah. Tenang saja, saya tidak akan menarik biaya untuk hari-hari sisa bulan ini. Kamu cukup bayar di akhir bulan nanti, untuk bulan Juli. Syaratnya, kamu harus bawa surat keterangan kerja dari universitas dan satu surat rekomendasi dari atasanmu. Setelah itu kita tandatangan kontrak. Bagaimana?"
"Tentu saja saya mau! Terima kasih banyak, Gio! Nanti saya kembali lagi. Tolong jangan disewakan dulu ya, nanti saya bisa-bisa tidur bareng anjing," seru Angelica dengan tawa lega, lalu pergi nyaris berlari karena senangnya sudah menemukan tempat tinggal baru.
Saat Angelica menemukan malaikat dalam hidupnya, Axel justru seperti hendak diseret oleh para iblis.
"Di mana pegawai yang saya minta Anda pekerjakan kembali?!" Axel membentak Ramona, yang saking gugupnya nyaris mengompol.
"Pak Darko, Bu Angelica mematikan ponselnya. Lihat, saya sudah mencoba meneleponnya sejak pagi," kata Ramona sambil buru-buru menunjukkan ponselnya. Padahal hanya dua panggilan masuk yang terlihat—sisanya panggilan ke pacarnya.
"Saya butuh CV-nya hari ini juga. Lengkap dan terbaru," perintah Axel dengan tegas.
---