Di tengah hiruk pikuk kota Jakarta, jauh di balik gemerlap gedung pencakar langit dan pusat perbelanjaan, tersimpan sebuah dunia rahasia. Dunia yang dihuni oleh sindikat tersembunyi dan organisasi rahasia yang beroperasi di bawah permukaan masyarakat.
Di antara semua itu, hiduplah Revan Anggara. Seorang pemuda lulusan Universitas Harvard yang menguasai berbagai bahasa asing, mahir dalam seni bela diri, dan memiliki beragam keterampilan praktis lainnya. Namun ia memilih jalan hidup yang tidak biasa, yaitu menjadi penjual sate ayam di jalanan.
Di sisi lain kota, ada Nayla Prameswari. Seorang CEO cantik yang memimpin perusahaan Techno Nusantara, sebuah perusahaan raksasa di bidang teknologi dengan omset miliaran rupiah. Kecantikan dan pembawaannya yang dingin, dikenal luas dan tak tertandingi di kota Jakarta.
Takdir mempertemukan mereka dalam sebuah malam yang penuh dengan alkohol, dan entah bagaimana mereka terikat dalam pernikahan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon J Star, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Polisi Cantik
Mendengar bahwa Revan berniat membocorkan bukti yang baru saja ditemukan, polisi berkumis tebal yang masih sadar langsung diliputi ketakutan dan keringat dingin mengucur dari pelipisnya.
"K-kau… Berani sekali! Kau tahu siapa yang sedang dilawan?! Itu anaknya Pak Gino! Orang-orang Pak Gino bisa melenyapkan seluruh keturunanmu hingga dua puluh generasi!” Teriaknya penuh amarah, meskipun rasa sakit di perutnya membuat ia tak sanggup bangkit.
Wajah Revan seketika berubah dingin, "Pak Gino lagi… Kalian ini benar-benar payah, setiap orang tidak tahu saja kalau aku ini paling benci diancam." Tanpa berkata lagi, ia melangkah mendekat dan menendang perut si kumis tebal. Tubuh polisi itu terhuyung lalu pingsan seketika.
Brak!
Tiba-tiba, pintu besi ruang interogasi terdorong kuat dan sesosok bayangan melesat masuk.
“Berhenti!”
Sebuah suara nyaring namun tegas menggema di ruangan. Revan berbalik dan terkejut melihat siapa yang datang dengan sorot matanya membinar.
Yang berdiri di ambang pintu adalah seorang wanita cantik yang gagah. Rambutnya sebahu, matanya jernih seperti danau yang tenang, hidungnya mancung, dan bibirnya berbalut lipstik merah muda tipis. Sekilas ia tampak seperti selebriti Korea hasil operasi plastik, namun jika diperhatikan lebih dekat, aura ketegasan dan keberanian terpancar dari gerak tubuhnya. Kecantikannya melebihi para selebriti yang disebut-sebut itu, ia adalah lambang ketangguhan dalam balutan seragam kepolisian.
Namun perhatian Revan segera tertuju pada dua lencana cengkeh di pundaknya. Lambang itu menandakan bahwa wanita itu bukan sembarang petugas, ia adalah seorang Inspektur Polisi Tingkat Dua.
Baru saat itu Revan menyadari, siapa yang berdiri di depannya. Polwan cantik ini adalah Kepala Polsek Jakarta Barat. Kompol Rani merupakan personel asli negara Indonesia yang memiliki wewenang.
Saat itu, Kompol Rani sedang dalam suasana hati yang sangat buruk. Rapat baru saja berakhir mengenai kasus perampokan bank yang membuatnya pusing, ketika ia tiba-tiba menerima laporan bahwa di ruang interogasinya, ada seorang tersangka memukuli polisi. Ini jelas meremehkan wewenangnya!
“Anda, letakkan tangan di belakang kepala dan berdiri menghadap dinding!” perintah Kompol Rani dengan suara tegas.
Revan mengamati wanita itu sejenak. Dalam hatinya terkesan betapa bagusnya seragam itu, tak heran banyak orang di masa lalu menyuruh pasangannya mengenakan berbagai seragam sebelum melakukan hubungan intim. Namun alih-alih menurut atau membantah, ia hanya tersenyum tipis. “Ibu Kepala Polisi yang cantik dan hebat, aku rasa Anda sebaiknya melihat ini terlebih dahulu.” Sambil berkata begitu, ia melemparkan dokumen di tangannya ke arah Kompol Rani.
Kompol Rani bukanlah sosok yang bertindak gegabah. Jika ia tipe yang mudah terpancing emosi, mustahil bisa mencapai posisi sebagai Kepala Polsek Jakarta Barat. Sekuat apa pun latar belakangnya, hal itu saja tidak akan cukup. Karena itulah, saat melihat ekspresi Revan yang tenang dan santai di tengah situasi serius, Rani langsung merasa ada sesuatu yang janggal. Ia dengan bingung menangkap dokumen itu, lalu melirik isinya.
Wajah Kompol Rani yang sebelumnya dingin dan tegas perlahan berubah. Sorot matanya menajam, seperti terbungkus lapisan es. Ia menatap tajam ke arah polisi berkumis tebal dan berkulit gelap yang tergeletak di lantai. Dengan suara sedingin es ia berkata kepada Revan, "Bolehkah aku tahu nama Anda, Tuan?"
"Namaku Revan."
“Aku Kompol Rani, Kepala Polsek Jakarta Barat. Atas nama institusi, menyampaikan permintaan maaf atas kesalahan dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh bawahanku. Meski demikian, Anda telah melakukan tindakan kekerasan terhadap petugas. Karena itu, sesuai prosedur Anda akan tetap ditahan. Anda berhak untuk tidak menjawab pertanyaan dan berhak didampingi kuasa hukum. Jika tidak ada yang membayar jaminan, Anda akan ditahan selama 48 jam ke depan.”
Tanpa menunggu tanggapan, Kompol Rani memberi instruksi kepada beberapa anggota untuk mengevakuasi dua polisi yang tidak sadarkan diri. Setelah itu dengan tatapan rumit, ia menoleh sebentar ke arah Revan dan menutup pintu besi ruang interogasi.
Revan hanya bisa menatap ruang yang kembali sepi, lalu terkekeh pelan. Meminta bantuan pengacara atau meminta seseorang untuk membayar jaminan? Ia bahkan tidak membawa ponsel. Siapa yang akan ia hubungi? Sepertinya ia harus bersiap melewatkan dua hari penuh di ruangan ini.
Di luar ruangan, Kompol Rani berjalan cepat menyusuri lorong dan berhenti di depan Kapten Fandi yang berdiri dengan gugup dan keringat membasahi pelipisnya.
“Kapten Fandi,” ucap Kompol Rani sembari mengerutkan dahi, “apa yang Anda lakukan hari ini akan aku masukkan ke dalam laporan evaluasi bulanan. Berdoalah semoga nasib Anda beruntung.” Tanpa menunggu jawaban, ia melangkah kembali ke ruang kerjanya meninggalkan Fandi yang kakinya gemetaran.
Setibanya di ruangan, Kompol Rani tidak duduk untuk beristirahat. Meskipun belum lama ia bergabung dengan kepolisian, indra tajamnya membantunya mengungkap banyak kasus besar. Kali ini pun, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres.
Dari pemuda bernama Revan, ia benar-benar merasakan tekanan misterius. Pemuda itu menunjukkan senyum yang tampak tulus, tetapi entah mengapa ada sesuatu yang membuatnya merasa gentar.
Kompol Rani bangga, ia menyukai perasaan memiliki segalanya dalam genggamannya. Jadi ia segera memanfaatkan informasi di tangannya, dan mencari berkas mengenai Revan.
Sangat cepat, profil Revan ditemukan oleh Kompol Rani. Informasi mengenai Revan sangat sedikit di luar dugaan. Kompol Rani hanya perlu beberapa kali melihat sebelum ia menyadari, ada terlalu banyak kejanggalan dalam profil ini.
"Usia lima tahun terpisah dari orang tua, dibawa ke luar negeri oleh sindikat perdagangan anak. Diadopsi oleh pasangan dermawan, lalu di usia 25 tahun lulus dari jurusan Pemasaran dan Manajemen Universitas Harvard dengan gelar master dan kembali ke Indonesia di tahun yang sama."
Di bagian akhir profil yang sangat sederhana ini, tercantum foto Revan bersama wanita Rektor Universitas Harvard. Berlatar belakang lingkungan kampus dengan ciri khas kampus Harvard yang berwarna merah dan lambang universitas yang mencolok. Dalam foto itu Revan terlihat berwibawa, tersenyum bersanding dengan sang rektor.
Basis data kepolisian tentu saja tidak akan memiliki foto hasil editan, tetapi Kompol Rani tetap merasa seperti sedang dibodohi.
’Persetan dengan gelar master Universitas Harvard itu! Jika ia benar-benar mahasiswa Universitas Harvard, mengapa ia berjualan sate ayam di pasar?! Lalu, diadopsi oleh pasangan dermawan, apa yang terjadi setelah diadopsi? Ada lebih dari 10 tahun rentang waktu di antara itu, bagaimana ia bisa langsung melompat lulus kuliah?’
Namun dengan cepat, Kompol Rani tenang. Basis data informasi kepolisian tentu tidak bisa diubah sembarangan oleh siapa pun, setiap profil seseorang dimasukkan oleh pihak berwenang. Karena profil Revan ini dengan begitu banyak celah sehingga lucu bisa ada, maka pasti ada alasannya. Tapi mengapa pihak atas kepolisian memasukkan profil ini?
Kompol Rani dengan cepat memikirkan dua kemungkinan. Pertama, identitas Revan sangat istimewa dan bisa diklasifikasikan sebagai personel rahasia tingkat negara, misalnya agen rahasia badan keamanan. Kedua, identitas Revan lagi-lagi sangat istimewa, namun ia diklasifikasikan sebagai orang khusus yang tidak ingin diketahui oleh negara.
Kompol Rani dengan cepat menghilangkan kemungkinan pertama. Jika ia adalah agen rahasia badan keamanan, maka informasi seharusnya dirinci sampai-sampai sangat rapi agar tidak menimbulkan kecurigaan. Oleh karena itu, Revan hanya bisa diklasifikasikan sebagai orang khusus sejauh pihak atas tidak bersedia mengungkapkan. Namun tidak bersedia secara khusus membuatkan identitas samaran, hanya meninggalkannya sebagai profil kosong sebagai pajangan.
Ini adalah fakta yang tak terbantahkan, Kompol Rani bukan hanya seorang perwira polisi, tetapi juga seorang wanita cantik. Namun yang lebih penting dari penampilannya adalah sifatnya yang penuh rasa ingin tahu. Terhadap seseorang dengan latar belakang mencurigakan seperti Revan, ketertarikan Rani muncul secara alami.
Dalam benaknya, Revan perlahan menjelma menjadi sosok penuh teka-teki. Mungkin ia seorang buronan internasional, gembong narkoba, ilmuwan gila, atau bahkan penjahat kelas kakap dengan identitas lainnya. Namun satu hal kini jelas, ia benar-benar tertarik pada pria bernama Revan.
Saat ia mulai mempertimbangkan cara untuk menyelidiki lebih dalam latar belakang pria mencurigakan ini, suara ketukan terdengar di pintu ruangannya.
"Masuk," ucapnya singkat.
Seorang polisi muda dengan wajah bersih dan senyum yang menawan melangkah masuk. Di kalangan rekan-rekannya, Kompol Rani dikenal bukan hanya karena kecantikannya yang luar biasa. Tetapi juga karena wibawanya, yang membuat siapa pun merasa harus berhati-hati saat berbicara dengannya.
Dengan suara sopan dan agak pelan, polisi muda itu melapor, "Ibu Kepala, ada Pengacara Handoko dari Firma Hukum Jaya. Beliau ingin mengajukan penangguhan penahanan untuk tersangka bernama Revan.”