Jia dan Liel tidak pernah menyangka, bahwa dimulai dari sekotak rokok, pertemuan konyol di masa SMA akan menarik mereka ke dalam kisah penuh rahasia, luka, dan perjuangan.
Kisah yang seharusnya manis, justru menemukan kenyataan pahit. Cinta mereka yang penuh rintangan, rahasia keluarga, dan tekanan dari orang berpengaruh, membuat mereka kehilangan harapan.
Mampukah Jia dan Liel bertahan pada badai yang tidak pernah mereka minta? Atau justru cinta mereka harus tumbang, sebelum sempat benar-benar tumbuh.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Avalee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tatapan Diam
Jia dan Liel telah sampai di garasi rumah Danu, tempat dimana motor sport hitamnya terparkir dengan sempurna. Jia melebarkan matanya, seakan tidak percaya bahwa dirinya harus menaiki kendaraan besar itu.
“Sampai kapan kamu terdiam di situ, cepatlah naik,” tawar Liel dengan dahi yang mengkerut.
“Aku tidak ingin menaiki motor ini! Lebih baik aku menunggu jemputanku saja di sekolah.”
“Baiklah, aku tidak akan bertanggung jawab jika ada penjahat yang menculikmu disini,” balas Liel dengan serius.
Jia tersentak hingga merasa takut. Dia mulai menganggukan kepala dan duduk di belakang Liel tanpa mengatakan apapun. Liel juga menyuruh Jia untuk memegang pinggangnya dengan benar saat dia mengendarai motor.
“Aku akan memegang bagian belakang jok motor saja.”
Liel tidak menjawab dan segera melaju dengan motornya. Jia terkejut dan segera memegang pinggang Liel, jika tidak ingin terpental ke belakang. Dia bersumpah bahwa saat ini wajahnya merah merona meski sudah tertampar angin sore.
“Jangan gugup, kamu sedang bersama orang tampan” ucap Liel lembut.
“APA?” sahut Jia tanpa mendengar dengan jelas.
“JANGAN GUGUP!!” teriak Liel seraya menahan rasa kesal.
Jia masih berusaha untuk mendengar perkataan Liel. “HAHH? APA, AKU TIDAK MENDENGARMU...”
Angin dan suara deru motor seakan-akan mempermainankan pendengaran Jia. Telinganya seakan-akan seperti tertutup, tidak mampu mendengar dengan baik.
“Ternyata lelah juga jika bicara pada orang budek.”
“HAHH, LELAH APA LIEL??”
Liel menatap Jia dari kaca spionnya dengan kesal yang memuncak hatinya. “TIDAK ADA APA-APA. LEBIH BAIK KITA TIDAK USAH BERBICARA DULU.”
Jia lantas terdiam. Jalan menuju rumah Jia tidak terlalu jauh dari lokasi sekolah, tapi sore ini terasa seperti perjalanan paling panjang yang pernah dia jalani.
Canggung, sunyi, dan penuh tanda tanya. Itulah yang Jia rasakan saat ini, dan dia tidak menyukai hal tersebut.
“Mengapa dia mengantarku jika masih marah? Apa aku melompat saja dari motornya lalu menghilang? Haaaaaa … aku merasa frustasi” ucapnya dalam hati.
“Kita sudah sampai, apa aku harus menggendongmu ke dalam rumah?” tanyanya seraya memecah lamunan Jia.
“Aah iya. Hm, apa yang kamu biacarakan tadi? Maaf, karena aku tidak mendengarnya.” Balas Jia sambil turun perlahan dari motor.
Liel mematikan mesin dan membuka helmnya dan menaruhnya di stang motor. Matanya menatap Jia dengan tenang, namun menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.
“Kamu tinggal sendiri di rumah sebesar ini?” tanya Liel seraya memperhatikan kesunyian dalam rumah Jia.
“Jelas tidak! Hanya saja … biasanya ibuku pulang larut malam … kalau begitu, aku masuk dulu.”
Saat jia hendak masuk ke halaman, dia tiba-tiba berhenti, lalu menengok kembali, di mana posisi Liel sedang berdiri.
Kemudian, dia mengucapkan rasa terima kasihnya karena sudah membantu sekaligus mengantarkannya pulang ke rumah.
“Aku tidak tega membiarkanmu terlantar di jalanan sendirian? Intinya, jangan masuk sarang laba-laba tanpa tahu jaringnya kuat atau tidak,” balas Liel mengangguk pelan.
“Terlantar??” protes Jia dengan wajah cemberutnya.
Candaan Liel cukup untuk membuat Jia kesal. Dia segera masuk ke rumah dan berlari ke arah jendela, untuk mengecek apakah Liel sudah pulang.
Terlihat Liel memakai helm dan menyalakan mesin motornya, lalu segera melaju, menghilang dari depan rumah Jia.
Jia melangkahkan kakinya menuju kamar. Diletakkannya tas ransel di atas kursi lalu menghempaskan seluruh tubuhnya ke atas tempat tidur.
Jujur saja, ini pertama kalinya ada lelaki lain yang mengantarnya pulang selain Mang Ceceng. Bahkan, laki-laki yang tidak dia kenal sepenuhnya ini tahu bahwa rumahnya sesunyi ini.
“Liel, sejauh apa kamu sudah membaca situasi kehidupanku? Aku takut kamu mengetahui kehidupanku yang tidak sempurna ini.” batinnya dalam hati.
Kemudian lamunan Jia buyar, saat dia mendapatkan sebuah telepon dari nomor tidak dikenal.
Awalnya Jia ragu, karena tidak pernah menyimpan nomor tersebut, namun dia putuskan untuk mengangkatnya. Telepon tersebut berasal dari Den.
“Darimana dia tahu nomorku??” bisiknya seraya kebingungan.
“Halo Jia? Mengapa diam?? Apa kamu mendengarku? Bisakah kamu keluar sebentar? Aku menunggu di depan rumahmu.” Ucap Den dengan tenang.
Jia terdiam. dia terkejut, sebab Jia tidak pernah memberitahukan alamatnya kepada Den. Jia melihat ke bawah melalui jendela kamarnya. “Ah, sayang sekali Den, aku sedang diluar.”
“Benarkah??” Balas Den seraya mengarahkan kepala ke atas, matanya tertuju pada kamar Jia di lantai dua.
Seketika Jia menunduk ketakutan, saat Den melihat ke atas balkon dengan tatapan tajam. “Ya, benar.”
“Kalau begitu, coklat dan import snack ini aku taruh di tempat penitipan kotak surat ya? Kamu bisa mengambilnya ketika pulang ke rumah.”
“Hei, tidak perlu repot-repot Den.”
“Terima saja Jia, aku ikhlas.”
Kemudian Den menutup teleponnya dan berlalu pergi dengan motor vespanya. Jia mulai merasa takut dengan perilaku Den yang secara tiba-tiba muncul di depan rumah, tanpa Jia pernah memberitahukannya kepada siapapun termasuk Liel.
,, suka deh puny sahabat macam Nata