Arif Pradipta, begitu Emak memberiku nama ketika aku terlahir ke dunia. Hidup ku baik-baik saja selama ini, sebelum akhirnya rumah kosong di samping rumah ku di beli dan di huni orang asing yang kini menjadi tetangga baruku.
kedatangan tetangga baru itu menodai pikiran perjakaku yang masih suci. Bisa-bisanya istri tetangga itu begitu mempesona dan membuatku mabuk kepayang.
Bagaimana tidak, jika kalian berusia sepertiku, mungkin hormon nafsu yang tidak bisa terbendung akan di keluarkan paksa melalui jari jemari sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhy-Chan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
⁷ Over Thinking
Aku harus memendam rasa cinta ini begitu rapat, tanpa seorang pun yang boleh mengetahuinya. Percayalah, keadaan yang seperti ini, justru begitu menyiksa.
"Rif, bikinin gua kopi susu satu, ya."
"Siap, Bang."
Emak sudah berangkat tidur sejak satu jam yang lalu dan aku yang melanjutkan jaga warung nya. Dengan luwes, aku melaksanakan tugasku.
Menyeduh kopi mah, sudah biasa bagiku. Di sela-sela obrolan para pelanggan Emak, terdengar suara dua orang tertawa yang semakin lama semakin mendekat, Wajah Angga nampak setelah sampai teras warung. Di belakangnya, Mas Nata mengikutinya.
Tadi sore, Mas Nata baru pulang dari luar kota. Seperti sebelumnya, perempuan yang ku cintai itu akan lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Ke mana-mana, akan di antarkan oleh pasangan halalnya. Gak membutuhkan jasa sopir lagi sepertiku. Hah, aku tersenyum sumbang.
"Brow, gua juga mau di buatin sekalian. Kopi tubruk yang ampas nya juga manis, ya. Haha ..." ujar Angga setelah berada di dekatku.
Yaelah Angga, masih di ingat-ingat saja, kejadian konyol waktu itu.
"Saya juga. Sama seperti Angga." Mas Nata ikut-ikutan memesan kopi.
Tumben sekali lelaki itu ngopi di sini. Tiba-tiba aku merasa gerah. Keringat dingin sedikit menyapa kulitku. Ada rasa khawatir sekaligus gak nyaman.
Apa dia sedang memata-mataiku? Apa dia mulai mencium gelagat ku yang mempunyai perasaan cinta pada istrinya? Ah gak mungkin. Kami 'kan jarang bertemu. Lagian, aku gak sesembrono itu memperlihatkan isi hatiku pada orang lain.
Termasuk pada Mbak Rifani sendiri. Aku gak mau perempuan itu menjadi marah dan menjauhi ku setelah tahu perasaan ku yang sesungguhnya. Sepertinya hanya pikiran ku saja yang over thinking.
Mungkin seperti inilah perasaan maling, selalu was-was tanpa sebab, gak tenang. Nyatanya, setelah beberapa menit ngobrol dan main kartu remi bareng, kami gak lagi merasa canggung.
Mas Nata adalah lelaki yang supel dan pintar menjaga penampilan, pantas saja jika Mbak Rifani begitu mencintainya. Untuk sesaat, aku melupakan cerita Mbak Rifani tentang Mas Nata waktu itu.
Permainan kartu telah selesai. Berakhir dengan gelak tawa, menikmati pemandangan wajah Angga yang penuh dengan bedak bayi, karena dia sering kalah.
"Rif, besok ku undang kamu makan malam di rumah, ya," ujar Mas Nata ketika hendak pulang.
"Wah, ada acara apa, Mas?"
"Itu, cuma syukuran kecil-kecilan saja, kok."
"Oh, okay... siap, Mas."
Ku terima saja undangan nya, meski gak tahu acara syukuran apa yang di maksud.
Aku sudah berada di kamar ku. Menatap jendela yang pintunya lupa belum ku tutup.
"Waduh... untung Emak gak liat. Kalo tau aku belum menutup jendela hingga tengah malam seperti ini, pasti beliau akan ngomel."
Aku berbicara sendiri sambil berjalan mendekati jendela, hendak menutupnya.
Tanpa sengaja, ku lihat lampu kamar di rumah sebelah baru saja menyala. Kata Angga waktu itu, kamar tersebut adalah kamar kepemilikan Mbak Rifani.
Entah kebetulan atau apa, kamar ku berdampingan dengan kamar wanita yang ku cintai. Jendela kamarnya lebih lebar ketimbang jendela kamarku. Jendela yang terbuat dari lembaran kaca bening itu tertutup tirai berwarna putih.
Hingga samar-samar aku bisa melihat pergerakan bayangan manusia di dalam nya.
"Udah malam, kok malah menyalakan lampu. Kira-kira apa yang sedang mereka lakukan ya?"
Tiba-tiba aku jadi kepo.
"Setelah hampir seminggu gak bertemu, pasti mereka sedang kangen-kangenan." Aku menjawab pertanyaanku sendiri.
Glek!
Otakku mendadak traveling ke mana-mana. Astagfirullah... aku segera menutup jendela dan menjauhinya. Mungkin segera tidur bisa membuat otakku kembali waras.
Aku sudah berusaha merem, tapi tetap gagal tidur. Sudah setengah jam aku bolak-balik di atas ranjang, dari mulai miring, telentang, tengkurap, posisi seperti apapun tak juga membuatku nyaman dan tertidur pulas.
Wajah Mbak Rifani beserta ceritanya waktu itu berputar-putar dalam ingatan juga pikiran ku. Kata-kata Mbak Rifani waktu itu masih terekam jelas di ingatanku.
"Dulu di awal pernikahan, Mas Nata pernah bilang kalau dia sangat menginginkan anak perempuan yang lucu, imut, pinter, cerdas, dan bikin gemes seperti Gempita Loka. Anak artis yang sudah terkenal dari Sabang sampai Merauke sejak sebelum lahir itu. Pun dengan saya. Saya juga mendambakannya. Rasa bersalah berulang kali menampar jiwa, ketika menyelisik hasil dari tespek yang selalu menunjukkan satu garis berwarna merah keunguan."
Sepertinya, Mbak Rifani benar-benar sudah memercayaiku. Buktinya, dia menceritakan hal-hal yang sangat sensitive.
"Saya sudah berusaha sebaik mungkin loh, Rif. Setelah melakukannya dengan suami, saya segera berbaring telentang dengan posisi kepala di bawah dan kedua kaki ku angkat ke atas, menempel dinding. Kata Mbah Google yang sempat ku selancari, dengan posisi seperti itu selepas melakukan hubungan suami istri, cairan bibit bayi memiliki kesempatan yang lebih baik untuk mencapai sel telur. Tidak lupa, ku taruh ganjalan bantal pada pinggul agar cairan cinta itu dapat terus masuk ke rahim."
Mbak Rifani menjeda cerita. Mengambil napas sebelum melanjutkan curhatan yang mungkin saja membuat hatinya nyeri.
"Udah, gapapa. Besok di coba lagi' ujar Mas Nata setiap kali saya tunjukkan benda kecil bergaris satu itu dengan muka masam. Dulu, suamiku itu selalu menenangkan, menyemangati, juga melantunkan kata-kata lembut dan manis, agar saya nggak merasa bersalah berkepanjangan. Namun, akhir-akhir ini sikapnya jadi sedikit berubah. Apalagi waktu aku mengajaknya periksa ke dokter, dia malah marah-marah. Katanya, saya terlalu terobsesi dengan anak. Padahal 'kan saya melakukan semua ini demi dia juga, demi keutuhan rumah tangga kami."
Mengingat cerita Mbak Rifani waktu itu, membuatku terbawa perasaan. Begadang sendirian di dalam kamar sampai tengah malam, memeluk guling yang ada di samping ku.
Membayangkan jika itu adalah tubuh Mbak Rifani. Ku peluk erat, ku elus-elus, ku tenangkan hatinya yang kacau. Yaelah ... sepertinya aku sudah semakin gak waras.
Suara ayam berkokok, bersahut-sahutan di pekarangan rumah Emak. Selain hobi ngomel, Emak ku juga hobi memelihara ayam kampung. Katanya bisa buat teman, saat aku sedang gak ada di rumah. Asem lah, aku di samakan dengan ayam.
Aku masih bermalas-malasan di kamar. Mata masih sepet banget gegara semalam gak bisa tidur dengan damai. Namun, aku segera bangkit pas ingat kata-kata semangat yang di ucapkan oleh Mbak Rifani,
"Masa depan yang cerah sudah menanti, asal kita selalu bersemangat untuk menghampirinya."
Jika memilikimu tak bisa ku lakukan, maka tetaplah menjadi penyemangatku, Mbak. Halah, nglantur.
Tunggu aku, Mbak ... tunggu aku hingga bisa kuliah, lulus, dan jadi orang sukses. Aku ingin membuatmu dan Emak merasa bangga padaku.