Sebuah desa terpencil di Jawa Tengah berubah menjadi ladang teror setelah tambang batu bara ilegal tanpa sengaja membebaskan roh jahat yang telah tersegel berabad-abad. Nyai Rante Mayit, seorang dukun kelam yang dulu dibunuh karena praktik korban bayi, bangkit kembali sebagai makhluk setengah manusia, setengah iblis. Dengan kekuatan untuk mengendalikan roh-roh terperangkap, ia menebar kutukan dan mengancam menyatukan dunia manusia dengan alam arwah dalam kekacauan abadi.
Dikirim untuk menghentikan bencana supranatural ini, Mystic Guard—tim pahlawan dengan keterikatan mistis—harus menghadapi bukan hanya teror makhluk gaib dan jiwa-jiwa gentayangan, tetapi juga dosa masa lalu mereka sendiri. Dalam kegelapan tambang, batas antara kenyataan dan dunia gaib makin kabur.
Pertarungan mereka bukan sekadar soal menang atau kalah—melainkan soal siapa yang sanggup menghadapi dirinya sendiri… sebelum semuanya terlambat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keturunannya Ada Disini.
Cahaya remang dari lampu gantung kamar tidur memantulkan bayangan bergerigi di dinding. Tulisan itu belum hilang.
IBU SUDAH BANGKIT.
Tulisan seperti digores pakai darah kental yang belum kering betul. Rokif berdiri membatu, tangannya masih menggenggam kunci yang tadi ia pakai untuk mengunci pintu. Ningsih duduk di ujung ranjang, menggigil. Tapi bukan karena dingin.
“Kita... kita jangan di sini, Mas,” bisiknya. Suaranya serak, seperti dipaksa keluar dari tenggorokan yang kering. “Tolong... bawa aku keluar dari desa ini malam ini juga.”
“Tulisan ini, siapa yang nulis? Gak mungkin maling, Ning. Gak mungkin juga bocah iseng. Ini... ini kayak darah. Dan baunya…”
Rokif mendekat pelan. Ia ulurkan tangan untuk menyentuh tulisan itu, tapi sebelum jarinya menyentuh dinding, lampu kamar padam.
“ASTAGHFIRULLAH!” Rokif mundur, tubuhnya menabrak lemari.
“Ningsih!”
Tak ada jawaban.
“NING!”
Kilatan petir menyambar di luar jendela, cahayanya memancar sekejap dan dalam sepersekian detik Rokif melihat sesuatu berdiri di sisi tempat tidur. Bukan Ningsih. Sosok tinggi, berambut panjang menjuntai seperti sulur akar, mengenakan kain lusuh, dan tubuhnya... mengambang.
Lampu menyala kembali. Sosok itu sudah tidak ada. Tapi Ningsih kini terduduk di lantai, tubuhnya menggigil hebat. Matanya berkaca-kaca.
“Dia... dia sudah datang, Mas. Ibu... Ibu sudah bangkit...”
“Apa maksudmu? Siapa Ibu?!”
Ningsih menatap suaminya, wajahnya seperti menyimpan ribuan rahasia yang tertahan terlalu lama.
“Kamu gak akan percaya. Tapi aku harus bilang... sekarang.”
Ia berusaha berdiri, lututnya goyah. Rokif membantu duduk di ranjang.
“Aku... aku keturunan dari perempuan yang pernah dikubur hidup-hidup ratusan tahun lalu. Di keluarga kami, ada cerita lama, diturunkan diam-diam dari nenek ke cucu, hanya lewat bisikan. Tentang seseorang yang dipanggil orang desa dulu sebagai Nyai Rante Mayit.”
Rokif menelan ludah. Nama itu terdengar seperti dendam yang membusuk.
“Dia dukun... dulu. Tapi bukan dukun biasa. Dia melakukan hal-hal keji untuk mendapatkan kekuatan. Mengorbankan bayi, membelah rahim perempuan hamil saat malam surut bulan. Dia ingin membuka gerbang ke dunia yang tidak bisa dilihat manusia biasa. Tapi sebelum ritualnya sempurna, warga desa lama menyerangnya. Membakar rumahnya, menguburnya hidup-hidup bersama tulang dan tumbal-tumbal.”
“Dan kau... keturunan dia?”
Ningsih mengangguk, pelan. “Bukan dari darah langsung. Tapi garis cucu buyut dari adiknya. Itu cukup... untuk membuat mimpi-mimpinya menempel padaku. Sejak kecil aku suka mimpi darah. Mayat bayi. Gamelan di tengah malam. Tapi setelah aku menikah sama kamu, semua itu hilang. Aku pikir sudah selesai. Aku pikir dia sudah mati.”
Rokif memandang istrinya, masih sulit mencerna semua.
“Tapi sekarang dia bangkit.”
Ningsih memejamkan mata. “Dan dia menagih darah. Darah perempuan yang sedang mengandung. Karena dulu dia gagal menjebol batas dunia ini lewat janin. Maka sekarang dia kembali, dan dia akan mengulang semua.”
Suara angin menderu lewat sela jendela. Di luar, suara anjing menggonggong—kemudian terputus mendadak seperti ada yang mencekik di tengah salakan.
Rokif berdiri, tubuhnya masih gemetar.
“Kita harus keluar. Sekarang. Ke kantor kepala desa, ke siapa saja.”
Ningsih menggeleng cepat. “Gak ada yang akan percaya. Dan malam ini... kita tidak akan selamat kalau keluar rumah. Dia sudah menandai kita. Tulisan itu bukan peringatan. Itu panggilan.”
Tiba-tiba, suara tangisan bayi terdengar dari bawah lantai rumah panggung mereka.
Rokif langsung menghunus golok yang disimpan di balik lemari. “Itu... bukan bayi, kan?”
Ningsih terdiam. Ia menggeleng pelan. “Itu suara yang menipu. Ibu suka begitu. Suaranya memanggil mereka yang ragu. Menyamar jadi bayi. Lalu mengajak masuk.”
Rokif memegang tangan istrinya. Kencang. “Kita lawan. Apapun ini, kita gak akan diam.”
Tangisan bayi berubah jadi suara tawa. Tawa bayi yang terlalu besar untuk tubuh bayi. Tawa yang terus menggema.
Lalu... pintu kamar diketuk tiga kali. Perlahan. Lalu lagi. Lalu lebih keras.
Tiba-tiba terdengar suara perempuan dari balik pintu.
“Ningsih... buka. Ibu sudah pulang...”
Ningsih memeluk suaminya erat. Rokif mencengkeram goloknya, menahan napas. Tak berani menjawab. Tapi suara itu masih terus memanggil.
“Anakku sayang… kenapa kau kunci pintunya? Ibu datang bawa berkah... bawa anak-anakmu...”
Cahaya lampu mulai berkedip. Aroma bunga kenanga dan tanah basah menguar dari bawah pintu. Ningsih mulai menangis dalam diam.
“Mas... aku takut...”
Pintu kamar membara pelan, seperti disentuh oleh jari-jari dari dunia lain. Dari balik kayu itu, muncul jejak darah merayap, membentuk tulisan baru:
DARAHMU KUNCI GERBANGKU.
Rokif mendekap istrinya lebih kuat. Di luar kamar, dunia tidak lagi terasa seperti dunia manusia.
Dan malam masih panjang.
Bersambung.....