NovelToon NovelToon
THE VEIL OF AEDHIRA

THE VEIL OF AEDHIRA

Status: sedang berlangsung
Genre:Fantasi Wanita / Cinta Istana/Kuno
Popularitas:410
Nilai: 5
Nama Author: Aisyah fahra

Di dunia Aedhira yang terpisah oleh kabut kegelapan, seorang gadis muda bernama Lyra menemukan takdirnya terjalin dengan rahasia kuno darah kabut, sihir yang bisa menyelamatkan atau menghancurkan dunia. Ketika kekuatan gelap yang dikenal sebagai Raja Kelam mulai bangkit kembali, Lyra bergabung dengan Kaelen, seorang ksatria pemberani yang terikat pada takdirnya, untuk mencegah kehancuran dunia mereka.

Namun, semakin dalam mereka menggali sejarah dan rahasia darah kabut, semakin mereka menyadari bahwa takdir mereka lebih rumit dari yang mereka bayangkan. Terperangkap dalam permainan takdir yang tidak mereka pilih, Lyra harus menghadapi pilihan tak terhindarkan: menyelamatkan Kaelen dan dunia, atau mengorbankan keduanya demi sebuah masa depan baru yang tak diketahui.

Dalam pertempuran akhir yang melibatkan pengkhianatan, pengorbanan, dan cinta yang tak terbalas, Lyra menemukan bahwa tidak ada pahlawan tanpa luka, dan setiap kemenangan datang dengan harga yang sangat mahal. Ketika dunia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aisyah fahra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 7 JEJAK YANG TERLUPAKAN

Jejak yang Terlupakan

Lyra duduk di tepi danau, masih terengah. Air danau memantulkan sinar ungu dari langit yang sekarang berubah pekat, nyaris seperti malam tapi tanpa bintang. Ketenangan di sekitar seolah bohong besar, karena dalam kepalanya… kacau banget.

Barusan dia lihat kilasan masa lalu? Atau masa depan? Atau mungkin cuma halusinasi karena kelelahan?

“Lo baik-baik aja?” tanya Kaelen, mendekat sambil menyerahkan sepotong roti pipih yang entah dari mana dia dapetnya. “Ini… bukan makanan favorit sih, tapi bisa bikin lo nggak pingsan.”

Lyra menerimanya. “Thanks. Gue bahkan nggak sadar gue lapar.”

Arven berdiri tak jauh dari mereka, punggung menghadap, matanya mengawasi kabut yang kembali mengental. Sejak kemunculan sosok misterius tadi—yang mereka tahu pasti adalah Raja Kelam—semuanya mendadak sunyi. Terlalu sunyi. Seolah dunia nahan napas, nunggu sesuatu yang lebih buruk.

“Kita nggak bisa tinggal di sini,” kata Arven akhirnya, suaranya berat. “Dia udah tahu kamu di sini, Lyra. Dan dia nggak akan berhenti sampai mendapatkan apa yang dia cari.”

Lyra memandang kristal biru retak yang kini menggantung lemah di kalungnya. Kilau peraknya sudah memudar, seperti lampu kamar kost pas lagi tagihan listrik nunggak. “Apa dia mau ini?”

“Dia mau kamu,” jawab Arven.

Kaelen langsung duduk. “Okay. Itu makin creepy ya.”

Lyra memeluk lututnya. “Kenapa sih gue? Gue nggak ngerti apa-apa tentang tempat ini. Gue bahkan belum ngerti kenapa gue bisa... buka portal. Atau kenapa ada orang tua misterius yang kayaknya ngebekuin kekuatan gue waktu bayi. Kayak... ini beneran dunia dongeng?”

“Bukan dongeng,” sahut Arven. “Aedhira adalah dunia yang hidup dari ingatan. Dan kau, Lyra... adalah satu dari sedikit yang bisa menulis ulang ingatan itu.”

“Jadi gue... semacam admin sistem dunia ini?”

Kaelen tertawa. “Itu penjelasan paling modern yang pernah gue denger. Tapi... yeah, semacam gitu.”

Lyra menggeleng pelan, mencoba memahami semua itu sambil menggigit roti yang ternyata... nggak separah yang dia bayangkan. Mirip lempeng gandum tanpa rasa, tapi hey—lebih baik daripada lapar.

“Terus kita mau ke mana sekarang?” tanyanya.

Arven akhirnya berbalik. “Ke Sanctum Memoriel. Tempat di mana para Penjaga Lama menyimpan semua memori dunia ini. Kalau ada yang tahu tentang masa lalumu—dan kenapa Raja Kelam mengincarmu—itu tempatnya.”

“Dan letaknya...?”

“Di sisi lain pegunungan Kemrun. Tiga hari perjalanan, kalau kita nggak diburu pasukan bayangan. Tapi mengingat hidup kita nggak pernah seberuntung itu…”

“Yup,” sela Kaelen. “Pasti jadi road trip berdarah lagi.”

Lyra menarik napas dalam. Di kepalanya, semua terasa terlalu besar. Tapi di satu sisi, ada perasaan aneh dalam dadanya. Bukan takut. Bukan juga berani. Lebih kayak... deg-degan sebelum naik roller coaster. Mual tapi penasaran.

“Mau nggak mau, ya?” gumamnya.

Arven mengangguk. “Kamu sudah masuk ke permainan ini, Lyra. Sekarang kamu harus main sampai akhir.”

 

Mereka meninggalkan danau saat fajar palsu muncul—langit cuma sedikit lebih terang, tapi matahari sama sekali nggak muncul. Arven menyebutnya fajar kabut, saat Aedhira menipu waktu agar kelihatan seolah pagi, padahal belum tentu.

Mereka melewati hutan cemara, tempat pohon-pohonnya tumbuh tinggi seperti menara tua, dan dedaunan menggantung berat, seperti menahan rahasia ribuan tahun.

Sesekali, suara-suara aneh terdengar—jeritan samar, tawa anak-anak, bisikan tanpa sumber.

“Gue serius, ini kayak versi dark-nya Disneyland,” kata Kaelen pelan, menggenggam pedangnya.

“Tahan suara kalian,” Arven memperingatkan. “Hutan ini... hidup.”

“Great. Udah pohonnya nyeremin, sekarang dia bisa denger juga.”

Tiba-tiba, Lyra berhenti. Ada sesuatu di bawah kakinya—sepotong logam, setengah terkubur. Ia jongkok, mengangkatnya. Sebuah medali. Berkarat, tapi ada lambang burung bercakar memegang bintang.

Arven mendekat. “Itu lambang keluarga Elraen. Penjaga Memori pertama.”

“Jadi... ada yang pernah lewat sini sebelum kita?”

“Bukan cuma lewat. Mereka pernah mati di sini.”

Lyra menelan ludah. “Menyenangkan sekali tempat ini.”

Namun, saat ia menyentuh medali itu lebih lama, seberkas cahaya muncul. Kilasan. Seorang wanita muda dengan rambut perak bertempur sendirian melawan bayangan raksasa. Ia terluka. Teriaknya memanggil nama: Auren!

Lalu—gelap.

Lyra jatuh terduduk.

Kaelen langsung menghampiri. “Lo kenapa?”

“Gue lihat sesuatu. Masa lalu, mungkin? Atau... bayangan?”

Arven meraih medali itu. “Kamu semakin kuat. Setiap benda yang punya jejak sejarah akan memperlihatkan fragmennya padamu. Tapi kamu belum siap nerima semua itu sekaligus.”

Lyra menatap tangannya yang masih gemetar. “Kekuatan ini... kayak bukan milik gue.”

“Memang bukan,” jawab Arven, lirih. “Tapi dia sudah memilihmu.”

Langit mulai menggelap lagi meski baru saja mereka melewati fajar kabut. Lyra menengadah dan mendapati awan-awan hitam bergulung cepat, seperti sedang dikejar sesuatu yang lebih gelap dari mereka semua. Serius deh, Aedhira ini kayak punya mood swing parah.

“Awan itu… kayak bukan hujan biasa,” ujar Lyra, nada suaranya pelan tapi jelas mengandung kegelisahan.

Arven menatap langit, wajahnya mengeras. “Itu bukan awan. Itu asap bayangan. Raja Kelam sedang mengintai.”

“Great. Lo tahu nggak, Arven? Lo harus banget bikin segalanya kedengaran seperti kutukan mitologis setiap saat?” celetuk Kaelen sambil menyiapkan busurnya.

“Maaf kalau aku nggak ngasih filter pas ngomong hal yang bisa bikin kita mati,” balas Arven datar.

Lyra diam-diam menarik napas dalam. Ia tak ingin terlihat panik, tapi ada sesuatu yang menggumpal di perutnya—perasaan dingin yang menjalar naik sampai tengkuk. Nalurinya bilang: lari.

Tapi Arven malah berkata, “Jangan lari.”

“Gue bahkan belum ngomong!” sahut Lyra.

“Aku bisa lihat dari tatapanmu. Kamu mau kabur.”

Lyra mendecak. “Ya iyalah. Wajar dong panik kalau ‘asap bayangan’ literally lagi ngejar kita.”

Kaelen tertawa kecil. “Fair point.”

Mereka berjalan lebih cepat, melewati jalan setapak yang hampir tertutup semak-semak dan akar-akar yang menjulur liar. Suara langkah mereka nyaris tak terdengar di antara desiran angin dan desau pepohonan. Tapi Lyra tahu. Mereka tak sendiri.

Dan benar saja. Tak lama, terdengar bunyi gemerisik—bukan angin. Langkah. Banyak. Terlalu banyak.

Arven mendadak berhenti. Ia mengangkat tangannya, menyuruh semua diam.

“Diam,” bisiknya. “Pasukan bayangan.”

Dari balik kabut, perlahan muncul sosok-sosok tinggi kurus, matanya kosong dan bersinar merah. Tubuh mereka seperti asap padat, bergerak dengan keheningan yang menyeramkan.

Lyra mundur satu langkah. “Oke… mereka serem.”

“Ssst.”

Satu dari makhluk itu tampak mengendus udara, seperti anjing pelacak. Lalu, tiba-tiba, kepalanya berputar tajam ke arah Lyra. “DIA… DI SINI.”

Suara itu… bukan suara manusia. Seperti teriakan yang dicampur dengan suara kaca pecah.

“Mampus,” gumam Kaelen.

Arven langsung mencabut pedangnya. “Formasi tiga! Lindungi Lyra!”

Pertempuran pun meledak. Suara besi beradu, teriakan, dan raungan memenuhi udara. Kaelen bergerak cepat, panahnya terbang satu per satu dan menembus bayangan—meski butuh dua sampai tiga panah buat ngebunuh satu makhluk. Arven seolah menari dengan pedangnya, memutar, menebas, menusuk.

Sementara itu, Lyra hanya bisa berdiri kaku. Jantungnya berdebar, tapi tangannya… mulai terasa panas.

Sangat panas.

Tanpa sadar, ia mengangkat tangan kanannya. Sebuah semburat cahaya biru meledak dari telapak tangannya, menghantam satu makhluk bayangan hingga tercerai-berai dalam ledakan cahaya.

Kaelen melirik. “Holy crap.”

Lyra menatap tangannya sendiri. “Apa barusan gue yang…?”

Arven sempat menoleh, meski tetap bertarung. “Kamu mulai terhubung dengan kekuatanmu!”

Lyra mengerutkan kening. “Tapi gue nggak tahu caranya—”

“Jangan dipikirin! Rasain aja!” Arven berteriak.

Dan untuk pertama kalinya… Lyra menurut.

Ia memejamkan mata. Mengizinkan rasa takut, kemarahan, dan kebingungan bercampur. Tangannya kembali bersinar. Dan saat ia membukanya—ledakan energi biru menyapu sekitar. Beberapa bayangan langsung hancur.

Ketika ia membuka mata, semua sudah sunyi.

Tubuhnya gemetar. Tapi kali ini… bukan karena takut. Ada kekuatan di sana. Mengalir. Menggelegak.

Kaelen melambai padanya. “Oke, lo keren banget barusan. Tapi bisa nggak, next time, kasih peringatan dulu kalau mau nge-ledakin setengah hutan?”

Lyra nyengir. “Gue juga baru tahu bisa.”

Arven mendekat. “Itu bukan kekuatan biasa. Itu adalah warisan memori. Kamu nggak hanya mengingat. Kamu memanggil ulang kejadian yang pernah terjadi.”

Lyra memiringkan kepala. “Gue… kayak… playback kekuatan orang lain?”

“Kurang lebih,” jawab Arven. “Tapi kamu bukan cuma meniru. Kamu menampungnya. Menjadikannya milikmu.”

Kaelen menyipitkan mata. “Kayak USB yang bisa copy-paste kekuatan?”

“USB?” Arven mengerutkan kening. “Apa itu?”

“Lupakan,” jawab Lyra cepat. “Itu teknologi kuno dari dimensi gue.”

Mereka tertawa kecil di tengah reruntuhan asap dan tubuh bayangan yang menguap.

Tapi tawa itu tak bertahan lama. Langit kembali menggelap.

“Apa lagi sekarang?” keluh Kaelen.

Arven menatap jauh ke arah kabut. “Kita harus cepat sampai ke Sanctum Memoriel. Kalau tidak… dia akan menghapus jejak-jejakmu sebelum kamu tahu kebenaran.”

“Ngapus jejak kayak… literally?” tanya Lyra.

“Ya,” Arven mengangguk. “Dia akan menulis ulang sejarah Aedhira. Dan membuat seolah kamu… nggak pernah ada.”

“Dia mau… ngehapus gue dari sejarah?” Lyra mengulang pelan, seolah otaknya butuh waktu lebih buat mencerna ancaman itu.

Arven mengangguk tanpa ekspresi, seperti biasa. “Kalau dia berhasil menguasai Sanctum Memoriel sebelum kita sampai sana, maka semua yang berkaitan denganmu—ingatan, bukti, bahkan ingatan rakyat Aedhira—akan terhapus.”

Kaelen mengangkat alis. “Jadi kayak dia bakal nge-uninstall hidup Lyra dari dunia ini?”

“Kurang lebih,” balas Arven.

“Gila… Itu messed up sih,” ujar Lyra sambil menggosok lengan atasnya. “Gue belum sempet ngerasain makan enak di dunia ini, udah mau dihapus aja.”

Kaelen menyenggol bahunya. “Tenang, selama kita bareng, lo nggak akan ke-uninstall. Kita kayak antivirus premium.”

Arven menatap keduanya. “Kalian bisa bercanda, tapi ini serius. Kita harus terus bergerak.”

Mereka mulai berjalan lagi, menyusuri jalur yang makin asing. Kabut makin pekat dan udara terasa seperti menahan napas—diam dan berat. Di kejauhan, kilatan petir berwarna ungu kadang menyambar, menyinari siluet pohon-pohon mati dan batu-batu yang tersusun seperti altar.

“Tempat ini makin creepy,” gumam Lyra, pelan.

Arven berhenti di depan sebuah batu besar yang tampak seperti rambu kuno. Ia menyentuhnya, dan batu itu menyala samar, menampilkan peta ilusi di udara.

“Sanctum Memoriel tinggal dua hari perjalanan dari sini. Tapi kita harus melewati Lembah Lupa.”

Kaelen langsung mengerut. “Ah, tempat itu…”

Lyra melirik mereka bergantian. “Gue takut nanya tapi… Lembah Lupa itu apaan?”

Arven menjelaskan sambil berjalan. “Sebuah tempat yang menguji siapa pun yang melewatinya. Di sana, ingatanmu akan diputarbalik, diperlihatkan ulang, atau dihilangkan. Kalau kamu gak cukup kuat… kamu bisa lupa siapa dirimu sendiri.”

Lyra langsung memeluk dirinya sendiri. “Ini dunia penuh tantangan banget ya. Bahkan lembah pun nggak bisa chill.”

Saat malam tiba, mereka berkemah seadanya di celah tebing. Arven menyalakan api kecil dan menjaga giliran pertama, sementara Kaelen langsung tertidur dengan tangan di atas busur.

Lyra, meski capek, nggak bisa tidur. Ia duduk di dekat api, memandangi kobaran merah-oranye yang menari-nari seperti kenangan.

“Gue bisa nanya sesuatu?”

Arven tak menoleh. “Silakan.”

“Kenapa lo peduli? Maksud gue… lo kelihatan dingin banget. Tapi tetap mau bantuin gue. Kenapa?”

Arven diam cukup lama, hingga Lyra mengira dia gak bakal jawab.

Tapi akhirnya, dia bicara.

“Karena dulu aku gagal. Aku tak bisa melindungi seseorang yang penting bagiku. Dan saat melihatmu… aku tahu ini kesempatan kedua.”

Lyra mengerutkan kening. “Seseorang penting?”

Arven mengangguk. “Namanya Aurelya. Dia… dulu pewaris Aedhira. Seperti kamu.”

Lyra menelan ludah. “Dan dia…?”

“Dihapus. Sama seperti yang ingin Raja Kelam lakukan padamu.”

Sunyi melingkupi mereka. Api mulai redup, menyisakan cahaya lembut yang melempar bayangan aneh di wajah Arven.

“Aku bersumpah,” katanya pelan. “Kali ini aku tidak akan gagal.”

Lyra hanya bisa mengangguk. Mungkin, di dunia ini yang penuh sihir dan kekacauan, yang paling mereka butuhkan hanyalah satu sama lain. Orang-orang yang masih bisa percaya, meski semuanya nyaris hilang.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya sejak ia datang ke Aedhira, Lyra merasa sedikit… aman.

Walau besok mereka bakal masuk lembah yang literally bisa bikin amnesia.

 

Keesokan paginya, Lembah Lupa menyambut mereka dengan kabut putih tebal dan aroma bunga yang aneh. Terlalu manis, seperti parfum kedaluwarsa.

“Gue gak suka bau ini,” celetuk Kaelen sambil menutupi hidungnya.

“Jangan hirup dalam-dalam. Itu bagian dari efeknya,” kata Arven.

Langkah mereka mulai lambat. Kabut membuat segalanya tampak tak nyata. Suara pun seperti teredam. Dan saat Lyra menoleh ke belakang…

Kaelen menghilang.

“Kaelen?” Ia memanggil, panik.

Tak ada jawaban. Bahkan Arven pun lenyap dari pandangan.

Lyra mulai berlari, tapi kabut justru makin menebal. Dan tiba-tiba, ia tidak berada di lembah lagi.

Ia berdiri di dapur kecil. Dapur… rumahnya.

“Lyraaaa! Ayo bantu ibu goreng roti!”

Suara itu—suara ibunya. Tapi ibunya sudah meninggal… kan?

Lyra mundur satu langkah. “Ini bohong. Ini… bukan nyata.”

Tapi rasanya nyata. Terlalu nyata.

Ibunya datang membawa nampan berisi roti hangat dan cokelat panas. “Sini, duduk. Cerita ke ibu gimana sekolahmu.”

Air mata Lyra menggenang. “Ibu…”

“Kenapa nangis, sayang?”

Lyra gemetar. Tapi ia tahu—ini jebakan. Ingatan ini bukan miliknya. Bukan saat ini. Ia harus melawan.

“Ibu… ini udah nggak nyata,” bisiknya. “Maaf… tapi aku harus pergi.”

Ia menutup mata, menggigit bibir.

“INI BUKAN KENYATAAN!”

Cahaya biru meledak dari tubuhnya, menyapu dapur itu seperti badai. Dan saat ia membuka mata, ia kembali ke lembah. Arven berdiri di depannya, terlihat lelah.

“Kamu bisa keluar sendiri,” katanya pelan.

Lyra mengangguk, napasnya tersengal.

“Aku hampir… lupa semuanya.”

“Kau tak sendiri,” sahut Arven, dan menunjuk ke samping.

Kaelen muncul, rambutnya kusut dan wajahnya merah. “Lo gak bakal percaya hal yang barusan gue liat. Gue… pake jubah emas, duduk di singgasana, dan ada segerombolan elf yang nyanyi buat gue.”

“Gue juga gak percaya,” jawab Lyra.

Mereka tertawa—kecil, gugup, tapi tulus. Lembah itu belum menghapus mereka.

Tapi langkah berikutnya… menuju tempat di mana ingatan seluruh dunia disimpan.

Sanctum Memoriel.

Dan musuh mereka sudah menunggu.

1
🍭ͪ ͩ💜⃞⃟𝓛 S҇ᗩᑎGGITᗩ🍒⃞⃟🦅
kau terasing di dunia nyata
tapi kau di harapkan di dunia edheira
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!