Dia adalah gadis yang selalu tenggelam dalam gemuruh pemikirannya sendiri, di penuhi kecemasan, dan terombang-ambing dalam sebuah fantasinya sendiri.
Sehingga suatu teriknya hari itu, dari sebuah kesalahpahaman kecil itu, sesosok itu seakan dengan berani menyatakan jika dirinya adalah sebuah matahari untuk dirinya.
Walaupun itu menggiurkan bagi dirinya yang terus berada dalam bayang, tapi semua terasa begitu cepat, dan sangat cepat.
Sampai dia begitu enggan untuk keluar dari bayangan dirinya sendiri menerima matahari miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma syafitri Gultom, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa Pagi yang Tidak Pasti.
.
.
Pagi ini, saat dia membuka mata setelah tiga hari tidak bisa tertidur nyenyak, akhirnya dia mendapati tidur yang luar biasa cukup.
Dan dia berterima kasih pada Tuhan akan hal itu.
Merenggangkan tubuhnya sekuat mungkin, melihat pelan di antara bantal dan selimut tipis miliknya, sebelum akhirnya menguap dengan besar sebagai reaksi alami tubuhnya.
Ah...
Perlahan bangun dari tidurnya, dengan duduk di kasur itu, sedikit mengucek salah satu matanya, berusaha mengumpulkan nyawa yang masih berserakan entah kemana.
Apa dia harus pergi ke tempat itu lagi hari ini?
Seketika kesadarannya kembali penuh.
Apa dia harus kembali ke tempat itu lagi hari ini?!
Dia tidak tahu!
Sial!
Dengan gerakan cepat dia mencari-cari ponselnya, mendapati benda itu kini berada di sisi atas kasurnya. Cepat-cepat meraih benda itu dan mengaktifkannya.
Ternyata ada beberapa pesan yang masuk.
Ah...
Kebanyakan hanya pemberitahuan tentang kabar sosial media.
Dan....
Dan... pesan dari nomor asing....
‘Aku sangat menantikan pertemuan kita selanjutnya...’ tulisan pesan ini terasa baku dan formal sekali, dengan nomor asing pula.
Apa ini nomor Tobito?
Atau nomor Flauza?
Dia kembali melihat-lihat nomor itu, untuk memastikan pemiliknya.
Ah....
Ini milik Flauza...
Tunggu? Kalau ini nomor Flauza, dan dia mengirim pesan menggunakan bahasa Indonesia...
Bukankah berarti dia bisa berbahasa Indonesia selama ini?
Atau hanya menggunakan google translate?
Dan kenapa dia tidak melakukannya selama ini!
Uhhh....
Dasar!
Tanpa membalas pesan dari pria itu, dia hanya menyimpan nomornya dan kembali menutup pesan itu dengan setengah kesal.
Pria itu pasti hanya ingin mempermainkannya.
Tentu saja memang apa lagi yang dia inginkan selain mempermainkannya?
Dia menghembuskan nafasnya kuat, dan kembali melihat jam dan tanggal digital pada menu utama ponselnya.
Hari minggu pukul 09.12.
Ah....
Sudah selama itukah dia tertidur?
Sebaiknya bangun dan membersihkan dirinya.
Membuka pintu kamarnya dengan pelan, berjalan pelan dan diam berusaha sebisa mungkin tidak menarik perhatian orang-orang yang ada di rumah ini.
Setelah kejadian gila yang di alamin semalam, faktanya dia saat ini melakukan hal yang sama dengan kebiasaan yang sama membuatnya sadar itu tidak akan membuat hidupnya banyak berubah.
Dia tetap seorang gadis, yang bahkan harus berjinjit pelan saat berada di rumah sendiri untuk tidak membuat orang-orang ini menjadi marah kepadanya.
Membersihkan tubuhnya dalam diam...
Dengan pemikiran-pemikirannya kembali melayang-layang tidak pasti entah kemana.
Entah itu ke masa lalu, ke masa sekarang, atau ke masa depan.
Dia tidak tahu.
Maka setelah habis mandi, mendapati dia masih di beri keberuntungan tidak bertemu seorang pun saat ini dia sudah cukup bersyukur dengan itu.
Mengambil segelas besar mengisinya dengan air putih, untuk di bawanya kembali ke kamar itu.
Hari ini dia benar-benar ingin bermalas-malasan.
Setelah selesai melakukan semuanya, dia mengunci kembali pintu kamar dan membuka laptop tuanya itu, mungkin sedikit bermain game, atau sekedar melihat-lihat sosial media.
Lama gadis itu terduduk di hadapan laptop itu, dan entah ada angin apa yang berbisik di kepalanya, dia tanpa sadar membuka sebuah pencarian dan mengetikkan nama pria itu.
Flauza Evangrandene.
Tapi yang keluar hanya sebuah pencarian Evangrandene Company, dengan logo daun dan hijau dan garis cokelat yang bergelombang.
Hanya nama perusahaannya?
Dengan cepat dia membaca tentang perusahaan itu.
Perusahaan yang bergerak hasil Bumi dan Teknologi. Memiliki lima kantor pusat di lima negara maju, salah satunya Hokkaido Jepang, Swiss Basel, America Philadelphia, Kanada Vancouver, dan Inggris London.
Revander mengerutkan keningnya saat membaca itu.
Sebuah perusahaan yang luar biasa besar, berarti.
Sedangkan yang ada di Indonesia sendiri adalah anak cabang, dan hanya karena anak cabang sudah sebesar itu untuk wilayah di sini.
Dia kembali membaca-baca mencari tahu lebih detail lagi, dan berharap mendapatkan sedikit informasi tentang pria itu.
Dan hasilnya, dia mendapatkan fakta jika nama Flauza adalah seorang pemilik tertinggi dari semua itu, dan telah memegang selama hampir delapan tahun perusahaan itu.
Berarti sejak tahun dua ribu enam belas...
Dan umurku masih tujuh belas tahun....
Lalu dia masih mencari lagi, tapi hanya itu.
Revander berdecak kecil.
Sok misterius sekali hidupnya... tanpa sadar dia menggerutu sembari menutup tab pencarian itu.
Lalu kembali menghabiskan waktu dengan berusaha menghibur dirinya tenggelam pada dunia online.
.
.
.
Tidak terasa sudah jam tiga sore, sudah enam jam dia terduduk di depan laptopnya.
Dan itu berhasil membuat punggung, dan matanya terasa lelah serta sakit. Bahkan air putih pada gelasnya kini tersisa sedikit, namun dia terlalu masal untuk keluar dari ruangannya hanya untuk sekedar mengisi kembali.
Tanpa aba-aba, gadis itu malah langsung naik kembali ke atas kasurnya dan menelentang kan tubuhnya.
Berusaha menghilangkan rasa lelah pada tubuhnya, dengan terdiam tenggelam pada suasana kamar siang menjelang sore tersebut.
Dan entah kenapa tidak ada apa pun yang menggerayangi pemikiran. Murni hanya sunyi, dan kosong.
Lama sang gadis itu tetap berada di posisinya, sampai-sampai sebuah ketukan pintu membuyarkan lamunan kesunyian itu.
“Dek... sudah makan?” tanya sang ibu dari seberang pintu itu.
Oh ternyata dia belum makan siang.
Tapi dia terlalu malas untuk melakukan itu hari ini.
“Nanti bu...” jawabnya sedikit meninggikan nada agar dapat terdengar oleh wanita di seberang sana. Tapi tidak ada jawaban lebih lanjut, dan hanya langkah kaki yang menjauh dari kamarnya.
Lalu apa?
Entahlah...
Dia kembali memiringkan tubuhnya, mengambil ponsel yang terletak tidak jauh dari sana.
Ting...
Ah...
Dengan tiba-tiba saja, sebuah pesan lainnya masuk.
Menunjukkan nama pemilik pesan dari Flauza.
Oh...
Dia membuka percakapan itu.
‘Tobito will pick you up tomorrow.’ Pesan singkat dari pria itu.
Berarti dia akan ‘bekerja’ untuk besok?
Mungkin saja....
Walaupun dia tidak tahu, apa sebenarnya pekerjaannya ini nanti.
‘Okay...’ balasnya dengan singkat pula, tidak tahu harus mengatakan apa lagi.
Tapi mata hitamnya itu masih menatap ke dalam ponselnya itu. dan kini pemikirannya, mengalir ke hal-hal lain seperti.
Apakah dirinya harus membicarakan ini kepada kedua orang tuanya?
Kamu tahu itu adalah ide yang buruk!
Dia tahu...
Lagi pula status kerjanya di sana itu tidak jelas, memang apa yang mau katakan kepada mereka? Kamu di terima sebagai wanita panggilan? Atau wanita yang mengajarkan tentang Indonesia kepada orang asing?
Memangnya kerjanya jadi apaan!
Dia menghela nafas panjang.
Tidak usah ajalah...
Putus akhir sang gadis itu.
.
.
.
.
Paling nanti juga akan ketahuan sendiri...
Atau mungkin pekerjaan seperti ini tidak akan bertahan lama bukan?
.
.
.
.
Saat esok paginya, di hari senin yang masih terasa embun pagi. Dia sedikit merapikan ikat rambutnya, dan membersihkan sepatu usang miliknya itu.
Dan lagi, sang ibu datang dari arah ruang tengah melihat dirinya yang masih bersiap menunggu Tobito datang menjemputnya, kali ini dengan sang ayah yang sekilas menatapnya tajam sebelum berjalan melewatinya.
Itu berhasil membuat dirinya terbeku sejenak, merasa tak nyaman melihat kedua orang tuanya itu tampak seperti mengawasinya diam-diam seperti ini.
Apa dia telah melakukan kesalahan lagi?
Diakan tidak meminta apapun kepada mereka, atau membuat mereka merugikan apapun.
Tapi kenapa tetap seperti ini?
Entahlah...
“Mau pergi sama teman lagi?’ tanya sang ibu.
“iya...” jawab Revander.
“Kenapa harus pakaian kemeja rapi seperti itu?” dia tahu kali ini ibunya mencoba memancing sebuah informasi darinya.
Karena orang-orang di sana memakai pakaian formal dan rapi, seperti baju yang telah di setrika dengan licin, laki-laki dan perempuan menggunakan bedak dan pengharum badan, dan juga rambut sisi dan di ikat rapi....
“biar bagus saja...” jawabnya lagi.
Kali ini memasang sepatunya pada kaki-kaki yang telah di bungkus oleh kaos kaki.
“di jemput lagi sama orang yang kemarin?” tanya ibunya lagi.
Dan gadis itu hanya mengangguk mengiyakan.
Kedua ibu anak itupun terdiam, tidak melanjutkan pembicaraan mereka yang terasa buntu itu.
Namun sayangnya ini adalah percakapan ternormal yang terjadi di antara mereka selama ini.
Tidak ada kata-kata yang tiba-tiba saja berusaha membandingkan dirinya dengan orang lain. Tidak ada kata-kata yang tiba-tiba saja menyalahkan dirinya seperti orang lain.
Beberapa menit berlalu, dengan samar dia dapat mendengar mesin mobil yang tidak asing baginya datang dari ujung lorong gang ini, mendekat ke arah rumahnya. Itu pasti adalah mobil Tobito.
Dengan cepat dia bangkit, mengambil tasnya dan berjalan keluar dari rumah ini.
Dia sungguh tidak nyaman dengan mereka.
Sungguh tidak nyaman.
Sebelum mobil hitam itu benar-benar berhenti di depan rumahnya, dia bisa melihat seorang wanita tua lain yang tinggal di seberang rumahnya tampak tengah menyapu halaman miliknya, dengan mata yang mencuri-curi pandang melihat ke arah rumahnya.
Atau lebih tepatnya ke arah dia.
Revander menghela nafas panjang....
Tambah satu masalah hidupnya lagi.
Apa tidak bisa menjadi lebih buruk?
Tentu saja bisa!
Dia bisa merasakan sang ayah mencoba menyibukkan diri dengan melakukan entah apa itu pada bunga-bunga di sisi lain halaman rumahnya, dan sang ibu yang kini berdiri di depan pintu masih menatapnya.
Ya Tuhan!
Mobil itu berhenti dengan mulus di depan gerbangnya, dan dengan cepat pula Tobito keluar dari pintu pengemudi.
“Selamat pagi Nona Revander...” sapanya pelan dan formal seperti biasa.
Dia mencoba tersenyum. ”Selamat pagi juga Tobito...” balasnya, berjalan masuk pada sisi mobil dengan pintu penumpang yang telah di bukakan untuknya.
Aku memasuki mobil itu tanpa ada perkataan lebih lanjut kepada ibu atau ayah yang aku tahu mereka berdua tengah melihat kepergianku saat ini, dengan Tobito menutup dengan pelan.
.
.
.
Setelah sampai pada gedung yang sama seperti tempo hari, dan waktu yang sama menunjukkan yaitu pukul setengah sembilan pagi.
Orang-orang yang sama masih menyapa Tobito dengan nama belakangnya.
Orang-orang masih mengabaikan dia namun tetap menatap tajam dan penasaran ke arah dirinya.
Dan dia masih merasakan rasa jantung yang berdegup semakin meningkat dengan nafas yang masih berusaha dia atur di tengah-tengah keadaan umum ini.
Kali ini, Tobito langsung mengantarkanku kepada ruangan pribadi mili Flauza.
Saat sampai pada ruangan serba kecokelatan di lantai lima belas itu, aku tidak dapat menangkap sosok keberadaan Flauza di dalamnya.
Apa dia belum sampai?
“Tuan Flauza memiliki urusan sebentar pada beberapa divisi, dan kini dia tengah berada di lantai dua belas.” Lapor Tobito seakan tahu jika dia menanyakan keberadaan pria itu. Lalu matanya menangkap beberapa piring dan gelas berisi teh yang masih mengeluarkan kepulan uap itu. “Itu adalah sarapan pagi yang telah di siapkan untuk Anda Nona Revander.” Lanjut pria pirang itu.
Uh...
Dia memang belum ada makan sama sekali dari hari kemarin.
Tanpa sadar dia sedikit menyentuh perutnya, merasakan lapar yang tiba-tiba saja menyerang menjadi satu dengan rasa debar jantung serta gugupnya.
“Please Nona Revander, silakan nikmati sarapan pagi Anda selama Anda menunggu kedatangan Tuan Flauza.” Tawar Tobito lagi, membungkukkan tubuhnya dengan salah satu tangan di lipan ke dada, dan satunya lain terjulur menunjukkan ke arah sofa berwarna cokelat itu.
“Terima kasih Tuan Tobito...” balas gadis itu sembari berjalan mendekat ke arah sofa itu.
“jika begitu saya pamit undur diri terlebih dahulu Nona Revander.” Dia hanya mengganggu pelan. Mendudukkan tubuhnya, dan letakkan tas yang dia bawa pada meja kaca di samping makanan yang telah di hidangkan.
Mata hitamnya masih memperhatikan satu-persatu hidangan yang di letakkan pada piring cantik dan di tutup.
Dia mengambil cangkir berwarna hijau pudar itu, dan meminum teh kental hangat, terasa pahit dan masih memilik rasa manis yang pas untuknya.
Ini untuk kedua kalinya, minuman yang di sediakan untuknya terasa pas.
Bagaimana dengan rasa makanannya?
Dia membuka tutup dari piring cantik itu, menampilkan sarapan mie goreng yang masih tampak hangat dan di planting secantik mungkin. Dia meletakkan tutup itu di sisi lain meja kaca itu, dan mengangkat mie itu agar dapat melihatnya lebih dekat.
Semuanya seakan di tata dengan rapi dan sempurna.
Khas sekali dengan hal-hal yang berhubungan di tempat ini.
Lalu dia meletakkan piring itu kembali dengan pelan, dan kembali menutupnya.
Lebih baik sedikit menunggu lebih lama untuk kehadiran pria itu?
Mungkin...
Terdengar bukan ide yang buruk bukan.
Kali ini dia membuka tas dan mencari ponselnya, untuk melihat-lihat sejenak sosial media.
Sampai dia sendiri lupa sudah berapa lama dia menunggu kedatangan pria itu.
Karena kesibukannya yang masih asyik dengan dunia media, dan pemikirannya sendiri. Dia tidak sadar dengan pintu kayu itu terbuka pelan, dan langkah sepatu kulit itu masuk tanpa suara.
Flauza Evangrandene.
Berjalan dengan tenang, wajah tampan itu langsung terukir senyuman saat melihat sosok gadis berambut hitam panjang terikat tinggi, duduk di sana dengan wajah menunduk melihat kedalam layar ponsel miliknya.
Dengan tersenyum.
Seakan dia baru saja melihat sesuatu hal yang menarik di sana.
Apa yang dia lihat di sana?
Tanpa berkata Flauza mendudukkan tubuhnya begitu dekat oleh gadis itu. Dan berhasil membuat gadis itu terkejut sambil menoleh cepat ke arah dirinya.
Dan lagi mata hitamnya sedikit lebih membesar dan berkedip cepat tanda dia terkejut akan apa yang sedang terjadi di sekitarnya.
“M-Mister Flauza!” ucapnya sedikit memekik pelan.
Dan Flauza hanya tersenyum lebar seperti biasa kepadanya. “Good Morning...” suara berat itu membalasnya.
Uhh...
Dia menggunakan bahasa inggris lagi.
Bukankan waktu itu dia mengirim pesan kepadaku menggunakan bahasa Indonesia?
“M-Morning...”
Jantungnya kembali berdegup kencang dan lebih kencang.
“hmmm... Why don't you eat your breakfast? Is that bad?" sekilas mata cokelatnya menatap kepada piring yang tertutup.
“ah... no-no... I.. hm... just waiting for you..." gadis itu berdeham sejenak. “I think... that..." dia berusaha memikirkan alasan-alasan yang bagus untuk di berikan pada pria di sampingnya ini.
Tapi apa?
Sambil membuka kembali tutup piring itu, meletakkannya kembali, dan mengambil, sepasang sumpit yang telah tersedia di sana.
Dalam diam dia mengangkat piring itu dan menyuapkan mie yang juga sudah mulai mendingin itu kepada sang pria di sampingnya.
Oh....
Lihatlah mata kecokelatan milik pria itu, melebar penuh rasa kebahagiaan dan juga....
Sesuatu yang lain.
Dia sedikit bergerak lebih mendekat ke arah sang gadis. “Do you want to eat this with me?” bisiknya dengan suara berat itu, lalu melahap makanan yang di berikan oleh sang gadis.
Dan Revander?
Gadis itu tak menjawab apa pun, dan tak menunjukkan ekspresi apa pun. Setelah pria itu memakan pemberiannya, lalu mengambil mie itu lagi dan memakannya untuk dirinya sendiri.
Ini enak!
“Is it to your taste?” tanya Flauza.
“I wish this was a little spicier.” Flauza tertawa mendengarnya, dengan tangan kekar yang kini memainkan rambut hitam yang terikat menjuntai itu dengan lembut. Dan Revander mengambil mie itu lagi, dengan kembali menyodorkannya kepada Flauza.
Tentu saja Flauza menerimanya dengan senang hati.
"I will tell the cheff to make more spicy next time."
.
.
.
.