Membina rumah tangga tidak semudah membalikkan tangan. Banyak rintangan yang datang dan kita wajib bersabar, lapang dada, dan memiliki sifat kejujuran.
Menikah dengan anak SMA butuh banyak bimbingan. Hadirnya cinta masa kelam membuat retak cinta yang sedang dibina. Banyak intrik dan drama yang membuat diambang perceraian.
Kasus pembunuhan, penyiksaan dan penculikan membuat rumah tangga makin diunjung tanduk. Bukti perselingkuhanpun semakin menguatkan untuk menuju jalan perpisahan. Mungkin hanya kekuatan cinta yang bisa mengalahkan semua, namun menghadapinya harus penuh kasabaran.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zhang zhing li, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Orang Tua Ikut Campur
Tangan berulang kali mengusap airmata dengan tisu, agar tak meninggalkan jejak tetesannya lagi saat akan bertatap muka dengan orangtua.
"Assalamualaikum, Buk." salamku.
"Walaikumsalam," jawab suara ibuku dari dalam rumah.
Ceklek, pintu rumah kini telah terbuka.
"Mila, tumben kamu pulang?" Sambutan hangat beliau.
Secepatnya ibu langsung memelukku, mungkin sudah merindukan anaknya ini.
Wajahnya mulai clingak-clinguk seperti mencari seseorang. Sampai perkarangan dan jalananpun tak luput beliau lihat seksama.
"Mila, kamu sama siapa kesini? Menantu ibu mana? Apa dia ngak mengatar kamu? Ibu kangen sama kalian, kenapa jarang kesini? Mana ... mana suami kamu?" pertanyaan ibu tanpa henti, diiringi melepaskan pelukan pada diriku.
Melihat kesana-sini masih sibuk mencari sang menantu.
Tanpa sepatah katapun, pertanyaan beliau tak ada yang kujawab. Setelah mencium tangan punggung beliau, langkah yang lemah berusaha menuju kamar, yaitu mencoba mengistirahatkan pikiran dan hati yang sudah lelah.
Sekarang tak lupa juga kucium tangan punggung Bapak yang tengah duduk dikursi menonton televisi.
"Mila mau ke kamar dulu, Pak, Buk!" pamitku.
Orang tua sudah menatapku dengan wajah penuh keheranan.
"Kamu kenapa, Nak. Kok aneh sekali hari ini?" Ibu penasaran sambil mengelus lengan.
"Ngak kenapa-napa, Buk. Maaf, Mila lelah sekali hari ini dan sekarang mau istirahat."
"Tapi, Mila!" Ibu masih berusaha mencegah.
"Sudah biarkan saja, Bu. Anak kita baru saja datang, tapi kamu sudah menghujani dia dengan banyak pertanyaan. Mungkin saja dia beneran sedang lelah. Biarkan dia istirahat sekarang," Pembelaan Bapak.
"Tapi, Pak."
"Sudah ... sudah."
Ibu sepertinya tidak ingin berdebat, makanya beliau hanya bisa mengalah dan membiarkan diriku pergi begitu saja.
"Oh ya. Ada apa dengan anak kita ya, Pak? Sepertinya Mila sedang ada masalah? Lihat, wajahnya kusut sekali, seperti habis manangis," ucap Ibu yang masih terdengar olehku.
Belum sepenuhnya masuk kamar. Perkataan beliau mengingatkan atas kejadian tadi, rasanya ingin meneteskan airmata lagi.
"Iya, Buk. Kok matanya sembab gitu. Mungkinkah benar kalau habis nangis? Apa langsung saja kita tanyakan padanya?" Bapak terdengar mulai ikutan antusias.
Tidak ingin memutar kejadian menyesakkan tadi, maka secepatnya memasuki kamar pribadi yang sudah beberapa bulan kutinggalkan.
Ku banting begitu saja tubuh ini. Rasanya raga dan pikiran begitu terkuras, bagaikan sedang menyangga langit. Berat dan tidak kuat menahannya.
Tok ... tok, pintu kamar telah diketuk.
Tidak serta merta ku jawab. Enggan rasanya hanya sekedar menyaut orang diluar kamar.
"Nak, bolehlah kami masuk?".
Diam yang hanya bisa kulakukan sekarang.
Tok ... tok, untuk kesekian kali kembali diketuk.
Nampak Ibu dan Bapak tidak sabaran, langsung saja membuka tanpa persetujuan dari anaknya ini.
"Mila kamu kenapa? Ada apa ini?."
Ibu yang nyelonong masuk langsung menghampiriku, yang sedang tertelungkup badan sambil menangis.
"E-eeh, ternyata ada Ibu dan Bapak," ucapku kaget melihat kedua orang tua yang sudah memergokiku. menangis.
Secepat kilat ku usap embun yang jatuh di pipi. Segera bangkit dan duduk ditepian ranjang, yang ingin menjajari kedua orangtua.
"Mila gak pa-pa, Bu!"
Langsung memeluk tubuh ibu yang terdengar sedang khawatir, akibat melihat keadaanku yang semakin kacau.
"Kamu bohong. Kalau tidak terjadi sesuatu kenapa anak Ibu yang cantik ini sekarang kelihatan sedih begitu."
"Mila, baik-baik saja, Bu!" Berucap sambil terisak kembali.
"Cerita 'lah, Nak! Kamu tidak usah takut. Bapak dan Ibu akan tetap mendukungmu dibalik semua masalahmu."
"Betul kata Bapakmu sekarang. Cerita 'lah!" Ibu memaksa.
Tangan besar beliau mengelus pelan belakang punggung, mungkin dengan maksud agar diri ini lebih tenang.
"Apa sekarang kamu sedang ada masalah sama, Ryan?" tanya bapak yang kini juga ikut-ikutan sedang mengkhawatirkan ku..
"Iya, Mila. Kami disini ada untukmu. Siap mendampingi apapun masalah yang sedang kamu alami," Ibu terus meyakinkan.
Melepaskan pelukan sambil menatap wajah kedua orangtua yang nampak cemas.
Dengan dorongan hati, maka siap membuka suara. Semoga orangtua bisa memahami.
Rasanya tak kuat, maka dari itu memeluk tubuh Ibu lagi, diri ini mulai menceritakan semuanya, atas kerumitan masalah rumah tangga kami.
Awalnya ingin kusimpan sendiri, namun aku masih belum berpengalaman jadi apa salahnya jika orangtua ikutan. Mereka lebih tahu dan sudah lama mengarungi bahtera rumah tangga.
Secara detail, ku beritahu dari awal sampai akhir.
"Wah ... wah, ngak bisa begini. Menantu ibu itu benar-benar kurang ajar, berani-beraninya menyakiti anak kesayangan ibu, awas saja kamu, Ryan!" ucap ibuku dengan nada sudah emosi
"Ibu jangan marah dulu, kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin, jangan terburu-buru mengambil kesimpulan dengan menyalahkan menantu kita," ucap bapak menasehati.
"Ooh ... jadi bapak membela menantu brengs*k itu," tutur ibu yang kian marah.
"Bukan begitu, Bu!" Kehalusan bapak menjawab.
Sebenarnya malas menceritakan dikarenakan takut jika orangtua berdebat.
"Sudahlah, pokoknya Bapak ngak usah membela dia. Awas saja kalau ketemu dia, akan ku buat perhitungan dengannya, tunggu saja!" geramnya beliau.
Begitulah bapakku yang selalu sabar dan tenang jika menghadapi masalah, lain dengan ibu yang sepertinya boleh dibilang agak cerewet, dan selalu terburu-biru jika menyelesaikan masalah, tapi di sebalik itu semua orangnya cukup baik sekali.
"Sekarang kamu istirahatlah dulu. Masalah Ryan, akan kami bantu selesaikan. Kamu tidak usah khawatir dan bersedih lagi," ucap Bapak dengan mengelus-elus rambutku.
"Iya, Pak."
Rasanya plong saja jika bisa berbagi beban yang sedang ku hadapi. Tidak ada masalah yang tidak bisa terselesaikan, hanya kita saja yang harus pintar dan bijak menyelesaikannya, walau harus lewat jalur bantuan orangtua sekalipun.
"Ayo Bu, kita keluar. Biarkan anak kita istirahat dulu," ajak Bapak.
"Iya, Pak."
"Kamu baik-baik, Nak. Tidurlah! Tak perlu bersedih. Ada Ibu dan Bapak yang akan membantu kamu," suruh ibu sambil merapikan selimutku.
"Iya, Bu. Terima kasih."
Tanpa terasa diri inipun tertidur pulas, karena terlalu lama menangis.
Mata rasanya sudah sakit, dan kepala sedikit pusing, akibat terlalu dalam memikirkan masalah yang baru saja datang.
[Hallo, Assalamualaikum]
Suara Ibu sedang menelpon seseorang, yang dapat terdengar ditelingaku, walau diri ini sedang berada didalam kamar.
[Hallo juga besan, Walaikumsalam. Kapan kalian akan main kesini?]
Jawab seseorang dari seberang sana, yang kelihatannya adalah mama kak Ryan.
[Gak usah basa-basi lagi]
[Eeh ... eeh, besan, bisa gak sih mendidik anak?]
[Duh, maksudnya apa ya, besan?]
[Halah tidak usah pura-pura tidak tahu. Bilang sama Ryan, bisanya jangan hanya membuat masalah saja. Badannya saja kekar dan gede, tapi sikapnya itu, ya ampuuuun ... seperti tidak pernah sekolah saja. Kalau masih saja menyakiti anakku, ceraikan saja Mila secepatnya. Jangan mengantung hubungan kayak gitu, sudah berumah tangga tapi berani-beraninya main api dibelakang]
Ibuku terdengar sudah mengeluarkan uneg-uneg pada mertuaku.
[Maksud besan apa, ya? Kok tiba-tiba marah-marah begini?]
[Halah, jangan membela anakmu itu. Jangan jadi pria br*ngsek yang bisanya hanya membuat masalah saja]
[Duh, saya benar-benar tidak mengerti maksud besan]
Sahutan mertuaku diseberang sana, yang masih sabar menanggapi telepon ibuku.
"Ibu?" pekik suara bapak begitu melengking.
Tut ... tut, suara sambungan telepon tiba-tiba terputus.
"Apa yang kamu lakukan? Jangan melewati batas?"
"Habisnya bikin kesel saja. Ibu tidak sabar lagi ingin membunuh menantumu yang ngak ada akhlak."
"Tapi caranya tidak begini, paham!" tekan Bapak mulai tersulut.
Tak terelakkan lagi, akhirnya ibu dan bapak bertengkar, karena ingin membantu rumah tangga anaknya, yang didepan mata akan segera hancur.