Kisah menakjubkan tentang perpindahan Jiwa seorang Ratu Mafia ke dalam Tubuh seorang Gadis Cupu yang diabaikan dan direndahkan oleh keluarganya.
Gadis Cupu itu terus-menerus dianggap tidak berarti oleh keluarganya.
Namun semua hinaan dan pandangan meremehkan itu tak pernah mampu mematahkan semangat nya.
Penuh Drama yang menegangkan, mari ikuti Perjalanan Hidup Mafia Queen X Gadis Cupu!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon PrinsesAna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Ara sadar bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh Abraham dan Elmira.
Sebenarnya Ara tahu, tetapi dia memilih untuk tidak peduli. Lagipula, mereka tidak mengganggunya.
"Sudah, Non. Sekarang lebih baik istirahat saja, besok kan sekolah. Biar Bibi saja yang beresin," ucap Bi Ina dengan lembut.
"Iya, Bi. Ara ke atas dulu," balas Ara sebelum melangkah menuju kamarnya.
Begitu sampai di kamar, Ara langsung merebahkan tubuhnya di atas kasur king size miliknya. Waktu berlalu cepat, pagi pun tiba. Ara bangun dan segera mempersiapkan diri untuk bersekolah.
"Perfect," gumam Ara sambil berdiri di depan cermin, puas dengan penampilannya.
Setelahnya, ia turun ke ruang makan untuk sarapan. Ternyata, semua orang sudah berangkat lebih dulu, jadi Ara makan sendirian pagi itu. Ia menyantap nasi goreng dengan telur. Seusai makan, Ara berpamitan kepada Bi Ina sebelum pergi ke sekolah.
"Bi, Ara berangkat dulu, ya," serunya sambil setengah berlari menuju pintu karena waktu sudah mendesak.
"Iya, Non. Hati-hati, ya," sahut Bi Ina seraya menggelengkan kepala melihat kelakuan Ara yang terburu-buru.
Ara menaiki motornya dan langsung menancap gas menuju sekolah. Karena hampir terlambat, ia memacu motornya cukup cepat, bahkan beberapa kali menyalip kendaraan lain hingga mendapat umpatan dari para pengendara.
BRUMMM! BRUMMMMMM! CIITTT!
Tepat sebelum gerbang sekolah ditutup, Ara akhirnya sampai.
Kehadirannya kembali mencuri perhatian banyak siswa di sekolah, termasuk geng Bruiser yang kebetulan sedang berada di area parkir bersama Vania.
"Astaga! Ara makin hari makin cantik aja," seru salah satu siswa dengan antusias.
"Setuju banget! Cepat bawa karung, woi!" timpal siswa lainnya dengan nada bercanda.
Dengan gerakan penuh gaya, Ara membuka helm full-face miliknya secara perlahan, membuat siswa-siswi yang melihat semakin ribut oleh rasa takjub akan kecantikan dan kelucuan yang terpancar dari dirinya.
"Gilaaa, gak main-main deh damage-nya!" seru siswa A dengan suara melengking.
"Gila, si Ara gak capek-capek ya jadi cantik terus. Udah gitu, tatapannya tajem banget!" ujar siswa B penuh kekaguman.
"Iya banget! Cantik, imut, tapi tatapan tajem dan datarnya parah sih," timpal siswa C.
Keriuhan siswa-siswa yang heboh memuji Ara terus terdengar, namun Ara tetap tidak peduli. Ia berjalan dengan tenang, melangkah menuju kelas tanpa menghiraukan omongan mereka.
"Makin cantik aja ya si Ara," kata Lucas dengan nada kagum saat melihat Ara melewati kelompok mereka.
"Iya, bener banget. Makin cantik, imut pula. Rasanya pengen gue karungin deh," Alvin menanggapi dengan geli karena gemas.
"Eh, tapi coba liat deh. Tatapan matanya tuh masih datar banget, terus tajem lagi," Ryan menyela sambil menunjuk ke arah Ara.
"Paling cuma trik doang biar kita semua perhatian sama dia, terutama Gavin," Arga berkomentar dengan senyum sinis.
"Bener juga, ya. Kita liat aja, bentar lagi pasti dia bakalan nyamperin Gavin," sahut Lucas menyetujui.
"Tapi, Kak, gak boleh ngomong gitu dong. Mungkin aja Kak Ara itu udah berubah," kata Vania dengan gaya sok polosnya mencoba membela Ara.
"Adek kecil belum ngerti apa-apa. Jadi kita liat aja nanti gimana," balas Arga sambil tersenyum hangat dan mengelus puncak kepala Vania.
"Iya deh, Abang," jawab Vania dengan suara sok imut yang membuat Arga hanya bisa tertawa kecil.
Sementara itu, Ara berjalan tetap lurus ke depan dengan ekspresi datar dan tatapan tajam yang tak berubah sedikit pun. Ketika ia sampai di dekat kelompok geng Bruiser, tak sekalipun ia menoleh, apalagi menyapa mereka. Ia hanya berlalu begitu saja, sampai akhirnya langkahnya terhenti karena seseorang mencengkeram pergelangan tangannya.
"Kalau tujuan lo berubah cuma buat narik perhatian gue, mending gak usah. Gue gak akan pernah tertarik sama lo," tegas Gavin dingin sambil mengeratkan cekalannya di tangan Ara.
Ara menoleh pelan dan menatap pergelangan tangannya yang dicengkeram Gavin dengan pandangan dingin.
"Lepas," ujarnya singkat dengan nada sedingin es, sambil memancarkan aura mengintimidasi yang membuat semua orang di sekitar merasakan tekanan luar biasa, menciut nyali mereka seketika.
Namun Gavin justru semakin mengeratkan genggamannya hingga pergelangan Ara mulai memerah. Ara yang merasa jengah berbalik dengan gerakan tegas, lalu memelintir tangan Gavin hingga genggamannya terlepas. Gavin yang kesakitan meringis karena luka dari insiden sebelumnya masih terasa perih di tubuhnya.
Tanpa banyak berkata-kata, Ara segera mengeluarkan tisu basah dari tasnya dan mulai menyeka kedua tangan yang baru saja disentuh Gavin. Setelah itu, ia menggunakan tisu kering untuk memastikan tangan tersebut benar-benar bersih. Semua orang hanya bisa terdiam menyaksikan tindakan Ara yang tampak sangat serius membersihkan bekas sentuhan Gavin pada kulitnya.
Setelah selesai, Ara kembali mengangkat wajahnya, menatap Gavin dengan pandangan datar namun penuh intimidasi yang membuat suasana semakin tegang di antara mereka semua.
"Jangan pernah sentuh gue dengan tangan kotor lo itu. Gue jijik. Dan jangan terlalu percaya diri kalau gue berubah cuma demi menarik perhatian lo.
Sekarang gue tegaskan, untuk lo dan semua orang yang mendengar ini: gue sudah gak tertarik lagi dengan cowok seperti lo. Malahan gue merasa jijik lihat lo, apalagi kalau sampai disentuh.
Anggap saja waktu kemarin gue mengejar lo itu cuma karena gue lagi khilaf. Mata gue kayaknya salah lihat waktu itu. Jadi, jangan pernah sentuh gue lagi. Paham?"
Ara mengucapkan semuanya dengan tekanan pada tiap kata. Raut wajahnya datar, tatapan matanya dingin dan tajam. Selesai berbicara, Ara langsung melangkah pergi menuju kelas, meninggalkan semua orang yang masih terguncang dengan sikapnya.
"Si Ara jijik sama Gavin," ucap Lucas, masih terkejut melihat reaksi dan jawaban Ara.
"Iya, bahkan tangannya sampai dilap gitu habis disentuh Gavin. Udah kayak virus aja si Gavin," Alvin menimpali sambil tertawa.
"Hahaha... Tapi kayaknya Ara memang serius. Lihat aja dari tatapan matanya," ujar Ryan di sela-sela tawanya.
"Iya, Ara udah move on, terus malah anggap dia kayak virus sekarang," kata Lucas, tertawa bersama Alvin dan Ryan.
Sementara itu, Gavin masih berdiri diam setelah mendengar ucapan Ara, begitu juga Arga, Arka, dan Vania.
"Kenapa hati gue sakit saat lo ngomong kayak gitu, Ara," ucap Gavin pelan dalam hatinya.
Lucas, Alvin, dan Ryan masih sibuk tertawa, sedangkan Arka yang tampak lelah memutuskan untuk lanjut menuju kelas, diikuti oleh Arga, Vania, dan Gavin.
"Woi, kita malah ditinggalin!" seru Alvin sambil berteriak, lalu mengejar Gavin dan yang lainnya.
Sesampainya di kelas, Ara langsung duduk dan menenggelamkan kepalanya di atas meja.
"Ara, lo kenapa?" tanya Manda, yang duduk di sebelahnya.
"Gue nggak apa-apa. Nanti kalau guru masuk, tolong bangunin gue," jawab Ara, lalu melanjutkan tidur.
"Oke," balas Manda singkat.
"Ara, bangun. Guru sudah masuk," kata Manda, membangunkan Ara.
"Hemm," gumam Ara, lalu segera duduk tegak sambil menghadap ke depan.
"Pagi, anak-anak," sapa sang guru.
"Pagi, Buk," jawab serentak seisi kelas.
"Baiklah, hari ini kita lanjutkan materi pelajaran kemarin," ujar guru tersebut.
Jam istirahat telah tiba.
"Baiklah, anak-anak, kita lanjutkan minggu depan," ujar sang guru sambil bergegas keluar dari kelas.
"Ra, ke kantin yuk. Gue udah laper banget," ajak Manda dengan semangat.
"Lo duluan aja. Gue mau ke toilet dulu, nanti gue nyusul. Pesenin gue mi ayam bakso sama es jeruk, ya," jawab Ara sambil membereskan buku-bukunya.
"Oh, oke," sahut Manda, lalu berjalan menuju kantin.
Sementara itu, Ara segera pergi ke toilet. Setelah selesai, ia mencuci tangannya di wastafel. Saat hendak keluar, langkahnya terhenti karena ia dihadang oleh Vania.
"Gue udah pernah bilang sama lo, Ra. Jangan cari perhatian siapa pun, tapi lo malah nggak nurut," ucap Vania dengan nada marah, matanya menatap tajam ke arah Ara.
"Gue nggak punya urusan apa-apa sama lo," balas Ara dengan dingin. Tatapannya yang dingin itu membuat nyali Vania sedikit ciut.
"Gue bakal pastiin semua orang benci sama lo, Ra. Nggak cuma lo, tapi juga keluarga dan teman-teman lo. Liat aja nanti," ujar Vania dengan nada penuh kebencian.
Ara tetap tenang meski wajahnya menunjukkan ketegasan. "Gue nggak peduli. Silakan lo ambil semuanya kalau itu penting buat lo. Gue nggak butuh dan gue nggak peduli. Ngerti?" kata Ara sambil mendorong tubuh Vania ke samping. Tanpa menghiraukannya lagi, Ara langsung keluar dari toilet, meninggalkan Vania yang kini dipenuhi amarah melihat keberanian Ara.
"Liat aja, Ra, apa yang bakal gue lakuin biar semua orang benci sama lo," gumam Vania dengan senyuman licik di wajahnya.