Sebuah karya yang menceritakan perjuangan ibu muda.
Namanya Maya, istri cantik yang anti mainstream
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon R.Fahlefi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Otak yang pintar
Mertua Maya menghela nafas pelan.
"Apa kau serius dengan ucapanmu?"
Maya mengangguk, matanya mulai basah mengingat kelakuan Gilang.
Selama ini Maya sangat segan pada mertuanya. Ia tidak pernah mengeluh tentang urusan rumah tangganya. Mertua Maya memang bukan orang yang penuh kasih sayang kepadanya, tetapi bukan juga mertua yang jahat.
"Kalau begitu, aku akan bicara pada Gilang! Kamu sekarang pulang."
"Tapi bu.." Mirna tampak tidak terima.
Mertua Maya mengangkat tangannya, "Cukup. Untuk sekarang kau jangan pernah minta uang kepada Gilang!"
Ucapan mertua Maya itu setidaknya membuat perasaan Maya lega. Masih ada kewarasan didalam diri orang tua di depannya.
Maya akhirnya pamit, Mirna yang ada disana masih bersungut-sungut, karena ia tidak akan menerima uang dari Gilang lagi.
Masalah siang itu selain membuat hati Maya lega sekaligus membuat hatinya berdebar-debar. Entah apa yang akan dilakukan Gilang nanti setelah mendengar penjelasan mertuanya.
Di rumah, Maya menyibukkan diri untuk membersihkan rumah. Menyapu, mengepel, membersihkan jaring laba-laba. Piring di dapur sudah bersih semua, pakaian sudah dijemur, halaman rumah juga sudah bersih, bahkan terlalu bersih. Maya mengerjakan itu semua untuk meredakan ketegangannya.
Seumur-umur pernikahan baru kali ini ia membicarakan prahara rumah tangganya pada orang lain. Ia tidak bisa menebak apa reaksi Gilang saat mendengar keluhannya itu dari ibu mertua.
Menjelang sore, langit berwarna jingga keemasan. Sari di luar rumah bermain, Maya duduk di beranda sambil menjahit seragam sekolah Sari yang sobek bagian ujung roknya.
Maya menahan nafas ketika suara motor Gilang terdengar dari kejauhan. Maya tahu bahwa Gilang pasti ke rumah orang tuanya dulu. Sebab biasanya kalau hari minggu seperti ini Gilang sebelum sore pasti sudah berada di rumah.
Maya masih berpura-pura sibuk menjahit seragam ketika Gilang tiba. Mata Maya melirik sekilas suaminya itu. Tidak ada tanda-tanda yang aneh, wajahnya tetap datar, tidak menyapa, tidak tersenyum.
Maya menghela nafasnya, merasa dadanya sedikit lega.
Namun, ketika Gilang masuk ke dalam rumah ia memanggil Maya.
"Maya."
Jantung Maya kembali berdebar, dengan suara gemetar ia menjawab, "Iya bang."
Maya masuk ke dalam rumah, Gilang disana duduk di kursi kayu ruang tengah. Matanya menatap Maya, namun dengan pancaran yang tidak marah, tidak juga hendak mencerca.
"Aku sudah dengar semuanya dari ibu." Ucap Gilang.
Maya berusaha untuk tetap tenang. Menurut instingnya, sepertinya Gilang tidak akan mengamuk.
"Maksud abang?" Tanya Maya berpura-pura tidak tahu.
"Tidak usah pura-pura tidak tahu. Kau mengeluh soal uang belanja bukan? Biar adil, aku akan menyamakan uang belanjamu dengan uang yang kuberikan pada Mirna dan ibu."
Entah bagaimana menjelaskan perasaan Maya. Satu sisi Maya senang dengan Gilang yang tidak meributkan soal pengaduannya itu, tapi di satu sisi perkataan Gilang itu membuat posisinya sama dengan Mirna dan mertuanya. Bukan itu yang diharapkan oleh Maya. Maya ingin keadilan, bukan pemberian yang sama rata.
Tapi, Maya hanya bisa menunduk dan mengiyakan saja. Diberikan jumlah yang sama memang sedikit melonggarkan kebutuhan rumah tangga meskipun ada perasaan tidak terima disana. Jelas posisinya dengan Mirna berbeda, ia adalah istri Gilang, sedangkan Mirna adalah adiknya. Bagaimana bisa Gilang memberikan hak yang sama.
"Ini uang 1 juta untuk bulan ini, 1 juta lagi aku akan berikan pada Mirna dan Ibu." Ucap Gilang memberikan 10 lembar seratus ribuan.
Maya dengan tangan gemetar mengambil uang itu. Sudah lama sekali ia tidak memegang uang sebanyak ini. Itu membuat mulutnya kelu dan tidak lagi protes.
"Kau bilang ingin mencari kerja, gimana? Udah dapat?" Tanya Gilang.
Maya menggeleng, "Belum bang, susah dapat kerja di desa ini."
Gilang tersenyum kecil, seolah sudah menebak.
"Sekarang kau sendiri sudah tahu kan kalau nyari uang itu susah? Seharusnya kau lebih banyak bersyukur daripada mengeluh. Sudah untung aku seorang PNS, kalian masih bisa makan, masih bisa tidur di rumah kita sendiri tanpa mikirin uang sewa." Ucap Gilang dengan bangga.
"Iya, aku selalu bersukur bang, malah aku bersyukur masih bisa hidup dengan makan nasi pakai pucuk ubi."
Alis mata Gilang terangkat, ia menoleh pada Maya yang menatap ke arah lain.
Gilang kemudian tertawa, "aku dulu juga sering makan pucuk ubi pakai nasi, enak dan bergizi. Makanya aku bisa jadi PNS, punya otak yang pintar."
Maya meremas ujung dasternya, padahal itu adalah kalimat sindiran, tapi suaminya itu tidak tersindir sedikitpun. Malah ia membanggakan dirinya sendiri yang tak tahu malu.
"Kalau abang punya otak yang pintar pasti abang tahu kenapa kami cuma makan itu saja!" Cibir Maya dengan nada ketus.
"Udah cukup, aku lagi malas ribut. Mending kau masak dan buatkan aku kopi." Perintah Gilang.
Maya menurut dan langsung pergi menuju dapur.
Uang 1 juta yang baru ia terima sebenarnya tidak banyak jika dihitung oleh kebutuhan mereka yang mendesak. Maya harus segera membayar tunggakan listri, air, beli persediaan gas dan minyak goreng, belum lagi ia harus membayar uang spp Sari yang sudah beberapa bulan tertunda.
Tersisa uang yang dipegang Mirna tidak lebih hanya 200 ribu saja. Itu tidak mungkin cukup memenuhi kebutuhan mereka sampai bulan depan.
Sepandai-pandainya Maya mengatur keuangan, uang itu tidak akan bisa bertahan lebih dari dua minggu.
Maya sudah menyerah mencari pekerjaan pada orang lain. Mungkin saran dari Laras kemarin adalah jalan satu-satunya mencari penghasilan. Pastinya bukan jual diri, bukan mencari om-om kaya, tapi 'bertani'.
Maka, dimulailah fase Maya untuk bercocok tanam. Ada ladang mereka sepetak di ujung desa. Ladang itu masih ditumbuhi semak belukar, tidak terawat.
Setiap pagi sehabis Sari berangkat sekolah, Maya membersihkan lahan itu seorang diri. Semak belukarnya tinggi. Maya yang tidak terbiasa dengan pekerjaan berat membuatnya harus bekerja lebih ekstra. Setiap pulang dari ladang badannya pegal-pegal. Tubuhnya seperti di remukkan. Belum lagi tangannya mulai kasar dan kulit putihnya mulai gelap.
"Kamu nggak capek May?" Tanya Laras suatu ketika saat sedang berkunjung ke ladang.
"Kalau aku capek, berarti aku kalah." Jawab Maya menyeka keningnya yang berkeringat.
"Aku gak nyangka kamu bisa membersihkannya, lihat, udah bersih semua."
Maya tersenyum, memang lahannya sudah bersih semua. Satu minggu penuh ia membersihkannya. Tanah yang dulunya dipenuhi rerumputan liar setinggi pinggang itu kini jadi tanah yang siap untuk ditanami.
"Dasar Gilang! Emang suami kamu itu gak tahu diri ya, istri secantik kamu, sebaik kamu malah disia-siakan."
"Udah deh, jangan mulai."
"Tapi May, kalau dia emang peduli, setidaknya di bantu kami kek bersihin lahannya. Ini kan kebun dia juga."
Maya menunduk, perkataan Laras emang benar. Meski tak pernah bercerita mengenai suaminya, Laras bisa menebak apa yang terjadi dalam rumah tangganya.
Uang 50 ribu ditangan Maya harus dibagi dengan hati-hati. Maya bertanya kesana-kemari tentang bibit tanaman yang murah, serta jenis tanaman yang bisa panen dalam waktu dekat.
Malam hari adalah waktu Maya untuk beristirahat dari lelahnya pekerjaan sekarang. Mengurusi rumah, memasak, mengurus sekolah Sari serta ditambah mengurusi ladang membuat dirinya tidak begitu memperhatikan Gilang lagi. Pria tidak tahu diri itu masih tetap dengan kebiasaan lamanya. Pagi-pagi sarapan di kantor, pulang kerja pergi ke warung, tertawa bersama teman-teman, bermain gitar, bernyanyi dan pulang ketika Maya dan Sari sudah tidur.
Bahkan Gilang tak pernah bertanya kenapa wajah Maya mulai hitam, tak bertanya tentang ladang yang mulai di garap. Bukan Gilang tidak tahu bahwa Maya berkebun, Maya sudah meminta izin lebih dahulu. Tapi emang begitulah Gilang, tidak peduli. Ia hanya berinteraksi dengan Maya ketika istrinya itu meminta duit.
Disaat Maya mulai lelap tertidur, ia sebuah tangan yang melingkar di pinggangnya yang masih ramping. Maya yang tidur menyamping pun berbalik.