Goresan ISENG!!!
Aku adalah jemari yang gemetar. Berusaha menuliskan cinta yang masih ada, menitip sebaris rindu, setangkup pinta pada langit yang menaungi aku, kamu dan kalian.
Aku coba menulis perjalanan pulang, mencari arah dan menemukan rumah di saat senja.
Di atas kertas kusam, tulisan ini lahir sebagai cara melepaskan hati dari sakit yang menyiksa, sedih yang membelenggu ketika suara tidak dapat menjahit retak-retak lelah.
Berharap kebahagiaan kembali menghampiri seperti saat dunia kita begitu sederhana.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Aksara_dee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6. Pernikahan Kontrak
Kondisi saat itu begitu chaos, wanita tua tuna wisma yang mengalami depresi berat itu tidak bisa ditangani oleh tiga orang tenaga keamanan rumah sakit. Kondisi ia relapse dengan depresi tidak terduga. Sebelumnya ia sangat kondusif, sudah bisa diajak bicara dan bisa berbaur dengan pasien lainnya. Apa yang jadi pemicu perlu adanya analisa mendalam. Hari itu rumah sakit kecolongan, wanita tua itu menyerang lima korban dengan brutal, termasuk Hania menjadi korban kebrutalannya.
Nyonya Mince.
Ia depresi setelah suaminya meninggal di medan tugas saat melaksanakan tugas di Timor Timur. Setelah mengalami depresi berat, ia tidak dibawa berobat ke rumah sakit untuk mengobati depresinya tapi malah diusir dari rumahnya sendiri dan dilarang menemui ketiga putranya.
Seorang perawat laki-laki dan seorang pria muda memakai pakaian tentara mendekatinya perlahan dan penuh waspada untuk membujuknya.
"Nyonya Mince, suamimu pulang!" teriak perawat lelaki yang berusaha membujuknya.
"Abang... Abang pulang!" Mince berlari memeluk pria muda memakai pakaian tentara.
"Abang, anak-anak diambil Mama dan adik-adikmu, bang. Katanya aku tidak boleh menemui anak kita," ucapnya tersedu.
Tentara muda hanya bisa meringis saat nyonya Mince yang sudah kisut dan keriput itu memeluk dan menciumi wajahnya, tentara muda itu hanya pasrah dan berusaha membujuknya agar Mince mau duduk dan meminum obat penenang.
Di IGD...
Dokter tampan itu duduk termenung di sisi ranjang Hania, menatap gadis itu dengan wajah sendu. Luka-luka yang dialami Hania cukup serius, beberapa bagian kepalanya mengalami kebotakan karena jambakan nyonya Mince, ratusan helai rambutnya tercabut, wajah dan tangannya terluka karena cakaran yang dilayangkan bertubi-tubi nyonya Mince.
"Sabil, kita harus bicara!" panggil dokter Wina dengan suara dingin. Wanita berusia 40 tahunan itu menarik lengan Sabil agar lelaki itu segera menjauhi ranjang Hania.
Di sebuah ruangan tertutup mereka disambut dengan aroma mint dari diffuser, tempat biasanya dipakai untuk istirahat para medis saat berjaga malam. Wina berhadapan dengan Sabil dengan tatapan marah dan kecewa.
"Jelaskan gosip yang beredar di paviliun Edelweis! Dan kejadian tadi, kenapa kamu memeluk adik sepupuku? Jelaskan!" teriak Wina.
"Gosip apa? Aku tidak mengerti apa maksudmu, dokter Wina!"
"Semalam kamu ke kamar Hania, kan? Untuk apa, hah?! Seorang dokter mendatangi pasien tanpa membawa rekam medis, dan kamu berjam-jam di dalam kamar adikku, untuk apa?!" jerit Wina
Sabil mengusap wajahnya dengan kasar. "Aku hanya ingin menganalisa perkembangan kejiwaannya, obat yang kuberikan ternyata membuat punggungnya ruam kemerahan," dalihnya.
"Apa kurang jelas analisa yang aku serah terimakan padamu?" tanya Wina mendengus kesal.
"Gosip sangat cepat beredar, adikku belum siap menerima hujatan dari perawat yang diam-diam mencari perhatianmu, menunggu masa dudamu. Bekerjalah secara profesional, jangan bawa perasaan dalam pekerjaan kita!"
Sabil menundukkan pandangannya.
"Kamu berstatus suami dari anak Presdir kita, jangan bawa adikku dalam pusaran kegagalan rumah tangga kalian. Dia sedang sakit, dia butuh sembuh.Jangan pernah kamu dekati adik sepupuku untuk mengisi kekosonganmu!" suara Wina penuh penekanan sambil menunjuk dada Sabil.
"Sebagai senior kamu, aku ingatkan! Bebaskan dulu dirimu dari belenggu papa mertuamu jika kamu ingin menolong Hania."
Wina melangkah panjang keluar dari ruangan dengan dada dipenuhi amarah. Sebagai pelampiasannya ia hentakkan pintu hingga bunyi dentuman menggetarkan telinga. Sabil menghempaskan bokongnya di tepi ranjang, ia menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Ia merasa berada di tepi jurang kebimbangan. Perasaan yang mulai tumbuh berbenturan dengan profesionalisme pekerjaan.
Sepuluh menit ia butuh waktu untuk menenangkan diri di ruang istirahat IGD. Lalu ia bangkit keluar ruangan. Dari sudut ruang IGD yang penuh dan ramai, jarak ia berdiri dengan ranjang Hania cukup jauh, ia hanya bisa menatap Hania yang masih terbaring di kasur dengan wajah pucat dan terluka, dari kejauhan. Rasanya ia ingin mendekat, menunggu gadis itu bangun dan menenangkannya.
Akan tetapi, kakinya terikat belenggu profesionalitas dan sumpah profesi. Ia juga harus menjaga nama baik Hania dan menjaga dari sindiran-sindiran pedas para nakes yang selama ini diam-diam mengidolakan dirinya.
Sabil keluar dari ruang IGD dengan perasaan gamang, ia tahu bawahannya diam-diam membicarakan kepeduliannya pada Hania, tapi ia merasa sudah berusaha sesuai prosedur. Semalam, saat ke kamar Hania, ia mendaftarkan kehadirannya pada lembar kerja sebagai upaya observasi dan pendekatan pada pasien.
Kecuali kejadian tadi saat memeluk Hania, itu murni karena ingin melindunginya, tidak ingin perempuan yang perlahan mengisi harinya, terluka. Sebagai bentuk kasih sayang yang bisa ia berikan pada gadis yang rapuh lahir bathin.
Akan tetapi ada yang membuatnya curiga, jika gosip yang dihembuskan seolah ada seseorang yang berusaha menggiring opini untuk menyudutkannya. Sabil berjalan menuju gedung C dimana istri kontraknya bertugas. Perempuan licik yang selalu memanfaatkannya. Kakinya melangkah mantab saat keyakinannya pada suatu hal seakan menjadi pemicu bagaimana gosip itu terjadi.
"Dokter Sabil!" panggil petugas keamanan. "Mohon waktunya sebentar, dok. Presdir menunggu anda di ruangan beliau," ucap petugas keamanan itu.
Tanpa menjawab, Sabil berbelok arah menuju bangunan di mana ruangan Presdir berada. Langkahnya sedikit ragu, Papa mertuanya sangat jarang memanggilnya di tempat kerja. Mereka masih tinggal satu rumah, biasanya urusan pekerjaan maupun pribadi selalu dibicarakan di rumah.
Saat akan memegang handle pintu, pintu bergeser ke arah luar. Beberapa orang keluar dari dalam ruang kerja Papa mertuanya. Suster Sari dan tiga orang suster magang yang bertugas di bangsal Edelweis. Mereka menundukkan kepalanya saat berpapasan dengan Sabil. Terkesan takut dan merasa bersalah.
Sabil menarik napas dalam sebelum masuk ke dalam ruangan itu. Ia sudah siap dengan segala resiko yang akan ia terima.
Prak!
Foto-foto dilemparkan ke wajah Sabil.
"Apa maksud kamu, kalian sengaja melakukan ini agar bercerai?" tanya Papa mertuanya.
Sabil melirik foto-foto yang bertebaran di lantai. Foto Danisha (Istri kontrak Sabil) bersama Jordi (Kekasih Danisha) sedang berada di rumah sakit menemani Jordan yang di opname karena muntaber.
"Mas, ceritakan pada Papa kalau Jordi hanya menjenguk Jordan, tidak bermalam. Jelaskan mas... " rengek Danisha disertai isak tangis.
Alis Sabil saling bertaut, setiap kali Danisha dan Jordi ketahuan bertemu, ia selalu dilibatkan dan dimanfaatkan oleh istri kontraknya itu.
"Jawab Sabil! Dimana kamu semalam? Apa benar gosip yang beredar di Pav Edelweis kalau kamu sedang dekat dengan seorang pasien?" tanya Papa Danisha.
Rahangnya mengeras menahan emosi, bukan ia tidak ingin bercerai, ia ingin sekali menyudahi pernikahan kontraknya dengan Danisha. Tapi jika ia yang dijadikan kambing hitam atas kesalahan Danisha, ia tidak bisa menerimanya.
"Setelah mengantar Jordi, saya kembali ke rumah sakit untuk menyelesaikan laporan pasien. Saya bermalam di rumah sakit hingga sekarang belum pulang ke rumah. Mengenai berita itu, itu tidak benar. Saya jamin tidak akan ada hubungan saya dengan pasien, karena saya berusaha bekerja secara professional," jawab Sabil
"Kamu dengar, Danisha?! Sabil lelaki setia, dia tidak akan berselingkuh dari kamu. Itu hanya gosip murahan untuk menjatuhkan nama baik Sabil juga nama baik Papa. Para perawat yang betugas juga mengatakan tidak ada hubungan apapun antara suamimu dengan pasien itu."
"Sementara foto-foto kamu, Papa dapatkan dari detektif yang Papa bayar untuk memata-matai kamu. Sampai Papa mati, tidak akan merestui pernikahan kamu dengan Jordi!" hardik Prof. Darmono pada putrinya.
"Apa Papa tidak curiga tadi mas Sabil memeluk dan menolong pasiennya itu. Aku tidak terima, Pa!" rengek Danisha pura-pura lugu.
"Kejadian itu bisa terjadi pada siapapun, Sabil melindungi pasiennya. Sama seperti Irawan melindungi anak kecil yang di amuk bu Mince tadi. Jangan dibesar-besarkan masalah ini. Kembali ke ruangan mu, lakukan pekerjaanmu dengan baik. Jangan pernah menuduh tanpa bukti!"
"Keluar kalian!" usir Prof. Darmono.
Setelah pintu ruangan Presdir tertutup rapat. Sabil menarik lengan Danisha untuk bicara empat mata di ruangannya. Ia terus menarik lengan istrinya dengan wajah tegang, sorot matanya dingin seperti tidak akan ada ampunan kali ini untuk Danisha.
"Lepas! Sakit tau!" keluh Danisha menghempaskan tangan Sabil.
Cengkraman tangan Sabil melonggar setelah mereka sampai di ruangannya.
"Kalau kamu ingin segera menikah dengan Jordi, jangan bawa-bawa gosip murahan itu untukku juga pasienku! Dia tidak tahu apa-apa dan dia tidak bersalah."
"Tapi aku tahu kamu sedang jatuh cinta, mas. Kita impas. Aku menikah dengan Jordi, kamu menikah dengan perempuan yang kamu cintai. Ayolah kita bercerai, apapun alasannya yang penting kita bercerai. Aku ingin Jordan tahu siapa papa kandungnya yang sebenarnya."
"Apapun alasannya? Kenapa kalian tidak memperjuangkan dan mempertanggung jawabkan cinta kalian sendiri tanpa harus merusak karierku. Kamu egois Danisha, kamu ingin namamu bersih dan mendorong aku sebagai suami yang merusak pernikahan."
"Aku lelah menjalani pernikahan kontrak ini, mas. Hatiku hanya untuk Jordi, selamanya. Bulan depan Jordi akan dijodohkan dengan anak pengusaha tambang. Lepaskan aku mas, kita harus bekerjasama agar pernikahan kontrak ini selesai. Jordan harus tahu siapa ayah biologisnya."
"Pikirkan sendiri, jangan libatkan aku juga pasienku!"
merinding aku Thor.....😬
kenapa prabu seperti nya marah ?