NovelToon NovelToon
GAZE

GAZE

Status: sedang berlangsung
Genre:Misteri / Duniahiburan / Matabatin
Popularitas:731
Nilai: 5
Nama Author: Vanilla_Matcha23

“Setiap mata menyimpan kisah…
tapi matanya menyimpan jeritan yang tak pernah terdengar.”

Yang Xia memiliki anugerah sekaligus kutukan, ia bisa melihat masa lalu seseorang hanya dengan menatap mata mereka.

Namun kemampuan itu tak pernah memberinya kebahagiaan, hanya luka, ketakutan, dan rahasia yang tak bisa ia bagi pada siapa pun.

Hingga suatu hari, ia bertemu Yu Liang, aktor terkenal yang dicintai jutaan penggemar.
Namun di balik senyum hangat dan sorot matanya yang menenangkan, Yang Xia melihat dunia kelam yang berdarah. Dunia penuh pengkhianatan, pelecehan, dan permainan kotor yang dijaga ketat oleh para elite.

Tapi semakin ia mencoba menyembuhkan masa lalu Yu Liang, semakin banyak rahasia gelap yang bangkit dan mengancam mereka berdua.

Karena ada hal-hal yang seharusnya tidak pernah terlihat, dan Yang Xia baru menyadari, mata bisa menyelamatkan, tapi juga membunuh.

Karena terkadang mata bukan hanya jendela jiwa... tapi penjara dari rahasia yang tak boleh diketahui siapapun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vanilla_Matcha23, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 6 - SEANDAINYA AKU PUNYA SEDIKIT KEBERANIAN

𝗦𝘂𝗻𝘀𝗵𝗶𝗻𝗲 𝗛𝗲𝗶𝗴𝗵𝘁𝘀 𝗔𝗽𝗮𝗿𝘁𝗲𝗺𝗲𝗻𝘁,

Lampu temaram di atas meja memantulkan cahaya lembut, menyoroti wajah seorang pria yang duduk diam tanpa ekspresi. Di hadapannya hanya ada segelas air yang sudah kehilangan kehangatannya.

Hening malam menelan seluruh ruangan, menyisakan napasnya yang berat dan gemetar.

Bayangan siang tadi kembali berputar dalam benaknya, kejadian di rumah sakit, ketika ia menyaksikan seorang dokter yang mengabaikan peraturan terkait biaya, demi menyelamatkan nyawa seseorang.

Tanpa pamrih, tanpa memikirkan keuntungan bagi dirinya. Hanya keyakinan pada sumpah dan hati nurani.

Namun, yang ia dapat bukan pujian, melainkan sanksi. Dunia memang aneh, pikirnya getir. Orang yang berbuat benar justru harus menanggung hukuman.

Pria itu menarik napas panjang, jemarinya gemetar ketika ia menyentuh tepi meja.

“Seandainya aku punya sedikit saja keberanian seperti dia…” suaranya nyaris tak terdengar.

“Mungkin hidupku tak akan seperti ini.”

Yu Liang, begitulah orang mengenalnya di dunia hiburan. Tapi malam ini, ia bukan siapa-siapa. Hanya seorang anak yang menatap nanar bingkai foto dirinya bersama sang ibu. Senyum hangat di dalam foto terasa begitu jauh, seakan berasal dari kehidupan yang lain.

Air mata menetes perlahan, membasahi pipinya. Penyesalan datang bertubi-tubi, menyesakkan dadanya.

Jika waktu bisa diputar ulang, mungkin ia akan memilih jalan lain, bukan panggung, bukan sorotan kamera, bukan topeng senyum yang harus ia kenakan setiap hari.

Karena kini, di balik gemerlap popularitas itu, yang tersisa hanyalah rasa sakit… dan penyesalan yang tak berujung.

Kenangan itu muncul tanpa permisi, mengalir lembut namun menyesakkan. Seperti luka lama yang kembali menganga.

Hari itu, delapan belas tahun lalu.

Langit Beijing tampak kelabu, hujan turun tipis membasahi trotoar di depan rumah kecil mereka. Yu Liang berdiri di ambang pintu dengan koper di tangan, tubuhnya kaku menahan gejolak di dada.

“Ibu…” suaranya bergetar, “aku akan mencoba peruntungan di dunia hiburan.”

Sang ibu, di hadapannya menatap lama, seolah menimbang setiap kata. Tatapan matanya teduh, tapi juga menyimpan kekhawatiran.

“Liang, ketenaran bukan segalanya. Dunia itu tak selalu seindah yang kau bayangkan,” ucap sang ibu lembut.

“Jangan sampai kau kehilangan siapa dirimu demi dunia yang bahkan tidak peduli.”

Yu Liang hanya tersenyum kaku, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia tidak akan tersesat.

“Aku akan baik-baik saja, Bu. Aku janji.”

Namun janji itu kini terasa seperti kebohongan terbesar dalam hidupnya.

Seiring waktu, dunia yang dulu terlihat berkilau ternyata dipenuhi duri dan topeng. Ia belajar tersenyum di depan kamera, belajar menahan sakit tanpa air mata, dan belajar menerima penghinaan demi tetap terlihat sempurna di mata publik.

Sampai pada akhirnya, senyum yang dulu tulus kini terasa asing.

Dan malam itu, di bawah cahaya lampu temaram, Yu Liang sadar… ia telah kehilangan bagian terbaik dari dirinya sejak lama. Kejujuran, keberanian, dan ketulusan yang dulu selalu dibanggakan ibunya.

...

“Feng Xuan. Di mana bos?” suaranya tajam, terhuyung oleh amarah yang disimpan.

Feng Xuan menatap ke arah seorang wanita yang kini berperan sebagai dokter, bukan sebagai CEO Yang Tiansheng Hospital. Ruang tempatnya berada tampak sederhana, jauh dari kesan mewah dan berwibawa yang biasa melekat padanya. Di balik meja kerja itu, Nona Yang terlihat tenang, jemarinya bergerak perlahan menelusuri lembaran rekam medis.

Cahaya lembut sore hari menyoroti wajahnya, menampakkan sisi lain dari dirinya, seorang penyembuh yang bekerja dalam diam, dengan dedikasi yang tak perlu ditunjukkan.

Xuan membungkuk sedikit, lalu membalas pelan, “Nona Xia sedang di ruangannya.”

“Ruang yang mana, brengsek!” Guang Yi membentak, langsung membuat Feng Xuan mengangkat ponselnya sedikit mundur, wajahnya tegang. Di sisi lain ruangan, Yang Xia melirik sekilas, mata tajamnya menangkap kegaduhan kecil itu, kemudian kembali menunduk pada berkasnya.

Xuan membisik, “Kau cari saja—”

“Apa kau senggang?!” potong Yang Xia tanpa menoleh, suaranya tenang tetapi menuntut. Suasana menjadi kaku, Feng Xuan hampir tersandung kata-kata.

“A-a, tidak, Nona. Saya segera—” Xuan hendak melangkah, namun ragu ketika melihat sosok Guang Yi sudah berdiri tepat di ambang pintu.

“Bos!” seru Guang Yi dengan nada tinggi, suaranya bergetar sedikit. Yang Xia melepas kacamata dan menoleh perlahan, kedua pria itu sejenak terdiam karena tatapan wanita itu yang tenang namun penuh arti.

Guang Yi menyambar salah satu kursi di seberang meja dan menariknya menghampiri, duduk dengan gerakan cepat namun berkelas. Ia menatap Yang Xia, kegelisahannya masih tersisa di sudut mata.

“Kenapa kau tidak biarkan aku langsung memecat situa Zhang tadi?” suaranya sedikit pecah, nyaris terdengar seperti keluhan pribadi.

“Aku sangat ingin menghajarnya tadi, saat itu juga.”

Yang Xia meletakkan pena, tetap tenang. Hujan menggerimis di luar, ritmenya lembut, kontras dengan gelombang emosi di ruangan itu. Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah namun jelas.

“Kau tahu aku menghargai kecepatanmu, Guang,” katanya, “tetapi tujuan kita bukan sekadar membalas. Ini belum saatnya, aku mau tak ada noda yang tertinggal pada nama Tiansheng atau pasien yang dirugikan.”

Guang Yi menghela napas pelan, jemarinya tanpa sadar memutar cincin di jarinya, gerakan kecil yang mengungkapkan pergulatan batinnya.

“Aku tahu,” ujarnya akhirnya, suaranya berat menahan emosi. “Tapi melihat mereka dibiarkan begitu saja… entah kenapa, ada sesuatu dalam diriku yang tidak bisa tenang ketika melihatmu direndahkan.”

Yang Xia menatapnya lama. Senyum tipis muncul di bibirnya, bukan senyum lembut, melainkan penegasan yang tenang dan tegas.

“Itu manusiawi,” ucapnya pelan.

“Tapi dalam dunia ini, integritas dan strategi akan lebih menentukan. Kau harus bisa memilih dengan bijak, Guang Yi. Dan aku percaya, kau memiliki keduanya atau setidaknya, akan memilikinya.”

Sebentar hening.

Feng Xuan berdiri di samping pintu, menunggu arahan. Guang Yi menatap kembali ke arah wajah Yang Xia, ada sesuatu yang lembut menembus kelam di matanya. Untuk pertama kali malam itu, ia tidak menjawab dengan kata-kata keras, hanya sebuah anggukan singkat.

“Aku akan mempercayai proses itu, untuk sekarang,” gumamnya, suaranya lebih rendah dari sebelumnya.

“Tapi jika ada satu orang lagi yang berani merendahkanmu, aku tidak segan jika harus mempertaruhkan nama Tiansheng untuk kotoran-kotoran seperti mereka, dan aku pastikan mereka sampai di tanganku, mereka tidak akan berdiri lagi.”

Yang Xia mengangguk, lalu menatap ke arah berkas di mejanya. “Lupakan itu. Setelah ini, bantu aku menyiapkan kebijakan layanan pasien tidak mampu. Aku ingin implementasinya tak hanya simbolis.”

Guang Yi berdiri, langkahnya mantap ketika ia mendekati jendela, menatap kota yang basah hujan. Di pantulan kaca, dua sosok tampak: seorang pria kuat yang marah, dan seorang wanita yang mengajarkan bagaimana mengubah amarah itu menjadi aturan yang membangun.

“Baik, Nona Yang,” jawabnya singkat. “Kita lakukan bersama.”

Feng Xuan menarik napas lega, menutup pintu dengan hati-hati. Sementara di luar, suara hujan menjadi saksi bisu keputusan yang baru saja diambil.

1
Om Ganteng
Lanjut thorrr💪
Om Ganteng
Yang Xia
Om Ganteng
Chen Wei
Om Ganteng
Yang Xia/Determined/
Om Ganteng
Yu Liang/Sob/
Om Ganteng
Thor... apa ini Yu Menglong?
Zerine Leryy
Thor, Yu Liang... seperti Yu Menglong/Sob//Sob/
Zerine Leryy
Guang Yi keren...
Zerine Leryy
Bagus, lanjutkan Thor... Semoga ceritanya bagus sampai akhir/Good//Ok/
Zerine Leryy
Yang Xia dibalik Yang Grup, Guang Yi dan Feng Xuan 👍 perpaduan keragaman yang keren
Zerine Leryy
Ceritanya bagus, Sangat jarang ada Ceo wanita yang tangguh seperti Yang Xia.
☘☘☘yudingtis2me🍂🍋
Jelek nggak banget!
Yue Sid
Aduh, cliffhanger-nya bikin saya gak tahan nunggu, ayo lanjutkan thor!
Gladys
Asik banget!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!