Sekelompok remaja yang agak usil memutuskan untuk “menguji nyali” dengan memainkan jelangkung. Mereka memilih tempat yang, kalau kata orang-orang, sudah terkenal angker, hutan sunyi yang jarang tersentuh manusia. Tak disangka, permainan itu jadi awal dari serangkaian kejadian yang bikin bulu kuduk merinding.
Kevin, yang terkenal suka ngeyel, ingin membuktikan kalau hantu itu cuma mitos. Saat jelangkung dimainkan, memang tidak terlihat ada yang aneh. Tapi mereka tak tahu… di balik sunyi malam, sebuah gerbang tak kasatmata sudah terbuka lebar. Makhluk-makhluk dari sisi lain mulai mengintai, mengikuti langkah siapa pun yang tanpa sadar memanggilnya.
Di antara mereka ada Ratna, gadis pendiam yang sering jadi bahan ejekan geng Kevin. Dialah yang pertama menyadari ada hal ganjil setelah permainan itu. Meski awalnya memilih tidak ambil pusing, langkah Kinan justru membawanya pada rahasia yang lebih kelam di tengah hutan itu.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon lirien, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kepulangan
Malam semakin larut, kegelapan menelan seluruh perkemahan. Tenda-tenda lain sunyi, penghuni-penghuninya sudah terlelap, termasuk Pak Agus dan anak-anak OSIS. Hanya Ratna yang masih terjaga, tubuhnya gelisah tak bisa diam, berguling ke kiri, lalu ke kanan, seolah ada sesuatu yang menahannya dari tidur.
Sunyi begitu pekat hingga suara angin yang merobek pepohonan di luar terdengar menggelegar. Ratna memikirkan, seandainya ia menyalakan api, mungkin Pak Agus akan keluar, atau mungkin juga ikut terjaga, karena rasa gelisah yang tak bisa dihilangkan itu sungguh menekan.
Dengan hati-hati, Ratna memutar tubuhnya menatap Vani dan Kila. Kedua gadis itu tertidur nyenyak, meski udara malam menusuk sampai tulang. Angin malam menderu kencang, menyusup ke dalam tenda, namun anehnya tak seorang pun terbangun.
Tak ingin tenda runtuh, Ratna memilih duduk, menarik selimut menutup kaki yang terselip dalam kaos kaki dan celana panjang. Ia ingin mengintip ke luar, tapi rasa takut yang tiba-tiba membelit membuatnya menahan diri.
“Ada… apa, ya?” gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Di luar, kabut tebal perlahan menelan seluruh area kemah. Seolah ratusan pasang mata mengintai dari balik kabut. Sosok-sosok yang melesat, merayap, atau sekadar melayang muncul satu per satu, menikmati pesta malam yang hanya bisa mereka rasakan.
Tawa kecil terdengar, kikikkan yang hanya manusia pilihan dapat dengar—dan Ratna adalah salah satunya. Telinganya berdengung, bulu kuduknya meremang. Malam ini berbeda. Atmosfernya seperti hidup, menekan, dan menuntutnya untuk terdiam.
Sebuah bayangan muncul di depan tenda. Tangan dingin meraba-raba pintu. Ratna menekuk lutut, menundukkan kepala, memeluk kakinya sekuat tenaga. Keringat membasahi tubuhnya, gemetar tanpa henti.
Ia menahan napas, menutup mulut agar isaknya tak terdengar. Perlahan, Ratna menekuk badan, menutupi seluruh tubuh dengan selimut. Malam ini terasa menyiksa—hadirnya sesuatu yang tak terlihat tapi terasa menguras energi hingga seluruh tubuhnya lemas.
Tiba-tiba suara anjing menggema, menyalak begitu dekat, membuat Ratna melonjak. Ia meraih tas berisi pakaian, memeluknya erat, mencoba menenangkan diri seperti biasanya di rumah—memeluk guling atau boneka saat ketakutan. Perlahan, ketegangan itu mereda, dan Ratna akhirnya terlelap.
Ketika matahari mulai mengintip di ufuk timur, tepukan di kaki membangunkannya. Ia terlonjak, buru-buru bangun saat Vani memanggilnya keluar tenda.
Semuanya bangun kesiangan. Sekitar pukul 07.00, satu per satu mereka keluar, tubuh mereka nyeri, leher dan tulang terasa pegal, wajah pucat lesu, langkah berat, masih diselimuti kantuk.
Kecuali Ratna. Ia merasa segar, seolah malam tadi tak meninggalkan bekas apa pun. Ia memperhatikan teman-temannya yang memijat tengkuk, kaki, dan anggota tubuh lain dengan wajah lelah.
“Pak, kenapa badan capek banget, ya, bangun tidur begini?” keluh seorang anggota OSIS.
“Wajar saja, tidur tanpa alas dan udara dingin kan cukup berat,” jawab Pak Agus asal, meski tubuhnya sendiri juga terasa nyeri seperti habis dipukul.
Setelah itu, Pak Agus menyuruh mereka membersihkan diri dan sarapan. Pagi ini, kegiatan akan diakhiri—tenda dirapikan, barang dikumpulkan, dan upacara penutupan akan segera dilakukan.
“Sudah siap pulang?” tanya Pak Agus.
“Siap, Pak!” jawab mereka serempak.
“Alhamdulillah. Sebelum pulang, mari berdoa sesuai keyakinan masing-masing. Mulai!”
Para siswa menunduk, menutup mata, memohon keselamatan sampai rumah. Pak Agus memberi aba-aba selesai, lalu meminta tim OSIS menata barisan untuk pulang tertib.
Mereka meninggalkan perkemahan, mengakui pengalaman di hutan kurang berkesan karena tidak ada renungan malam. Beberapa berharap kegiatan berikutnya diadakan di sekolah saja.
Perjalanan turun melewati perkampungan dengan rumah-rumah jarang-jarang, terhalang kebun bambu. Penduduk pun jarang terlihat.
Ratna menoleh ke sebuah rumah panggung. Di sana, seorang nenek tengah menampi beras. Matanya membulat ketika ia melihat seorang gadis duduk di dipan kayu, kaki digoyang-goyangkan, seolah menikmati pagi yang sunyi ini.
“Naya…?” gumam Ratna, jantungnya berdegup lebih kencang.
Siapa sangka, Naya juga menoleh. Tubuhnya spontan berdiri, wajahnya berseri-seri, tangan melambai-lambai ke arah Ratna. “Nek, itu teman yang aku ceritain!” serunya lantang.
Wanita tua itu menoleh ke arah anak-anak yang melintas di depan rumahnya, lalu tersenyum tipis. Ratna hendak membalas sapaan Naya, tapi tiba-tiba dari belakang Kevin mendorongnya cukup keras.
“Lu lama banget, sih, jalannya!” Kevin bersungut, nada suaranya agak mengancam.
“Sabarlah. Jalannya sempit,” jawab Ratna, menahan kesal karena sepatu terselip lumpur basah akibat dorongan Kevin.
“Udah tahu jalannya sempit, jalan kayak siput. Mau gue ceburin ke selokan?” Kevin menambahkan, nada suaranya penuh ejekan.
Ratna hanya menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri, melangkah hati-hati. Di samping jalan, solokan besar mengalir deras, terhubung ke sungai, seakan menunggu korban ceroboh. Rasa takut mengalir perlahan di tulang belakangnya, tapi ia terpaksa menahan diri—tak berdaya melawan Kevin dan teman-temannya.
Sebuah gurat kecewa terpancar di wajah Ratna. Ia takut Naya mengira dirinya sombong, enggan membalas sapaan, tapi ia tak bisa berbuat banyak. Hatinya remuk antara takut dan rasa bersalah.
Setelah perjalanan yang melelahkan, mereka akhirnya sampai di pos satu. Napas Ratna terhela lega melihat bus sudah menunggu. Beberapa memilih beristirahat di sekitar pos, ada juga yang langsung naik.
Ratna memilih naik. Ia menaruh ransel di tempat penyimpanan di atas jendela, duduk, memasang earphone, dan menyalakan musik. Alunan lagu lembut versi media sosial mengayun di telinga, sedikit menenangkan kegelisahannya.
Matanya terpaku di jendela, mengamati siswa-siswi yang masih bercanda di luar. Geng Kevin tertawa lepas, tapi sebuah pemandangan membuatnya terhenti.
Tiba-tiba, Ratna melihat Vani—bajunya berlumuran darah. Ia mengucek mata beberapa kali, tak percaya. Namun darah itu nyata, membasahi pakaian dan tangan Vani, tapi gadis itu tetap tenang, seolah tidak merasakan apa pun.
Tak lama, anak-anak mulai naik bus, kini ada dua bus. Ratna duduk di bus satu, bersama geng Kevin. Dari pintu, Vani melangkah mendekat, duduk di samping Ratna sesuai penempatan panitia.
“Kenapa gue sial banget, sih? Ketemu lu terus! Enggak di tenda, di kelompok, eh di bus juga,” keluh Vani, nada marah bercampur keheranan.
Ratna mendengar karena musik sudah dimatikan. Ia pura-pura tak acuh, menahan diri menatap Vani yang kondisinya memprihatinkan, baju lusuh, wajah dan tangan berlumuran darah, seperti korban kecelakaan mengerikan.
Tiba-tiba, Vani mencabut earphone dari telinga Ratna, wajahnya memerah. “Kalo ada orang ngomong, dengerin! Jangan pura-pura bego!” bentaknya, suara bergetar sedikit.
Ratna menatap Vani beberapa saat, lalu diam membiarkannya duduk dengan tenang. Vani sibuk merapikan rambut kepang satu ke belakang, hasil kepangan Kila sebelum pulang tadi.
“Van, kayaknya kamu harus hati-hati setelah pulang dari sini,” ucap Ratna pelan, nada serius.
Vani menoleh, dahinya berkerut. “Lu ngomong sama gue?”
“Aku serius, Van. Kamu kayaknya dalam bahaya.”
“Sinting ya lu. Udah, jangan nakutin gue. Selama di jalan, jangan pernah bicara sama gue. Kalau enggak, awas aja, habis lu nanti di sekolah. Paham?”
Ratna hanya menggeleng, memasang kembali earphone, menunduk memandang jendela. Pepohonan yang bergerak pelan di luar kaca seolah menelan bus dan penumpangnya. Kendaraan besar itu pun melaju, meninggalkan hutan angker, meninggalkan bayangan malam yang masih menempel di kulit dan ingatan.