Arunika adalah seorang wanita yang memendam cinta dalam diam, membangun istana harapan di atas sajadah merah yang pernah diberikan oleh Raka, pria yang diam-diam memikat hatinya. Setiap sujud dan lantunan doa Arunika selalu tertuju pada Raka, berharap sebuah takdir indah akan menyatukan mereka. Namun, kenyataan menghantamnya bagai palu godam ketika ia mengetahui bahwa Raka telah bertunangan, dan tak lama kemudian, resmi menikah dengan wanita lain, Sandria. Arunika pun dipaksa mengubah 90 derajat arah doa dan harapannya, berusaha keras mengubur perasaan demi menjaga sebuah ikatan suci yang bukan miliknya.
Ketika Arunika tengah berjuang menyembuhkan hatinya, Raka justru muncul kembali. Pria itu terang-terangan mengakui ketidakbahagiaannya dalam pernikahan dan tak henti-hentinya menguntit Arunika, seolah meyakini bahwa sajadah merah yang masih disimpan Arunika adalah bukti perasaannya tak pernah berubah. Arunika dihadapkan pada dilema moral yang hebat: apakah ia akan menyerah pada godaan
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maya Melinda Damayanty, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 – Ujian Akhir SMA
Bel berbunyi nyaring. Suara langkah kaki tergesa-gesa memenuhi lorong sekolah. Semua murid kelas XII sudah duduk di kursinya masing-masing. Lembar jawaban komputer berwarna hijau muda dan soal ujian yang baru saja dibagikan tercium bau khas kertas percetakan.
Arunika duduk di deretan kedua dari depan, dekat jendela. Tangannya yang dingin meremas ujung rok seragamnya. Ia menatap kosong sebentar ke luar jendela, melihat pohon flamboyan bergoyang diterpa angin.
“Ya Allah, beri aku kekuatan,” lirihnya dalam hati, sebelum mulai menuliskan identitas di lembar jawaban.
Guru pengawas, Pak Suwandi dan Bu Ratna, berdiri di depan kelas. Suasana sunyi sekali, hanya suara gesekan pensil dan kertas.
Namun, di pojok belakang, suara bisikan samar-samar mulai terdengar.
“Hei… nomor tiga jawabannya B, kan?” desis seorang murid, Roni, kepada temannya.
Arunika menoleh sebentar, tapi cepat-cepat kembali menunduk. Ia tidak mau pikirannya terganggu.
Pak Suwandi melangkah mendekat. “Jangan ada yang berbisik! Fokus pada lembar kalian masing-masing.”
Roni buru-buru menunduk, wajahnya memerah.
Di sisi lain ruangan, tiba-tiba seorang guru yang mestinya hanya mengantar soal—Pak Jaya—diam-diam mendekati salah satu murid, Deni.
“Nomor sepuluh… pilih C saja, itu paling benar,” bisiknya.
Deni terperanjat. “Eh, Pak… tapi—”
“Ssst! Cepat tulis, jangan kelamaan,” kata Pak Jaya, sambil menepuk bahu Deni.
Namun, Bu Ratna melihat kejadian itu. Ia mendelik, lalu maju dengan suara lantang.
“Pak Jaya! Apa yang Anda lakukan di sini?!”
Seluruh murid mendongak kaget. Keheningan kelas pecah.
“A-anu… saya hanya—”
“Tidak ada alasan!” potong Bu Ratna. “Ini ruang ujian resmi! Silakan keluar dari ruangan sekarang juga.”
Pak Suwandi ikut menegaskan, “Kami akan melaporkan hal ini kepada panitia ujian.”
Pak Jaya terdiam, wajahnya pucat. Ia terpaksa keluar dari kelas. Murid-murid saling berbisik, beberapa tampak panik.
“Waduh, gila bener… guru sendiri ketahuan nyontekin,” gumam Bayu pelan.
“Pantesan tadi mondar-mandir terus…” sahut Lina.
Arunika tetap tenang. Ia menarik napas panjang, lalu kembali menatap soal. Bagi Arunika, ujian ini bukan sekadar angka—ini adalah pertaruhan harga diri.
Suasana kembali hening setelah kegaduhan itu mereda. Pengawas semakin ketat berkeliling.
“Waktu tersisa enam puluh menit,” kata Pak Suwandi.
Di barisan tengah, seorang murid lain, Mira, tampak gelisah. Ia menggigit ujung pensilnya, lalu melirik kanan-kiri. Perlahan tangannya merogoh saku rok, mengeluarkan kertas kecil yang dilipat rapi.
Arunika melihat gerakan itu dari sudut mata. Tapi ia tak berkata apa-apa.
Sayangnya, Bu Ratna lebih cepat.
“Kamu! Mira! Apa yang baru saja kau keluarkan dari saku?”
Mira tersentak. “T-tidak, Bu… ini hanya tisu.”
“Bawa ke depan sekarang!”
Dengan tangan gemetar, Mira menyerahkan kertas contekan itu. Suasana kelas kembali ricuh.
“Ya ampun, ketahuan…” bisik seorang murid.
“Berani banget bawa catatan.”
Mira menunduk, air matanya menetes. “Maaf, Bu…”
“Keluar. Kamu tidak bisa melanjutkan ujian ini,” tegas Bu Ratna.
Mira pun melangkah keluar sambil menutup wajahnya. Beberapa murid terhenyak, sadar betapa seriusnya konsekuensi menyontek.
Arunika menutup mata sebentar, hatinya berdoa lirih, Ya Allah, lindungi aku dari godaan, beri aku ketabahan…
Di depannya, lembar jawaban perlahan terisi. Baris demi baris, lingkaran-lingkaran kecil dipenuhi pensil 2B. Ia mengerjakan soal dengan tenang, meski tekanan terasa berat.
Di sebelahnya, Raka terlihat serius. Tangannya gesit menandai jawaban, namun wajahnya tetap tenang. Sesekali Arunika melirik, lalu buru-buru menunduk lagi. Ada sesuatu yang bergetar di dadanya—sebuah harapan bahwa mereka berdua akan lulus bersama.
“Sepuluh menit lagi!” seru Pak Suwandi.
Suasana semakin tegang. Keringat dingin menetes dari pelipis banyak murid. Beberapa menggoyang-goyangkan kaki, yang lain memandangi langit-langit seolah mencari inspirasi.
Arunika menggenggam pensil erat-erat. “Bismillah…” gumamnya sebelum mengisi soal terakhir.
Bel berbunyi lagi, tanda waktu habis.
“Letakkan pensil! Taruh lembar jawaban di atas meja, jangan ada yang bergerak sampai kami kumpulkan,” perintah Bu Ratna.
Suara kertas dikumpulkan bergemuruh. Murid-murid menarik napas lega, beberapa langsung bersandar di kursi, yang lain menutup wajah dengan kedua tangan.
“Alhamdulillah selesai juga,” ucap Raka lirih.
Arunika menoleh sedikit, bibirnya membentuk senyum tipis.
“Iya… akhirnya.”
Ketika pengawas keluar membawa setumpuk lembar jawaban, suasana kelas kembali ramai.
“Parah, tadi ada guru sendiri yang nyontekin!”
“Iya, sama ada Mira juga ketahuan bawa catatan.”
“Untung kita enggak, bisa habis riwayat kalau ketahuan.”
Arunika hanya mendengarkan. Hatinya berbisik lirih, Ya Allah, aku sudah berusaha jujur. Semoga Engkau memberi hasil yang terbaik.
Bel berbunyi, tanda istirahat. Semua murid wajib keluar kelas. Arunika membawa tasnya,.Raka mengikuti sambil membawa ranselnya. Mereka duduk di taman seperti biasa.
"Aku sambil makan ya," sahut Arunika minta ijin.
Ia mengeluarkan kotak bekalnya, Raka melihat kotak yang bergambar lucu. Sangat jauh dari sikap Arunika selama ini.
"Apa kau juga seorang humoris?' tanyanya tertarik.
Arunika menoleh pada Raka yang menatap kotak bekalnya. Ia tersipu malu. Kotak bekalnya berwarna biru dan ada gambar bebek yang tengah menjulurkan lidahnya.
"Bunda yang beliin," jawabnya lirih.
Raka mengangguk, ia menatap wajah ayu Arunika. Jujur, ia menyukai gadis di sisinya itu, tapi ia tak mau mengganggu Arunika, ia juga tak mau mengganggu pelajarannya sendiri dengan berpacaran.
"Kamu nggak jajan?" tanya Arunika lirih.
'Bisakah kau lebih keras bersuara Arunika. Aku seperti orang tuli jika bersamamu. Maaf!" ujar Raka cukup tegas.
"Tapi ... suaraku memang pelan,' jawab Arunika lirih.
"Pelan bukan berarti tidak terdengar Run!" sahut Raka.
"Kamu harus bicara lantang. Agar tak ada lagi orang yang merendahkan mu!' sahut Raka sedikit marah.
Arunika menutup mulut dan langsung menundukkan wajahnya. Raka menghela nafas panjang, ia tau jika ia terlalu keras pada Arunika.
"Maaf, tapi kamu akan tergilas jika kamu seperti ini? Kamu akan kalah walau.otak kamu cemerlang!" ujar Raka lagi memberi pengertian.
Arunika tercenung, perlahan ia mengangguk setuju. Ia tak akan bisa membuktikan apapun jika dirinya tetap seperti ini.
"Terimakasih!' ujar Arunika kini lebih tegas.
"Nah, gitu dong!" ucak Raka senang.
"Kan enak kalau kita sama-sama saling mendukung seperti ini!" lanjutnya dengan tatapan tegas pada manik Arunika.
Bel pun kembali berbunyi, keduanya pun gegas masuk ke kelas dan kembali mengerjakan ujian. Selama dua jam, ujian berakhir dan berlanjut esok.
Semua murid keluar dengan wajah lega, ada sebagian nampak pasrah dengan jawaban yang mereka torehkan di lembar jawaban.
"Perasaan pas belajar, gue inget semua tuh!' sahut salah satu murid sambil menggosok pelipisnya.
"Eh, tapi gitu liat lembar soal. Kenapa semua jawaban ilang ya?" lanjutnya kesal dan beberapa murid mengangguk setuju.
Arunika dijemput oleh Ayahnya, begitu juga Raka. Mereka tak berkata-kata, tetapi tatapan keduanya mengucap kata.
"Aku pulang dulu ya!"
Bersambung.
uhuk ... So sweet!
Next?
kamu bisa datang d saat kamu sudah siap dalam hal apapun,buat ayah Purnomo terkesan dengan perjuangan mu