NovelToon NovelToon
Dijodohin Dengan Kepala Desa

Dijodohin Dengan Kepala Desa

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Perjodohan / Cintamanis / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:2.9k
Nilai: 5
Nama Author: komurolaa

Ketika Olivia, gadis kota yang glamor dan jauh dari agama, dipaksa menikah dengan Maalik—kepala desa yang taat, dunia mereka berbenturan. Tapi di balik tradisi, ladang, dan perbedaan, cinta mulai tumbuh… pelan-pelan, namun tak terbendung.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon komurolaa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

[ BAB 6 ] Dua Minggu Menuju Takdir

"Kapan pernikahan akan dilakukan?" tanyanya dingin, nyaris tanpa intonasi.

Pertanyaan itu menggema di seluruh ruang keluarga besar seperti suara petir di siang bolong. Semua mata kontan menoleh ke arah Olivia. Wajah-wajah kaget terpampang jelas, tak menyangka pertanyaan itu keluar dari bibir yang tadi begitu angkuh, seolah ingin menolak perjodohan ini mentah-mentah. Namun satu orang tidak terkejut—Hadikusuma. Lelaki sepuh itu hanya diam tenang. Ia tahu betul siapa cucunya itu.

Dengan perlahan, Hadikusuma mengangkat wajah. Suaranya tenang namun mengandung otoritas yang tak terbantahkan.

"Dua minggu lagi."

Keterkejutan kembali menyelimuti ruangan. Beberapa menahan napas. Dua minggu? Secepat itu?

Ibrahim, kakek dari pihak Maalik, segera menanggapi. Suaranya lembut, namun penuh kehati-hatian.

"Apakah mereka berdua siap jika diadakan secepat itu, Hadi?"

Hadikusuma tidak langsung menjawab. Tatapannya berpindah ke arah Maalik, penuh penilaian namun tidak mengintimidasi.

"Maalik," panggilnya perlahan. "Kamu siap?"

Maalik menoleh. Pandangannya singgah sejenak ke arah Olivia, yang masih berdiri tegak. Meski wajahnya tampak angkuh, Maalik bisa menangkap ketegangan halus yang mengendap dalam tubuh gadis itu. Ia menghela napas pendek, lalu mengangguk.

"Siap," jawabnya mantap, suaranya bulat dan pasti.

Gerakan Olivia spontan. Ia langsung menoleh tajam ke arah Maalik, matanya menyipit, seolah kata "siap" itu baru saja memukul kepalanya. Sorotnya lalu beralih cepat pada Hadikusuma, penuh tuntutan yang membara.

"Eyang nggak tanya ke Oliv?" suaranya terdengar geram, hampir seperti bisikan marah yang terpendam.

"Tidak perlu," sahut Hadikusuma dingin. Tatapannya tetap lurus ke depan, bahkan tidak melirik cucunya. "Semua keputusan ini ada di tanganku dan Maalik."

Darah Olivia mendidih dalam sekejap. Tak mampu membendung amarah yang meluap, ia menghentakkan kakinya keras ke lantai. Tanpa sepatah kata, ia berbalik dan berlari menuju tangga, lalu menghilang di balik lekukan tangga menuju kamarnya.

Keheningan turun, seakan semua orang menahan reaksi. Ilham, ayah Maalik, memberanikan diri membuka suara.

"Apakah Olivia tidak apa-apa... tanpa persetujuan darinya, Pak?" tanyanya pelan, nyaris ragu.

Hadikusuma tidak terlihat goyah. Ia hanya menegakkan duduknya, lalu menjawab dengan suara dalam yang tak bisa dibantah.

"Tidak apa-apa. Anak itu kadang memang perlu ditegaskan."

Kalimat itu terdengar seperti kesimpulan dan penutup bagi segala perdebatan.

Camilla, Ratih, dan Bayu hanya diam. Tak ada dari mereka yang berani menyela, apalagi menentang. Sulis, ibu Maalik, mencibir pelan di tempat duduknya.

Maalik sendiri tetap duduk tenang, namun matanya tak lepas dari arah tangga tempat calon istrinya menghilang. Ada gelisah yang tak ia ucapkan. Ada sorot yang tak ia tunjukkan. Ia hanya menatap diam-diam, menakar badai yang mungkin akan datang... dua minggu dari sekarang.

----

Pernikahan benar-benar akan diadakan dua minggu lagi. Segalanya terasa semakin nyata. Rumah Olivia dipenuhi kesibukan sejak pagi, dan malam ini adalah puncaknya—Maalik dan keluarganya datang untuk melamar secara resmi. Keluarga Olivia telah menyiapkan segalanya dengan cermat, nyaris tanpa cela. Dekorasi ruang tamu berubah menjadi lebih formal, aroma bunga melati dan mawar memenuhi udara, membaur dengan harum teh melati yang baru diseduh Mbok Rani.

Seserahan tampak ditata dengan indah di atas nampan-nampan berlapis kain beludru. Malam ini, lebih banyak orang datang dibanding sebelumnya. Maalik terlihat begitu gagah dengan batik hitam bersulam benang emas yang membuat garis bahunya tampak semakin tegas. Di sisi lain, keluarga Olivia pun tampil dengan nuansa senada, serasi dan penuh wibawa.

Namun, satu sosok belum terlihat.

Olivia.

Acara berlangsung dengan khidmat. Doa-doa dipanjatkan, kalimat pembuka dan sambutan mengalir tertib. Sampai akhirnya, pembawa acara memanggil nama sang calon pengantin wanita.

"Dimohon kepada calon mempelai wanita untuk keluar dan menemui keluarga calon mempelai pria," ucap MC dengan suara mantap.

Semua mata mengarah ke tangga utama.

Jantung Maalik berdegup lebih kencang dari biasanya. Tangannya, yang biasanya begitu tenang saat mengayomi warga, kini berkeringat dingin. Ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak yang tak bisa dia kendalikan.

Dan kemudian, muncul Olivia.

Langkahnya pelan menuruni anak tangga. Raut wajahnya datar, malas, dan tanpa antusiasme. Namun, siapa pun yang melihatnya malam ini tak bisa menyangkal bahwa kecantikannya benar-benar menohok. Olivia tampak menawan dalam balutan kebaya coklat susu berpayet halus, dipadukan dengan rok songket berwarna senada dengan batik Maalik. Padanan warna itu bukan pilihannya sendiri, tentu saja. Semua adalah hasil kerja keras Ratih dan Camilla. Olivia tak peduli soal penampilan, dan ia bahkan tak ingin tahu soal detail pakaian itu.

Tapi malam ini, penampilannya begitu memesona. Rambut panjangnya ditata separuh sanggul, dengan hiasan bunga kecil yang menjuntai anggun di sisi telinga.

Olivia berjalan turun dengan malas, seolah tangga itu terlalu panjang untuk dilalui. Ia bisa merasakan tatapan semua orang—sorot penuh penilaian, kekaguman, dan rasa ingin tahu. Ia mengangkat wajah, dan pandangannya bersirobok dengan lelaki di ujung sana.

Maalik.

Lelaki itu berdiri tegak. Sorot matanya tenang, tapi terlihat jelas binar keterpesonaan yang tak bisa ia sembunyikan. Batik hitam itu membuatnya tampak begitu dewasa, begitu berwibawa. Tampan, dalam definisi yang baru saja Olivia sadari. Lelaki itu bukan hanya kepala desa kolot seperti yang dulu ia pikirkan. Ada sesuatu dalam dirinya malam ini yang membuat Olivia terdiam.

Sialan. Olivia memalingkan wajah dan menggeleng pelan. Bisa-bisanya dia sempat terpesona oleh lelaki itu. Kepala desa, pula. Yang dia benci setengah mati sejak awal.

Matanya kemudian menjelajah ke arah keluarga besar Maalik yang duduk di sisi kiri ruangan. Mereka semua berpakaian sopan, rapi, penuh kehormatan. Para perempuan mengenakan hijab dalam berbagai warna pastel yang anggun. Kesan Islami begitu terasa kuat dalam keluarga itu. Olivia tiba-tiba menelan ludah.

Benarkah ia akan masuk ke keluarga seperti ini? Akan ada pertemuan-pertemuan keluarga, acara-acara keagamaan, kumpul Lebaran, dan ia akan duduk di antara para perempuan berhijab rapi, sementara rambut badai-nya yang mahal dan selalu jadi pusat pujian—tertutup kain?

"Oh hell no," desisnya dalam hati. Rambutnya adalah mahkotanya. Identitasnya. Bagaimana bisa ia rela menyembunyikannya di balik jilbab?

Sesampainya di bawah, Olivia langsung disambut dua sahabatnya yang sudah berdiri menunggu dengan mata berbinar penuh antusias. Grace tampil dengan dress pastel selutut yang anggun namun tetap mencolok dengan gaya bicaranya yang blak-blakan. Febi, yang lebih lembut, mengenakan gaun sifon biru muda yang jatuh anggun mengikuti langkahnya.

Mereka berdua langsung menghampiri Olivia, nyaris memeluknya jika saja suasana tidak seformal ini.

“Gila, Liv... Calon laki lo tuh... macho banget. Dan hot! Duh, ini sih si Samuel nggak ada apa-apanya,” katanya seraya menggandeng tangan kanan Olivia.

Febi mengangguk setuju sambil menggamit lengan kiri Olivia. “Bener. Ini lebih... mateng. Lebih dewasa. Nggak kayak bocah-bocah yang suka ghosting.”

Olivia hanya memutar bola matanya malas sambil mendengus. "Diem deh lo berdua," gumamnya, berusaha tak terpancing meski pipinya terasa menghangat.

Grace terkikik geli. "Yah, bukan salah kita dong kalau calon kepala desa lo itu kelihatan kayak keluar dari drama Korea versi desa."

"Versi kampung tapi seleranya internasional," timpal Febi sambil tertawa pelan.

Olivia hanya menghela napas dan melangkah, membiarkan dua sahabatnya tetap mengapitnya di kanan dan kiri. Gaun kebaya cokelat muda yang ia kenakan berkilau pelan di bawah lampu-lampu gantung ruang tamu yang hangat. Langkah kakinya pelan tapi mantap, seperti menyusuri lintasan yang sudah digariskan takdir.

Di sisi lain ruangan, Maalik berdiri tegak dengan wajah yang lebih tegang dari biasanya. Meski tubuhnya terbalut batik hitam dengan motif khas Kalimantan, napasnya sedikit tertahan saat melihat Olivia berjalan menuju ke arahnya.

Mata mereka saling bertaut. Hanya sepersekian detik, tapi cukup untuk membuat jantung keduanya bekerja lebih keras.

MC acara, seorang pria paruh baya dengan suara lembut dan ramah, berdiri dan mengangkat mikrofonnya.

"Hadirin yang kami hormati, malam ini kita berkumpul untuk menyaksikan prosesi lamaran dari keluarga Bapak Maalik kepada saudari kita tercinta, Olivia Yvaine Hadikusuma. Semoga niat baik yang dibawa malam ini menjadi awal dari perjalanan panjang yang penuh berkah."

Para tamu yang hadir tampak mulai memusatkan perhatian. Keluarga Maalik duduk dengan rapi di sisi kiri, membawa seserahan yang sudah tertata indah. Di sisi kanan, keluarga Olivia, termasuk mami dan eyang putrinya, duduk dengan anggun mengenakan kebaya biru keabu-abuan.

MC kembali melanjutkan. "Kini, kami persilakan perwakilan keluarga dari pihak pria untuk menyampaikan maksud dan tujuan kedatangan malam ini."

Seorang pria tua, paman Maalik, bangkit dari kursinya. Ia berbicara dengan bahasa yang tertata rapi, suaranya tenang namun mantap.

"Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Kami datang dengan membawa niat baik, membawa putra kami, Maalik, untuk melamar anak ibu dan bapak, yaitu saudari Olivia Yvaine Hadikusuma. Dengan membawa seserahan sebagai simbol niat kami, besar harapan kami untuk mengikat silaturahmi yang lebih kuat melalui ikatan pernikahan. Semoga niat baik kami diterima."

Semua mata kini tertuju pada pihak keluarga Olivia. Papi Olivia bangkit dengan senyum tenang, meski di matanya terlihat semburat haru.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Kami menerima niat baik ini dengan hati yang terbuka. Semoga niat yang mulia ini menjadi awal dari cinta yang dirahmati Allah. Semoga keduanya saling melengkapi dalam suka maupun duka."

Tepuk tangan pelan terdengar. Suasana benar-benar khidmat. Tak ada yang berbicara selain doa yang bergema dalam hati masing-masing.

MC lalu mempersilakan kedua calon pengantin untuk berdiri. Maalik berjalan mendekat, berdiri di depan Olivia. Senyumnya tipis, tapi matanya penuh makna.

Seorang perwakilan keluarga menyodorkan kotak beludru berisi dua cincin sederhana. Tidak mewah, tapi terlihat dibuat dengan penuh ketulusan. Cincin itu terbuat dari emas putih, dengan ukiran kecil di dalamnya, nama mereka berdua terpatri dalam huruf kecil.

"Maalik, silakan menyematkan cincin ke jari manis Olivia," ucap MC lembut.

Tangan Maalik sedikit bergetar saat mengambil cincin. Ia menatap wajah Olivia sejenak. Gadis itu menunduk, tak berani membalas tatapan. Tapi ketika jari mereka bersentuhan, keduanya seperti tersengat pelan oleh getaran yang asing, namun tak terasa menakutkan.

Cincin itu kini melingkar sempurna di jari Olivia.

MC melanjutkan, "Olivia, giliranmu."

Olivia mengambil cincin kedua dan menyematkannya di jari Maalik. Untuk sesaat, waktu seperti melambat. Entah karena detik itu begitu penuh makna, atau karena napas Olivia tertahan.

Setelah cincin terpasang, tepuk tangan kembali terdengar. Sahabat-sahabat Olivia terlihat menahan senyum geli, sementara keluarga Maalik mengangguk penuh rasa syukur.

Tangan Maalik masih memegang jari Olivia. Tak begitu erat, tapi cukup untuk menyampaikan bahwa mulai malam ini, mereka bukan hanya dua orang asing lagi.

"Terima kasih atas penerimaan keluarga besar dari Olivia. Semoga dua minggu ke depan menjadi masa persiapan yang membawa kebaikan dan kebahagiaan bagi kedua calon mempelai," ucap MC menutup acara dengan hangat.

Namun, bagi Olivia, justru malam ini adalah awal dari tanya yang tak kunjung selesai. Tentang bagaimana dirinya akan menyatu dengan dunia yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya.

Dan Maalik? Lelaki itu hanya diam menatap Olivia, dalam, seolah matanya menyimpan ribuan kata yang belum ia temukan keberanian untuk diucapkan.

1
Titik Sofiah
awal yg menarik ya Thor /Good/
komurolaa: terimakasih kak💗
total 1 replies
Gái đảm
Endingnya puas. 🎉
Hoa xương rồng
Teruslah menulis dan mempersembahkan cerita yang menakjubkan ini, thor!
komurolaa: terimalasih kak
total 1 replies
Dani M04 <3
Menggugah emosiku.
komurolaa: terimakasih sudah mampir kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!