Aruna terjebak ONS dengan seorang CEO bernama Julian. mereka tidak saling mengenal, tapi memiliki rasa nyaman yang tidak bisa di jelaskan. setelah lima tahun mereka secara tidak sengaja dipertemukan kembali oleh takdir. ternyata wanita itu sudah memiliki anak. Namun pria itu justru penasaran dan mengira anak tersebut adalah anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fatzra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6
"Siapa pria yang mengantarmu?" tanya Charles penasaran.
Aruna mengembuskan napas. "Dia orang tidak penting, jangan cemas." Ia tersenyum, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Charles salah satu kerabat dekatnya yang tinggal di kota itu. Ia sering berkunjung untuk menjaga keponakannya. Pria itu sangat menyayangi Raven. Terkadang Aruna kesal ia terlalu memanjakan anak laki-laki itu.
"Mama, paman tampan itu baik, ya mengantar mama pulang ke rumah," ucap Raven seraya menatap ibunya.
Aruna tersenyum, ia tidak tahu saja paman tampan itu sudah menculik ibunya. "Menurutmu begitu?" tanyanya, lalu mencolek pipi putranya itu.
Anak itu hanya menganggukkan kepalanya. Sementara Aruna tersenyum, lalu mengusap lembut kepala Raven. "ayo tidur."
Raven tersenyum lalu mencium pipi Aruna. "selamat malam, Mama."
"selamat malam, anak Mama." Aruna mengecup kepala Raven.
Di ruang kerjanya Julian termangu, ia terus membayangkan wajah Raven yang sangat mirip dengannya. Apakah bisa kebetulan seperti ini? Ia jadi curiga, jika malam itu terjadi sesuatu. Walaupun Aruna tidak mau mengakuinya.
"Aku harus mencari tahu lebih lanjut, kalau memang dia anakku, aku tidak akan membiarkan mereka hidup dalam kesusahan," gumamnya, seraya menatap kosong jauh ke depan.
Bagai mana caranya menyelidiki Aruna lebih lanjut? Apakah kali ini ia akan menghindari Julian seperti setelah kejadian lima tahun yang lalu? Pria itu memijat keningnya merasa pusing.
"Aruna, kau selalu membuatku penasaran." Julian melangkahkan kakinya ke depan jendela, ia memandangi pemandangan malam di kota terpencil itu.
Cahaya bulan dapat terlihat jelas di langit malam yang cerah. Julian memandanginya cukup lama. Sebelum akhirnya dering ponsel membuyar lamunannya. Siapa malam-malam begini menghubunginya.
"Nak, Papa sakit. Kau bisa pulang dulu?" isi pesan singkat yang muncul di layar ponselnya.
"Apa! Papa skit, pasti penyakitnya kumat lagi," gumam Julian cemas. Ia duduk di kursi, lalu mengusap wajahnya kasar. Ia bingung di antara dua pilihan. Pulang atau tinggal di kota itu.
Belakangan ini Hans sering kali mengeluh sakit kepala, bahkan sempat pingsan saat melakukan kunjungan kerja di lapangan. Semenjak saat itu ia tidak sebugar biasanya.
Akhirnya Julian memutuskan untuk tinggal di kota itu sementara. Kalau urusannya sudah selesai baru akan pulang. Ia berharap ayahnya segera sembuh.
Baru teringat, besok pagi Julian pergi ke kantor yang kemarin. Apakah wanita itu akan mengantarkan makanan ke sana lagi atau tidak. Kalau masih berarti ia masih punya kesempatan bertemu Aruna.
Julian mengangkat satu alisnya. "Kalau besok dia datang mengantar makanan, aku akan mengulangi pertanyaanku kemarin." Ia tersenyum sumbang memandang ke luar jendela.
"Kalau di pikir dari kejadian malam itu, bisa jadi anak lelaki itu memang anakku. Kecuali dia tidur dengan orang lain," ucap Julian seraya menatap tajam ke depan.
"Kalau anak laki-laki itu, hasil pernikahan Aruna dan pria yang ada di rumahnya, kenapa wajah mereka sangat jauh berbeda. Bahkan dilihat dari arah mana pun tetap tidak mirip, kalau Dia sampai menipuku tentang hal ini, lihat saja apa yang bisa aku lakukan kepadanya!" desisnya di akhir kalimat. Tanpa sadar tangannya mengepal.
Ponsel Julian kembali berdering. Namun, kali ini dari Celine. Wanita itu marah-marah karena di abaikan. Ia memeriksa panggilan, ternyata banyak sekali panggilan tak terjawab darinya.
"Astaga, aku sampai melupakan Celine." Julian mengembuskan napas, lalu menekan nomor Celine, untuk menelponnya. Namun, tidak terjawab. wanita itu pasti benar-benar marah kali ini.
Julian melemparkan ponselnya ke nakas, lalu merebahkan diri ke kasur. Ia menutup kepalanya dengan bantal. kepalanya terasa sangat pusing, memikirkan hal random hari ini.
Tiba-tiba saja Julian merasakan sesuatu menyentuhnya. Telapak tangan yang lembut, meraba dadanya. Napasnya tersengal, ia menelan salivanya kasar, lalu membuka mata.
Kontan matanya terbuka lebar. "Aruna," ucapnya terkejut.
Wanita itu tersenyum, lalu naik ke atas ranjang. Ia kembali meluncurkan tangannya membelai wajah dan dada pria itu, membuatnya tidak bisa menahan diri.
Tubuh Aruna di tarik ke dalam pelukannya, lalu melumat bibirnya. Napasnya semakin memburu, tangannya tidak nganggur begitu saja menjelajahi setiap inci tubuh wanita itu.
Kali ini suasana semakin memanas. Aruna terus mengimbangi pergerakan pria itu. Namun, saat ingin melakukan lebih jauh mereka di kagetkan dengan suara pintu yang terbuka keras dari luar.
"Julian!" teriak seseorang.
Pria itu membuka matanya lebar-lebar. Napasnya masih belum stabil, rupanya kejadian itu hanyalah mimpi. Astaga, Julian masih tidak percaya dengan apa yang baru saja di alami.
Satu gelas air putih di atas nakas di teguknya tanpa sisa. Matanya merah, menyeringai ke arah depan. Ia meremas gelas itu, lalu melemparkan benda itu ke arah tembok. Seketika buyar menjadi butiran tak berbentuk dan sangat tajam.
"Sial!" desisnya seraya memukulkan kepalan tangannya ke atas nakas.
Tidak tahu bagaimana ceritanya ia bisa bermimpi seperti itu. Jangan-jangan itu separuh ingatannya lima tahun yang lalu. Julian melangkah ke kamar mandi lalu membasuh wajahnya.
"Aruna, kenapa kau mengusikku di dalam mimpi, apa masih kurang puas selama ini membuatku penasaran?" ia memandangi dirinya ke dalam cermin.
Ia keluar dari kamar mandi, lalu duduk di tepi ranjang. Ia tidak ingin tertidur, takut akan bermimpi buruk lagi. Bagai mana pun mimpinya tadi lebih menakutkan dari menonton film horor.
Jam di dinding menunjukkan pukul tiga dini hari. Pria itu masih terjaga dengan mata terkantuk-kantuk. Akhirnya tanpa di sadari ia ambruk ke kasur dan tertidur pulas.
Mata hari pagi telah bersinar sangat terang menerpa wajah pria itu. Ia terbangun merasa terbakar di pipinya. Perlahan ia membuka matanya, lalu pandangannya menyipit. "Astaga, ini sudah siang." ia segera bangkit, lalu membersihkan diri.
setelah selesai membersihkan diri, ia mengenakan pakaian dan langsung berangkat ke kantor yang kemarin. Sialnya hari ini jalanan cukup macet. Padahal waktunya sudah mepet.
"Astaga, macet sekali di sini, di mana jalan alternatif?" ia bertanya-tanya.
Sesampainya di pertigaan kota ia melihat beberapa kendaraan melalui jalur kecil, mungkin itu jalan alternatif, ia mengikuti beberapa kendaraan di depannya. Ya, lumayan lengang hanya beberapa kendaraan yang melewati jalan itu. Walau, pun jalannya tidak semulus jalan utama. Yang penting ia tidak terlambat meeting hari ini.
Baginya meeting kali ini sangat penting mengingat ia baru mendapat partner untuk berkolaborasi dengan perusahaannya. Demi kelancaran bisnisnya apa pun akan di lakukan sekalipun menerjang badai yang hebat.
Pria itu melirik jam di lengan tangannya. waktu semakin mepet ia sepertinya tidak akan sampai tepat waktu, walaupun ia sudah berusaha keras. Namun, waktu berjalan begitu cepat.
Julian berusaha mempercepat laju mobilnya agar cepat sampai.Namun, tiba-tiba sebuah motor dengan box di belakangnya tiba-tiba saja muncul di depan mobilnya. Tabrakan pun tak terhindarkan.
Terima kasih.