"HABIS MANIS SEPAH DI BUANG" itu lah kata yang cocok untuk Rama yang kini menjadi menantu di pandang sebelah mata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zhar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 Mantu Rahasia
“Biarin aja dia datang.”
Suara berat dari ponsel Gunawan terdengar… lalu langsung terputus.
“Bapakmu udah setuju. Sekarang berdiri, dan tunjukkan jalannya,”
kata Rama dengan nada santai.
Gunawan berdiri pelan, tubuhnya masih lemas, hampir aja jatuh lagi.
Rama melirik sambil menyeringai, “Luka ringan aja sampai mau pingsan begitu? Jangan-jangan ginjal kamu ada masalah serius, ya?”
“Kamu… jangan ngawur ngomongnya!”
Wajah Gunawan langsung merah padam.
“Ngawur atau nggak, kamu sendiri yang paling tahu kondisi badan kamu. Nggak usah manja deh, belajar kontrol diri. Ayo jalan.”
Gunawan nggak bisa jawab apa-apa. Dalam hatinya dia bingung dan syok. Dia sama sekali nggak ngerti, gimana Rama bisa tahu soal ginjalnya.
---
Dua puluh menit kemudian, Gunawan memandu Rama sampai ke rumah besar Keluarga Hartono di tengah Kota Dakarta.
Rumahnya gede banget, desainnya mewah bergaya klasik dengan gerbang tinggi dan pos satpam megah di depan.
“Tuan!”
Beberapa satpam langsung menyambut saat Gunawan datang.
“Tangkap dia!”
teriak Gunawan sambil menunjuk ke arah Rama.
Lima satpam itu sempat bingung, tapi tetap bergerak cepat menyerbu Rama.
Kalau Rama masih sama seperti dulu, dia mungkin udah jatuh di tempat. Tapi sekarang beda. Sejak dia membangkitkan Garis Keturunan Pendekar, tubuh dan nalurinya berubah total.
Gerakan kelima satpam itu terasa lambat banget di matanya.
Syut! Dugg!
Satu pukulan Rama mendarat di perut satpam yang paling depan, langsung membuat dia dan dua orang di belakangnya terpental beberapa meter.
Dua sisanya juga masih coba nyerang, tapi sekali sapuan kaki dari Rama, keduanya ikut terlempar sampai belasan meter.
Dalam beberapa detik, kelima satpam itu tumbang total.
Rama sendiri sempat bengong sebentar.
“Aku... sekuat ini sekarang?”
Gunawan berdiri terpaku, tubuhnya gemetar hebat. Dia nggak ngerti sama sekali apa yang baru saja terjadi.
Rama tetap tenang. Nggak ada niat buat nyerang Gunawan. Buat apa? Anak itu udah kalah mental duluan.
Akhirnya Gunawan jalan pelan-pelan, memandu Rama masuk ke ruang tamu.
---
Di ruang tamu, dua pria sudah duduk di atas sofa. Yang satu kelihatan umur lima puluhan, satunya lagi kakek-kakek.
“Ayah, ini Rama... menantu dari Keluarga Ningrum. Satpam di gerbang... semuanya dilumpuhin dia,” suara Gunawan bergetar saat bicara.
“Oh begitu?”
Pria yang lebih muda Pak Agus menatap Rama tajam, dan makin tajam saat memperhatikan wajahnya lebih dekat.
Kakek di sampingnya juga ikut menatap Rama dengan penuh selidik.
Tapi Rama tetap tenang. Tatapan seperti itu nggak ada pengaruhnya buat dia.
Tiba-tiba Pak Agus berdiri, menunjuk ke Rama sambil membentak,
“Kamu berani-beraninya mukul anakku dan ngelukai semua satpamku?! Masalah ini nggak akan selesai begitu aja!”
Rama menjawab datar, “Putra Bapak sudah bersikap nggak sopan pada istriku. Aku datang ke sini untuk menyelesaikan masalah itu. Menurut Bapak, apa semua pemborong harus menyediakan perempuan untuk anak Bapak tidur dengannya agar bisa dapat proyek?”
Pak Agus menyipitkan mata. “Kamu masih muda. Kamu belum paham dunia bisnis. Proyek ini nilainya ratusan miliar. Nggak ada yang gratis.”
“Kalau gitu, suruh istri Bapak berlutut dan jilatin sepatuku. Mungkin nyawa Bapak bisa aku selamatkan.”
Pak Agus tertawa geram. “Hah? Baru kali ini aku ketemu anak muda searogan kamu. Karena kamu belum ngerasain kematian, kamu masih bisa sok jagoan ya…”
“Bapak punya penyakit jantung. Tekanan darah juga tinggi. Ingatan mulai menurun. Kalau nggak hati-hati, Alzheimer bisa datang lebih cepat. Tapi kemungkinan besar, serangan jantung akan datang duluan,” ucap Rama tenang, memotong ucapan Pak Agus.
Pak Agus kaget. Matanya melebar.
“Dia tahu dari mana? Apa dia sudah menyelidikiku?”
“Penyakitku itu banyak yang tahu. Kamu jangan sok-sokan. Kalau aku nggak mau main-main dulu, kamu udah aku usir dari tadi,” kata Pak Agus.
“Kalau aku bisa tahu penyakitmu, berarti aku juga bisa ngobatin,” jawab Rama.
Pak Agus mencibir, “Kamu lihat aku sebentar terus langsung tahu penyakitku? Bahkan dokter aja perlu periksa nadi, tanya ini-itu.”
“Kalau begitu, aku omongin kondisi orang tua di sampingmu.”
Kakek di sebelah Pak Agus, Pak Adi langsung menyilangkan tangan dan menatap Rama tajam.
Tatapan mereka saling beradu.
“Tubuh Bapak memang kelihatan sehat. Tapi salah satu meridian Bapak rusak karena benturan energi dalam. Itu yang bikin latihan bela diri Bapak berhenti di tempat.”
Pak Adi mendadak melotot. “Kamu… bisa lihat itu?”
“Aku bisa,” jawab Rama.
Pak Adi mengangguk pelan. Wajahnya berubah serius.
Pak Agus yang melihat itu langsung sadar, dan sikapnya pun berubah.
Rama menatap mereka. “Sekarang, aku punya hak buat bicara, kan?”
“Tentu, tentu!” kata Pak Agus cepat.
Pak Adi pun membungkuk, “Tabib Sakti, saya Adi Hartono, menghormati Anda sepenuhnya.”
Pak Agus ikut-ikutan, “Saya mohon maaf atas sikap saya sebelumnya…”
Dalam hati, dia masih heran.
“Kenapa orang sehebat ini malah jadi menantu keluarga Ningrum?”
Rama lanjut, “Aku ke sini karena dua hal. Pertama, tolong didik anakmu. Kedua, aku ingin bicara soal kerja sama bisnis.”
“Baik!” Pak Agus langsung setuju. “Gunawan serahkan ke aku!”
“Bukan sekarang. Kita bahas bisnis dulu. Aku bisa ngobati penyakitmu, tapi syaratnya: proyek HAR Mall di Dakarta harus diserahkan ke istriku, Ayu Ningrum.”
Pak Agus ragu sesaat.
“Setuju saja,” ucap Pak Adi tegas. “Kalau Tabib Sakti bersedia mengobatimu, harga itu sangat murah.”
“Baiklah…” Pak Agus mengangguk. “Proyek HAR Mall akan kami serahkan ke Keluarga Ningrum.”
“Bagus. Tapi denger satu hal. Aku nggak mau mempermalukan diriku sendiri. Besok, istriku akan datang buat tandatangan kontrak. Kamu cukup tanda tangan. Jangan banyak bicara. Paham?”
“Paham! Paham banget!” Pak Agus mengangguk cepat.
“Sepertinya keluarga Ningrum sendiri belum tahu siapa menantu mereka sebenarnya…” gumamnya.
“Bisa dibilang begitu,” jawab Rama datar. “Karena kita sudah sepakat, sekarang waktunya aku obati kamu.”
Rama pun melangkah mendekat.