NovelToon NovelToon
CEO DINGIN

CEO DINGIN

Status: sedang berlangsung
Genre:CEO / Kaya Raya / Keluarga / Romansa / Dendam Kesumat / Pembantu
Popularitas:2.6k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Arlena, gadis muda yang dipaksa menikah oleh keluarganya.
Arlena menolak dan keluarganya langsung mengusir Arlena
Arlena akhirnya memutuskan untuk meninggalkan rumah demi mencari arti kebebasan dan harga dirinya.
Dikhianati dan dibenci oleh orang tuanya serta dua kakak laki-lakinya, Arlena tak punya siapa pun... sampai takdir membawanya ke pelukan Aldric Hartanto — seorang CEO muda, sukses, dan dikenal berhati dingin.

Ketika Aldric menawarkan pekerjaan sebagai pelayan pribadinya, Arlena mengira hidupnya akan semakin sulit. Tapi siapa sangka, di balik sikap dingin dan ketegasannya, Aldric perlahan menunjukkan sisi yang berbeda — sisi yang membuat hati Arlena berdebar, dan juga... takut jatuh cinta.

Namun cinta tak pernah mudah. Rahasia masa lalu, luka yang belum sembuh, dan status yang berbeda menjadi tembok besar yang menghalangi mereka. Mampukah cinta menghangatkan hati yang membeku?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 6

Keesokan paginya, Arlena sudah bangun lebih awal dari biasanya.

Meskipun luka di pipinya belum sepenuhnya hilang, ia tetap menata rambutnya rapi dan menggulung lengan seragam pelayan dengan tekad baru.

Saat ia masuk ke dapur, suasana langsung terasa dingin.

Anna dan Dion sudah berdiri di sana, menatapnya dengan senyum sinis.

“Hm, sepertinya… ada yang akan keluar dari rumah ini hari ini,” sindir Anna sambil menyilangkan tangan.

Dion tertawa kecil. “Dan jelas itu bukan kita.”

Anna mendekat sambil menatap Arlena dari atas sampai bawah.

“Lihat dirimu. Kumuh, murahan, dan menyedihkan. Kita berdua tidak selevel dengan wanita seperti kamu. Entah apa yang dipikirkan Tuan Aldric menampungmu di rumah ini.”

Arlena menunduk sejenak, menahan napas. Tapi kali ini, ia tidak membalas. Ia melangkah melewati mereka, menuju dapur, dan mulai memotong bahan sarapan dengan tenang.

Ia memilih diam. Karena hatinya tahu… orang seperti mereka hanya menang jika ia terpancing.

Tak lama kemudian, suara langkah berat terdengar dari arah tangga.

Aldric muncul dengan pakaian kerja yang rapi, jas hitamnya membuatnya tampak semakin berwibawa. Ia berjalan ke arah dapur tanpa memedulikan Anna dan Dion.

“Arlena,” panggilnya.

Arlena segera menghampiri. “Ya, Tuan?”

“Aku ingin kamu pergi ke pasar sebentar. Belikan buah segar dan beberapa bahan yang sudah aku catat semuanya disini.”

“Baik, Tuan,” jawab Arlena cepat, lalu mengambil tas kecil dan segera melangkah keluar rumah.

Begitu pintu tertutup di belakang Arlena, Aldric membalikkan badan.

Tatapannya dingin. Tatapan khas pria yang sedang murka.

“Anna. Dion.”

Keduanya langsung menegakkan tubuh.

“Ya, Tuan?” ujar Dion, mulai gugup.

Aldric mengambil selembar kertas dari saku jasnya. Ia meletakkannya di atas meja dengan suara 'tak!' yang membuat suasana terasa menegang.

“Mulai hari ini, kalian berdua resmi dipecat.”

Mata Anna membelalak. “A… apa?”

“Kalian melanggar aturan rumah. Menyiksa tamu pribadiku. Mengancam pelayan yang kuberi kepercayaan. Dan kalian berani berbohong padaku.”

“Tapi, Tuan—”

“Satu kata lagi,” potong Aldric, suaranya sedingin es, dan aku pastikan nama kalian masuk daftar hitam di seluruh jaringan bisnis yang bekerja sama denganku.”

Anna dan Dion saling pandang, panik mulai menjalari wajah mereka.

Aldric menunjuk pintu.

“Keluar. Sekarang.”

Dengan tubuh gemetar dan wajah penuh malu, keduanya akhirnya meninggalkan rumah, diiringi tatapan tak bersahabat dari para staf keamanan yang sudah bersiap mengantar mereka pergi.

Aldric berdiri di ambang pintu rumah, menatap mobil yang membawa dua pengkhianat itu menjauh. Lalu ia menatap langit pagi yang mulai cerah.

“Hari ini… aku pastikan dia tak akan disakiti lagi,” gumamnya pelan.

Beberapa jam kemudian, Arlena kembali dari pasar. Di tangannya ada dua kantong berisi buah-buahan segar dan beberapa bahan makanan yang diminta Aldric.

Ia masuk ke dapur, meletakkan kantong belanjaan di atas meja, lalu mengedarkan pandangannya. Suasana rumah terasa… berbeda.

Sunyi. Tenang.

Ia melangkah ke dalam dapur, namun tidak melihat sosok Anna dan Dion yang biasanya berdiri sambil melontarkan komentar pedas sejak pagi.

Alis Arlena berkerut. “Kemana mereka?” gumamnya pelan.

Saat itu, suara langkah terdengar dari belakang. Aldric sudah siap berangkat, mengenakan jas gelap yang pas di tubuh tinggi tegapnya. Ia tampak tenang, rapi, dan seperti biasa—dingin.

“Mereka sedang pulang kampung,” jawab Aldric singkat, seolah membaca pikirannya.

Arlena menatapnya sejenak. “Pulang kampung?” ulangnya, agak heran.

Aldric mengangguk ringan. “Ada urusan keluarga. Mungkin lama. Jadi untuk sementara, hanya kamu yang mengurus dapur.”

Arlena tampak berpikir sejenak, tapi kemudian menganggukkan kepala kecil.

“Baik, Tuan.”

Ia tidak ingin bertanya lebih jauh. Lagipula, dengan tidak adanya mereka, ia merasa lebih lega. Tak ada tatapan tajam, tak ada ancaman, dan tak ada lagi rasa takut yang menggantung setiap pagi.

Aldric menatapnya sesaat sebelum berbalik, tapi ada senyum tipis nyaris tak terlihat di wajah dinginnya.

Arlena pun mulai mencuci buah, lalu menyiapkan sarapan. Tangannya sibuk, tapi hatinya terasa jauh lebih tenang dari kemarin.

Mungkin... hidupnya mulai berubah, sedikit demi sedikit.

Dan itu semua, berkat satu pria yang tak ia mengerti… tapi mulai membuatnya percaya, bahwa tidak semua orang di dunia ini ingin menyakitinya.

Usai sarapan dan beberapa berkas pagi diselesaikan, Aldric duduk di ruang kerjanya.

Ia membuka ponsel dan mengirimkan pesan cepat kepada asistennya.

[Kirim dua staf ke rumah. Tugas mereka hanya menyapu, mengepel, dan menjaga kebersihan rumah. Mulai hari ini, Arlena tidak boleh mengurus hal itu.]

Pesan dikirim.

Ia meletakkan ponsel, lalu menatap keluar jendela. Pikirannya masih dipenuhi bayang wajah Arlena semalam ketakutan, luka, dan tetap merasa bersalah padahal bukan kesalahannya.

Aldric bukan pria yang mudah peduli. Tapi sejak Arlena datang ke rumah ini, ada sisi dalam dirinya yang tak bisa membiarkannya disakiti.

Tak lama, suara langkah Arlena terdengar dari lorong.

Ia mengetuk pintu ruang kerja.

“Tuan, saya sudah bereskan dapur. Kalau tidak keberatan, saya akan menyapu ruang tengah juga.”

Aldric menoleh. “Tidak.”

Arlena terkejut. “Maaf?”

Ia berdiri, lalu menghampirinya. “Mulai hari ini, kau tidak akan mengurus pekerjaan rumah seperti menyapu, mengepel, atau mencuci piring.”

“Tapi—”

“Aku sudah mengatur staf baru untuk datang ke rumah dan mengurus semuanya.”

“Tapi Tuan, saya tidak keberatan melakukannya…”

“Dan aku keberatan,” potong Aldric tegas. “Tugasku bukan membiarkanmu kelelahan, tapi memastikan kau hanya mengerjakan apa yang memang aku tugaskan. Fokus utamamu adalah melayaniku, bukan membereskan semua pekerjaan rumah.”

Arlena menunduk. Ada perasaan aneh di dadanya. Ia belum pernah diperlakukan seperti ini. Dilindungi. Dijaga.

"Baik, Tuan,” ucapnya pelan, tak bisa menolak perhatian itu meski terasa asing.

Aldric kembali ke mejanya dan melanjutkan membaca laporan bisnis.

Sementara Arlena berdiri sejenak di depan pintu, tersenyum kecil.

Untuk pertama kalinya… seseorang mengatur orang lain hanya untuk melindungi dirinya.

Aldric menutup laptopnya dan berdiri dari kursi kulit hitamnya.

Tatapannya tajam mengarah pada Arlena yang sedang membereskan beberapa berkas yang tadi ia bawa ke ruang kerja.

“Ikut aku ke ruang kerjaku. Sekarang juga,” ucapnya tanpa basa-basi.

Arlena, sedikit terkejut, segera mengangguk dan mengikuti langkah cepat pria itu.

Begitu mereka tiba di ruang kerja pribadi Aldric, suasana langsung berubah hening. Pria itu berdiri di depan rak buku besar, lalu berbalik menghadapnya.

“Apakah kamu pernah sekolah?” tanyanya langsung.

Arlena menunduk pelan. “Saya… hanya lulusan SMA, Tuan.”

Aldric tak menjawab langsung. Ia hanya menatapnya sejenak, lalu mengambil ponsel dari meja dan mulai mengirim pesan.

“Aku akan memanggil dosen pribadi. Mulai minggu depan, kamu akan kuliah di rumah.”

Jantung Arlena seakan berhenti berdetak.

“K-kuliah?” ulangnya pelan.

Ia menggeleng cepat, panik. “Tuan… tidak perlu. Saya… saya wanita bodoh. Mereka selalu bilang saya bodoh. Tidak berguna.”

Matanya mulai berkaca-kaca.

“Ayah, ibu… kakak-kakak saya, semuanya selalu bilang begitu. Saya ini… hanya beban.”

Aldric melangkah mendekat, berdiri tepat di hadapannya.

“Kau bukan wanita bodoh,” katanya tenang namun tegas.

“Kau hanya tidak pernah diberi kesempatan untuk berkembang. Dan mulai sekarang, aku akan memberikannya padamu.”

Arlena menggigit bibirnya, menahan air mata yang mulai menetes. Suara Aldric, walau dingin, terdengar begitu tulus dan pasti.

“Aku ingin kamu jadi wanita kuat. Pintar. Bukan untukku—tapi untuk dirimu sendiri.”

Kata-kata itu menyentuh bagian terdalam dalam hati Arlena.

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya… seseorang percaya bahwa ia bisa menjadi lebih.

1
Kadek Bella
lanjut thoor
my name is pho: siap kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!