Nael, seorang notaris kondang, tenggelam dalam kesedihan mendalam setelah kepergian istrinya, Felicia. Bermodalkan pesan terakhir yang berisi harapan Felicia untuknya, Nael berusaha bangkit dan menjadi pribadi yang lebih baik. Meski kehidupannya terasa berat, ia tidak pernah menyerah untuk membenahi diri seperti yang diinginkan oleh mendiang istrinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon indrakoi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
CHAPTER 5: Surprise!
“Pada hari rabu minggu lalu, artis papan atas, Gani Hari, terlihat sedang makan bakso di pinggir jalan! Sorotan video ini berasal dari akun media sosial dengan username-” *Beep*
Hadeh… Kenapa makin ke sini, kualitas berita di pagi hari malah semakin menurun. Maksudku, siapa juga yang peduli kalau ada artis papan atas lagi makan bakso di pinggir jalan? Bikin kesel aja! Emang harus ada revolusi industri hiburan di negeri ini.
Ya sudah, lah. Lagipula, daripada nonton TV, lebih baik kalau aku menyiapkan berkas milik Raditya Hermawan karena dia akan datang untuk mengambilnya hari ini. Tch, anak durhaka itu hampir aja bikin aku terlibat secara nggak langsung dalam kasus tindak pidana penggelapan. Lihat aja, kau bakalan menyesal saat bertemu denganku nanti!
Aku kemudian beranjak dari sofa, lalu turun ke lantai dasar yang merupakan kantor notarisku. Tepat di samping ruang kerja, ada sebuah ruangan yang terlihat lebih besar daripada ruangan lainnya. Ruangan ini adalah tempat untuk menyimpan salinan dari dokumen-dokumen yang pernah aku buat, salah satunya adalah surat keterangan hak waris milik Raditya Hermawan.
Setelah mengambil dokumen itu di rak arsip paling ujung, aku kemudian berjalan menuju ruang kerja untuk menunggu kedatangan Raditya. Seharusnya, dia akan sampai di sini sebentar lagi mengingat message WhatsApp terakhirnya dikirim satu setengah jam yang lalu. Ding-dong! Nah, panjang umur kau, anak setan! Suara bel itu pasti berasal dari Raditya yang sudah sampai di depan gerbang.
Tanpa menunggu lebih lama lagi, aku segera bergegas ke depan gerbang untuk menyambutnya masuk. Jujur, aku udah nggak sabar buat ngasih dia pelajaran.
“Wah, cepat juga anda sampainya!” Sapaku dengan nada ceria yang dibuat-buat, sambil membuka pagar kantor.
“Hahaha, iya, nih. Lalu lintasnya kebetulan belum terlalu ramai.” Balasnya dengan tawa yang terdengar canggung.
“Oh, gitu, toh.” Ucapku sambil mengangguk pelan. “Masuklah! Ada yang perlu kita diskusikan dulu sebelum serah terima surat keterangan hak warisnya.”
...***...
Saat sudah berada di ruang kerja, aku memberikan dokumen surat keterangan hak waris itu kepada Raditya. Dia memegang dokumen itu dengan sangat hati-hati, seakan tidak ingin membuatnya lecek sedikitpun. Matanya terlihat menyapu setiap huruf yang tertulis di dalamnya dengan wajah berseri dan penuh semangat.
Kalau diingat lagi, saat pertemuan pertama kami beberapa hari yang lalu, wajahnya terlihat begitu lesu dan pucat yang berbanding terbalik dengan apa yang aku lihat sekarang. Yah, silahkan nikmati dulu dokumen itu, sebelum aku kasih sebuah kejutan yang benar-benar tak terduga.
“Gimana, anda puas dengan hasilnya?” Tanyaku dengan nada ramah yang dibuat-buat.
“Puas banget!” Ucapnya menatap ke arahku dengan mata yang berbinar. Ini adalah kali pertamanya dia memandangku secara langsung. “Lalu, berapa biaya yang harus kubayar?” Tanyanya dengan nada yang tidak sabaran.
“Tenang aja, aku nggak matok harga yang terlalu mahal, kok. Tapi, sebelum itu, ada sesuatu yang mau aku tunjukin dulu.” Ucapku sambil menarik laci meja kerja untuk mengambil stopmap yang di dalamnya berisi surat wasiat milik Tuan Hermawan.
Setelah membalik cover stopmap itu, aku langsung menyodorkan surat wasiat milik Tuan Hermawan tepat di depan mata Raditya. Betapa terkejutnya dia saat menyadari bahwa aku memiliki sebuah dokumen penting yang dapat menggagalkan segala upayanya untuk menguasai seluruh lahan warisan ayahnya.
Dia pun berdiri dengan tergesa-gesa dan menjatuhkan draft surat keterangan hak waris yang belum disahkan itu. Matanya menatap tajam ke arahku, seolah sedang mencoba menebak kenapa aku memiliki surat wasiat ayahnya. Ekspresi wajah yang sebelumnya bersemangat, seketika berubah menjadi ketakutan.
“K-Kau! Kenapa kau bisa punya itu?!” Tanyanya tersendat-sendat dengan nada yang meninggi.
“Oh, tentu saja aku punya.” Jawabku dengan nada sombong, karena terpuaskan melihat reaksi terkejutnya itu. “Duduklah dulu. Aku ceritakan semuanya.” Lanjutku sambil memberikan isyarat untuk duduk.
“Nggak mau! Ceritakan saja langsung!” Ujarnya membentak.
“Hahaha, oke, deh, kalau gitu.” Balasku dengan tawa jahat, sambil berjalan mendekati Raditya yang masih terlihat ketakutan. Ketika sudah berada di hadapannya, kakiku dengan sengaja menginjak draft surat keterangan hak waris yang kebetulan berada tepat di hadapanku.
“Aku nggak sengaja ketemu sama ibumu waktu lagi ngukur tanah warisan milik Tuan Hermawan.” Jelasku dengan nada rendah yang mengintimidasi. “Kita berdua ngobrol cukup panjang di rumahmu, sampai akhirnya beliau menyerahkan surat wasiat ini.”
Aku bisa melihat Raditya menelan ludahnya, seolah ingin menyembunyikan ketakutan yang sudah memuncak. Mata kami saling menatap tajam seperti seorang petarung, namun bisa dilihat bahwa aku lah yang lebih mendominasi ruangan ini.
“K-Kau… Tindakanmu ini bisa ku tuntut ke pengadilan karena sudah menyalahi kode etik notaris.” Wah, pandai bicara juga keparat ini.
“Oh, silahkan saja. Kau juga bisa ku tuntut balik karena udah ngelakuin tindak pidana penggelapan, manipulasi dokumen, dan juga pelanggaran atas wasiat ayahmu. Asal kau tahu, hukumanmu bakal jauh lebih berat daripada aku, lho~” Balasku dengan nada congkak yang mengancam.
Raditya seketika mematung dengan mata yang berkaca-kaca setelah mendengar pernyataanku itu. Dia sepertinya nggak punya kata-kata lagi untuk melawan ancamanku itu. Yah, anak kemarin sore kayak dia ini nggak bakal bisa menang kalau harus berhadapan dengan aku yang udah jadi praktisi hukum selama bertahun-tahun.
“Maafkan aku!!!” Tiba-tiba, dia berteriak sambil membungkuk di lantai, hingga keningnya menyentuh kakiku. Kelakuannya yang tiba-tiba seperti orang Jepang yang sedang memohon pengampunan ini jelas bikin aku kaget.
“Aku mohon, maafkan aku karena udah mengancam mu tadi! Tolong jangan tuntut aku gara-gara mau ngambil semua lahan warisan punya ayah!” Ucapnya histeris, sambil memegang kedua kakiku. Air matanya yang mengalir deras menunjukkan bahwa dia benar-benar ketakutan dan menyesal terhadap perbuatannya itu.
“Hah…” Aku menghela napas panjang karena nggak tahu apa yang harus dilakukan terhadap bocah payah ini. Di satu sisi, aku masih pengen ngasih dia pelajaran karena udah hampir membuatku terlibat dalam kasus pidana. Tapi, di sisi lain, aku juga merasa kasihan melihatnya memohon seperti ini.
“Oke, oke, berhentilah menangis.” Aku mencoba menenangkannya dengan suara malas. Raditya kemudian mengangkat kepalanya perlahan-lahan, lalu menatapku dengan wajahnya yang terlihat sangat payah itu.
Aku kemudian berjongkok untuk mengambil draft surat keterangan hak waris yang kuinjak dari tadi. “Kau akan tetap mendapatkan ini.” Ucapku datar, sambil memperlihatkan draft surat itu kepada Raditya. “Tapi, kita harus pergi ke Sentawar dulu untuk menyelesaikan semuanya.”
...***...
Saat kami berdua tiba di Sentawar, lebih tepatnya di kediaman Keluarga Hermawan, aku memberikan kesempatan kepada Raditya untuk meminta maaf kepada ibu dan juga kakaknya. Karena tidak ingin melihat adegan sedih antar anggota keluarga itu, aku memutuskan untuk merokok di halaman rumah mereka.
Hadeh, siapa yang menyangka kalau client pertamaku setelah dua bulan vakum dari urusan kenotariatan berhasil menimbulkan banyak hal-hal merepotkan kayak gini. Jika diingat lagi, Felix waktu itu pernah bilang kalau aku beruntung bisa dapat pelanggan dari Sentawar. Sepertinya, pernyataannya itu kurang tepat, deh. Soalnya, bayaranku pasti nggak sebanding dengan pekerjaan yang merepotkan ini.
“Pak Nael.” Suara Nyonya Hermawan terdengar memanggilku dari belakang.
“Sudah selesai?” Tanyaku sambil menoleh ke arahnya. Mata Nyonya Hermawan terlihat sedikit bengkak dan juga basah, seperti baru saja selesai menangis.
“Sudah, Pak. Silahkan masuk dulu dan gabung sama kami sebentar.” Pintanya dengan senyuman ramah, sambil memberikan gestur tangan yang mempersilahkan untuk masuk ke dalam rumahnya.
“Ah, maafkan aku, Nyonya Hermawan. Sebentar lagi aku harus kembali ke kantor untuk ngurus beberapa perkara.” Ucapku menolak dengan ramah, karena aku lagi malas untuk ngobrol saat ini.
“Oh, baiklah. Kalau gitu, tunggu disini sebentar, ya.” Beliau masuk lagi ke dalam rumah untuk beberapa saat, lalu kembali mendatangiku dengan membawa tiga buah amplop tebal. Yah, kita semua tahu kalau itu isinya uang, lah, ya.
“Ini bayaran atas pekerjaan anda, Pak Nael.” Ucap Nyonya Hermawan, sambil menyerahkan ketiga amplop tebal itu kepadaku. “Berkat anda, wasiat mendiang suami saya berhasil terpenuhi. Terima kasih banyak!” Tambahnya lagi dengan nada yang terdengar penuh ketulusan.
“Ah, itu bukan apa-apa. Terima kasih juga atas bayarannya.” Ucapku dengan nada yang dibuat ramah, sambil menerima ketiga amplop itu.
Aku kemudian merogoh tas ransel untuk mengambil surat keterangan hak waris atas nama Raditya Hermawan dan juga Raka Hermawan. “Ini dokumen milik kedua anak anda. Mohon disimpan baik-baik, ya.” Ucapku lagi, sambil menyerahkan kedua dokumen itu pada Nyonya Hermawan.
“Baiklah, saya akan menyimpannya dengan baik!” Beliau menyunggingkan senyuman yang penuh kehangatan, sembari memegang surat keterangan hak waris milik kedua anaknya.