Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Soto Medan
Kehadiran keduanya mendapat sambutan bersahabat dari pelayan restoran yang memang sudah mengenal Wina. Restoran itu hanya berada di seberang jalan persimpangan kompleks perumahan sang gadis.
Restoran belum terlalu ramai membuat Wina dan Dion memiliki banyak pilihan tempat duduk. Wina memilih meja sudut yang berhadapan dengan parkiran.
“Kak Wina populer di sini, ya?” tanya Dion sesaat setelah duduk berhadapan dengan Wina.
“Ndak, eh. Mungkin lantaran so talalu sering makang di sini, dorang so kanal pa kita,” jawab Wina menggunakan aksen Melayu-Manado.
Ketika menerima sodoran menu dari pelayan, Wina malah menyodorkannya pada Dion. “Kita mo makan soto. Manjo makang kwa! Napa pilih depe menu,” ajaknya.
“Se sama jo, Kak,” Dion mempersilakan gadis itu memilihkan menu untuknya. Wina kemudian menyebutkan pesanannya pada pelayan tadi.
Setelah mengagumi interior modern restoran, Dion lalu mengalihkan perhatiannya pada Wina. “Aku besok bawakan kipas pengganti. Kakak di rumah jam berapa?”
“Mana-mana pa Dion. Esok torang nda’ ada kuliah,” jawab Wina.
Mendengar itu hati Dion kembali bersorak gembira. Berarti dua hari berturut-turut ia bertemu gadis cantik itu.
“Enak ini, Kak!” seru Dion berkomentar setelah mencoba soto yang baru saja disajikan di hadapannya.
“Iya noh! Kita pe kesukaan ini. Aku suka dengan sop bersantannya. Gurih sekali!” kata Wina.
Dion mengangguk setuju, satu ide muncul di kepalanya. “Kakak harus coba Soto Medan original. Santannya lebih kental trus rempahnya lebih kuat.”
“Jadi yang ini bukan soto Medan asli, kah?” tanya Wina heran.
“Bukan begitu. Mungkin restoran ini sengaja menyajikan versi ringannya supaya lebih mudah diterima lidah semua orang, apalagi bagi pendatang,” jelas Dion.
“Wah, jadi penasaran. Sekali-sekali ajakin makan Soto Medan asli, dong!” pinta Wina.
“Boleh. Aku tahu satu rumah makan Soto Medan yang memiliki banyak penggemar walaupun tempatnya nggak sebagus ini,” sahut Dion sambil menikmati sotonya.
“Gini deh, besok kan Dion datang lagi buat mengganti fan PC yang rusak. Nah sehabis itu Dion ajakin aku makan soto Medan, bagaimana?” Wina mengemukakan idenya.
“Benar ya, Kak?” Dion tak bisa menyembunyikan rasa gembiranya.
“Iya, tapi Dion yang traktir, lho,” sahut Wina.
“Asyik! Aku datang seperti tadi, ya! Jam 10-an,” kata Dion bersemangat tapi sesaat kemudian menyesali antusiasme yang ia tunjukkan. Takut dianggap ke-geer-an lagi.
Terlambat, Wina sudah menyadari suasana hati Dion. Gadis itu pun tersenyum geli. “Lha! Sudah direpotin dan disuruh bayar malah senang. Memangnya pacarmu ‘ntar nggak cemburu?”
Wina semakin yakin Dion tertarik padanya. Setidaknya penasaran. Sejak pertemuan pertama mereka dua minggu lalu dan tadi waktu di rumah, ia sudah beberapa kali mendapati Dion mencuri-curi pandang padanya.
“Kemarin itu kan aku sudah bilang, nggak punya,” jawab Dion.
“Waktu itu kan aku tanya pacar Manado. Siapa tahu kamu punya pacar Medan, Batak, Jawa, Tionghoa, Sunda, atau mungkin bule,” Wina berargumen.
“Kakak ini, dang. Mungkin pacar Kakak yang akan marah kalau aku ajakin makan soto,” balas Dion.
“Doh, tenang saja! Dia nggak akan tau, kok.”
Pengakuan itu membuat Dion terhenyak, kecewa. “Tentu saja Wina sudah punya pacar. Bodohnya aku. Mana mungkin cewek cantik begini tak punya pacar. Ratusan pria pasti sudah antri andai pun dia sedang jomblo,” gumam Dion dalam hati melanjutkan makannya dengan diam.
Wina yang menyadari kekecewaan Dion yang tampak terdiam lalu berkata, “Gimana tetap jadi ajakin, toh?” tanya Wina.
“Jadi lah, Kak. Biarpun mungkin nanti kena gebuk orang sekampung, perjuanganku membawa Kak Wina makan Soto Medan tak boleh kendur,” jawab Dion.
“Koq, kena gebuk?” tanya Wina heran.
“Gara-gara pacar kakak yang cemburu,” jawab Dion sekenanya sambil menikmati makanannya.
Wina tertawa mendengar perkataan Dion. Entah sudah berapa kali pemuda jangkung itu membuatnya tertawa dalam beberapa jam belakangan.
Dion yang menjadi malu dan grogi ketika mendapati Wina memandanginya, kembali menunduk tak mau beradu tatapan dengan gadis itu.
“Dion! Psstt! Dion!”
Terdengar suara memanggil dengan sedikit berbisik. Dion kemudian menoleh berusaha mencari sumber suara itu.
“Nita!” seru Dion pada seorang gadis berseragam coklat muda yang tampak padu dengan apron atau celemek coklat tua, seragam pegawai restoran itu. Dion lalu beranjak berdiri dan mendekatinya.
Gadis yang dipanggil Nita itu juga mendekat dan menyodorkan tangan. Dion menyambutnya dan mengatakan, “Apa kabarmu? Kamu kerja di sini?”
“Baik saja! Iya, aku kerja di bagian beverage. Aku dengar kamu kembali dari Riau. Sekarang kerja di mana?” tanya Nita.
“Begitu lah Nit, kena PHK. Sekarang kerja di surat kabar jadi tukang ketik,” jawab Dion yang tampak senang bertemu Nita. “Oh iya, ini Mbak Wina,” katanya menunjuk ke arah Wina menggunakan jempol lalu hendak mengenalkan sebaliknya.
“Sudah kenal, dong. Keluarga Mbak Wina kan langganan restoran ini,” kata Nita saling senyum dengan Wina.
“Aku dengar Nita kuliah sekampus dengan Rudi,” Dion berusaha mengetahui kisah sahabat lamanya itu.
“Benar. Sastra Inggris kelas malam. Tapi sudah putus dengan brandalan itu,” jelas Nita dengan nada sedih.
“No way! Padahal, kalian pasangan yang paling serasi sejak sekolah. What happened?” tanya Dion tak percaya.
“It’s a long story. To make it short, things change, time changes, people change then… life changes,” kata Nita sedikit sendu. Situasi saat itu memang tak memungkinkan buat mereka bercerita panjang.
“Cheer up, Sis! Everything gonna be alright. You were the smartest girl in class and I believe still are,” hibur Dion.
“Sorry can’t accompany you guys. Gotta back to work. Come visit me one day after lunchtime for chit-chat. Ajak teman-teman sekalian,” pungkas Nita ingin berpamitan.
Sejenak Nita melangkah mendekat lalu berbisik, “Good choice. She is beautiful!”
“If only I’m that lucky,” Dion membalas bisikan Nita.
“Let’s see what future holds for you. I have a feeling!” Nita kembali berbisik lalu membalikkan badan, melangkah menjauh sambil melambaikan tangannya tanpa melihat ke arah Dion.
“See you, Sis!” seru Dion lalu kembali duduk menghadapi makanannya.
“Kalian dulu satu sekolahan yah?” tebak Wina ketika Dion akhirnya kembali duduk di hadapannya.
“Iya, satu kelas,” jawab Dion singkat sambil melanjutkan makan siangnya.
“Trus, ngapain ngomong ingles-ingles gitu? Bisik-bisik lagi,” tanya Wina.
“Kebiasaan dari sekolah. Dulu kan diwajibkan menggunakan English pada jam pelajaran,” jelas Dion tapi tak mau membahas bisik-bisik itu.
“Cantik, lho!” ucap Wina lirih seolah pada diri sendiri.
“Siapa? Nita?” tanya Dion yang dibalas anggukan Wina.
“Dia memang cantik,” kata Dion setuju.
“Kenapa nggak dipacarin?”
“Ih kakak ini. Dia itu kan teman kelasku. Lagipula kalau aku deketin semua perempuan cantik yang pernah kutemui, pasti aku sudah patah hati ratusan kali,” kilah Dion.
“Berarti masih puluhan dong,” sambung Wina.
“Apanya, Kak?” tanya Dion pura-pura bingung.
“Patah hati tadi. Tadi kan bilang belum ratusan, berarti masih puluhan kali ya?” tanya Wina lagi.
“Kita pe kakak ini, eh. Aku belum pernah patah hati. Nggak tau juga rasanya gimana,” Dion membela diri.
“Mau tau rasanya?” tanya Wina.
“Iya, Kak, penasaran. Ceritalah bagimana pengalaman Kakak waktu patah hati,” ujar Dion.
Wina diam tak langsung menjawab. Sesaat dia menatap wajah Dion yang juga menatap ke arahnya seolah menunggu.
Wina menunduk seperti hendak mencari sesuatu di bawah meja.
“Bukk!!!”
Tendangan Wina yang mengenai tulang kering kaki Dion tak pelak membuat pria jangkung itu merasa kesakitan juga.
“Aduh, sakit!” keluh Dion mendramatisir lalu mengusap-usap kakinya yang terkena tendangan.
“Pasti rasanya mirip-mirip begitu, tapi di hati bukan di kaki,” ujar Wina yang sudah hampir menghabiskan sotonya.
“Maaf, ya! Dion tadi keterusan. Sampai-sampai menanyakan hal pribadi seperti itu. Nggak bermaksud bikin kakak tak nyaman, lho,” sesal Dion sambil terus mengusap tulang keringnya.
“Kakak ini atlet karate, ya?” tanya Dion sambil mengangkat gelas setelah menghabiskan makanannya.
“Bukan. Thai boxing,” jawab Wina meletakkan sendoknya. Ia juga sudah merasa cukup dengan makanannya.
“Latihan sama siapa dan di mana, Kak?”
“Di belakang rumah sama pacar.”
“Wah, pacar kakak pelatih Thai Boxing, kah?
“Bukan, tapi samsaknya.”
“Kasihan pacar Kakak, yah?”
Mendengar itu Wina jadi tertawa geli. Dia ingin menjelaskan sesuatu tapi mengurungkan niatnya itu.
“Nggak apa-apa. Dia kuat kok! Kutendang ribuan kali pun dia nggak akan kesakitan,” jelas Wina membuat Dion mengerutkan kening keheranan, tapi pemuda itu memutuskan untuk berhenti membahas pacar Wina.
Usai menghabiskan makan siang, keduanya kemudian melanjutkan obrolan yang sebenarnya lebih tepat disebut interview. Wina lah yang kemudian melancarkan pertanyaan-pertanyaan pada Dion. Soal keluarga, tempat tinggal, pekerjaan, dan hal-hal lain. Wina yang ingin mengenal Dion lebih jauh tampaknya sedang mengumpulkan informasi.
Jarum pendek jam dinding sudah menjauhi angka satu ketika Dion dan Wina meninggalkan restoran itu. Dion mengantar Wina hingga ke depan rumahnya. Wina memasuki gerbang rumahnya lalu berkata, “Besok ditunggu ya!”
“Iya, Kak. Aku pulang dulu yah. Bye!” pungkas Dion lalu meninggalkan rumah Wina sambil melambaikan tangan.