Nalea, putri bungsu keluarga Hersa, ternyata tertukar. Ia dibesarkan di lingkungan yang keras dan kelam. Setelah 20 tahun, Nalea bersumpah untuk meninggalkan kehidupan lamanya dan berniat menjadi putri keluarga yang baik.
Namun, kepulangan Nalea nyatanya disambut dingin. Di bawah pengaruh sang putri palsu. Keluarga Hersa terus memandang Nalea sebagai anak liar yang tidak berpendidikan. Hingga akhirnya, ia tewas di tangan keluarganya sendiri.
Namun, Tuhan berbelas kasih. Nalea terlahir kembali tepat di hari saat dia menginjakkan kakinya di keluarga Hersa.Suara hatinya mengubah takdir dan membantunya merebut satu persatu yang seharusnya menjadi miliknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss_Dew, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5
Ponsel Azlan berdering keras di atas meja kerjanya. Pikirannya yang sedang dipenuhi laporan keuangan yang menumpuk langsung buyar. Ia melihat nama penelepon, sopir pribadi Sisilia.
“Halo? Ada apa?” tanya Azlan cepat.
“Tuan Azlan, Nona Sisilia… kecelakaan,” suara sopir itu terdengar panik di seberang sana. “Saat di dekat kampus, ada motor yang menyerempetnya saat menyebrang. Nona Sisilia sempat terbentur bahu jalan dan kehilangan banyak darah. Kami sudah membawanya ke Rumah Sakit Sari Berkah.”
Seluruh pikiran Azlan langsung gelap. Laporan, pekerjaan, semua menguap. Hanya ada Sisilia, adik kesayangannya, yang terancam bahaya.
“Sialan!” Azlan membanting pulpennya. “Aku ke sana sekarang juga! Jangan sampai terjadi apa-apa padanya!”
Azlan bergegas keluar kantor, mengabaikan panggilan sekretarisnya. Sepanjang perjalanan, rasa cemas mencekiknya.
Azlan tiba di Instalasi Gawat Darurat (IGD) Rumah Sakit Sari Berkah. Ia menemukan Sisilia sudah berada di ranjang perawatan, ditutupi selimut. Wajahnya pucat pasi.
Seorang dokter muda menghampirinya. “Anda keluarga pasien Sisilia Hersa?”
“Ya, saya kakaknya. Bagaimana kondisinya, Dokter? Lakukan yang terbaik!” desak Azlan.
Dokter itu mengangguk. “Kami sedang melakukan pemeriksaan awal. Kami akan melakukan yang terbaik, Tuan. Tapi untuk saat ini, bisakah Anda mengurus administrasi agar kami bisa memindahkannya ke ruang perawatan?”
“Baik! Saya akan urus. Soal biaya, jangan khawatir. Rumah Sakit ini saya yang beli kalau perlu, asal adik saya selamat!” Azlan mengeluarkan ponselnya, tangannya gemetar saat mengurus pendaftaran administrasi. Bersamaan dengan itu, ia menelepon seluruh anggota keluarga.
“Papa? Mamah? Sisil kecelakaan. Ada di RS Sari Berkah sekarang. Cepat datang!”
Tidak lama kemudian, Zavian, Mutiara, dan Ivander tiba di lobi dan langsung menemui Azlan yang baru selesai dengan urusan administrasi. Wajah mereka tegang dan panik.
“Bagaimana Sisilia?” teriak Mutiara, air matanya sudah menetes.
“Di dalam, Mah. Dokter sedang memeriksa.”
Tak lama, dokter yang memeriksa Sisilia keluar.
“Bagaimana kondisi putri kami, Dokter?” tanya Ivander, suaranya sarat kekhawatiran.
Dokter itu menarik napas. “Secara umum, tidak ada luka berat yang fatal atau kerusakan organ. Hanya saja… Pasien mengalami pendarahan yang cukup banyak. Kami harus segera melakukan transfusi darah.”
Semua keluarga Hersa menegang.
“Lalu? Lakukan saja!” tukas Zavian.
“Masalahnya, Tuan,” jelas Dokter, “Pasien Sisilia bergolongan darah AB, dan stok di bank darah kami saat ini kosong. Kami sudah coba menghubungi rumah sakit lain, tetapi nampaknya stok sedang menipis secara nasional. Jika dalam beberapa jam tidak mendapat donor, nyawanya akan terancam bahaya.”
Kepanikan menyelimuti wajah keluarga Hersa.
Jauh dari hiruk pikuk rumah sakit, di ruang tengah yang kini menjadi ruang belajar Nalea, ia tampak fokus di depan papan tulis.
“Bagus, Nalea. Ketepatanmu dalam menganalisis kasus ini luar biasa,” puji Mr. Rey, guru privat barunya. Rey adalah pria muda yang cerdas, berkacamata, dan selalu berpakaian rapi. “Baru tiga bulan kamu belajar homeschooling bersamaku, tetapi daya serapmu jauh melebihi rata-rata siswa SMA terbaik.”
Nalea tersenyum tipis, rasa bangga yang jarang ia rasakan muncul di dadanya. "Aku hanya berusaha, Mr. Rey. Aku tidak mau dibilang bodoh."
“Kamu tidak bodoh. Kamu jenius yang tertidur.” Rey membalikkan papan tulis. “Tiga hari ke depan, kita akan adakan ujian materi. Bersiaplah.”
Nalea mengangguk, semangatnya membara. Tiba-tiba, sebuah pertanyaan terlintas di benaknya.
“Mr. Rey,” Nalea menatap guru privatnya. “Apakah… apakah aku bisa kuliah seperti gadis-gadis seusiaku? Maksudku, bisakah aku mendapatkan gelar sarjana, atau yang lebih tinggi, tanpa sekolah formal?”
Mr. Rey tersenyum, lalu mengacak-acak rambut Nalea dengan gerakan lembut.
“Di bawah bimbinganku, Nalea, kamu akan menjadi jenius terhebat. Tanpa sekolah formal pun, kita bisa mencari jalur untuk meraih gelar sarjana, bahkan S3. Itu hanya masalah waktu dan administrasi. Yang penting, otakmu bekerja.”
Hati Nalea langsung dipenuhi gelombang emosi. Air mata kembali menggenang. Jenius terhebat. Tanpa sekolah formal pun. Ini adalah pengakuan yang tidak pernah ia dapatkan. Jika ia bisa menjadi sejenius itu, mungkin.
"Terima kasih," bisik Nalea, suaranya tercekat. Ia spontan memeluk Mr. Rey, pelukan singkat yang didorong oleh rasa haru yang tak tertahankan.
Rey menjadi kaku dan gugup luar biasa. Aroma tubuh Nalea yang wangi bunga melati dan keringat tipis itu nyaris membuatnya kehilangan kendali. Mati-matian Rey menahan "sesuatu" yang dibawa celana bahannya agar tidak terbangun. Bagaimanapun, dia juga pria normal.
"S-sama-sama, Nalea," Rey berdeham, buru-buru melepaskan pelukan itu. "Sekarang, kita lanjutkan belajar. Jangan buang waktu."
Tiba-tiba, Mbak Mala, salah satu pelayan, tergopoh-gopoh menghampiri mereka dengan ekspresi wajah panik.
“Non Lea, maaf mengganggu! A-ada telepon dari Tuan Ivander… untuk Non Alea!”
Nalea menatap Mbak Malam dengan kening berkerut, heran. Papanya jarang sekali meneleponnya secara langsung. Tanpa banyak pertanyaan, Nalea langsung menuju ruang tengah dan mengangkat telepon dari Papanya.
“Halo, Papa?”
“Nalea! Sisilia kecelakaan. Golongan darahnya AB. Bank darah kosong. Kami butuh donor secepatnya!” Suara Ivander terdengar tegang dan panik.
Nalea memegang gagang telepon erat-erat. "Kecelakaan? Di mana Sisil, Pa? Rumah sakit mana?"
"Rumah Sakit Sari Berkah! Cepat datang!"
TUT! Telepon terputus.
Nalea berdiri terpaku. Dia tidak tahu harus pergi dengan apa. Mobil-mobil mewah keluarga Hersa pasti sudah dibawa ke rumah sakit. Uang tunai pun ia tidak punya, ia selalu dikurung di gudang.
Rey menghampiri Nalea, melihat ekspresi wajahnya yang bingung dan bingar. “Ada apa, Nalea?”
Nalea berbalik. “Sisilia… dia kecelakaan, butuh donor darah secepatnya di RS Sari Berkah. Tapi aku… aku tidak tahu harus pergi dengan apa.”
Tanpa banyak bicara, Rey langsung menarik pergelangan tangan Nalea. “Kita pergi sekarang. Jangan buang waktu!”
Rey membawa Nalea ke depan rumah. Di sana, terparkir sebuah motor sport hitam, model lama, yang terlihat tangguh dan terawat.
Nalea terkesiap. Ia menatap motor itu.
Motor itu… bentuk bodinya, knalpotnya yang sedikit dimodifikasi, bahkan stiker kecil di tangki bensinnya, semua terlihat familiar. Sangat familiar. Kenangan buram dari masa lalunya sebagai Ratu Gangster, mengenai sebuah motor, melintas cepat di benaknya
Aku pernah melihat motor ini. Di mana?
Saat Nalea mencoba mencerna ingatan yang mendesak itu, Rey dengan cepat menyalakan mesin. Suara raungan mesin motor itu kembali menyeret Nalea ke dalam memori yang hampir ia lupakan.
“Nalea! Cepat naik! Tidak ada waktu!” desak Rey, menunjuk bangku belakang motor.
Nalea menelan ludah, menekan rasa penasaran yang memuncak, dan dengan langkah tertatih-tatih, ia naik ke motor sport hitam itu.
Nalea mencengkeram jaket Rey, otaknya masih berusaha keras mencocokkan ingatan tentang motor itu. Motor Rey… rasanya sama persis dengan motor milik seseorang.
mana ada darah manusia lebih rendah derajatnya daripada seekor anjingg🥹🥹🤬🤬🤬