Sebuah kota yang ditimpa tragedi. Seseorang baru saja membakar habis gedung pengadilan di Withechaple, Inggris. Beruntung tidak ada korban jiwa.
Seorang detektif hebat ditugaskan menangkap sang pencuri Lupin. Waktu yang dimiliki Wang yi semakin terbuang sia-sia. Semakin ia merasa bisa menangkap pencuri Lupin, semakin ia terjebak dalam permainan menyebalkan yang dibuat oleh musuh. Beruntungnya gadis cantik bernama Freya, yang bekerja menyajikan bir untuk para polisi di kedai setempat selalu memberinya motifasi yang unik.
Selama beberapa Minggu, Wang yi menyusun rencana untuk menangkap sang Lupin. Hingga sebuah tugas melindungi mahkota Atlantis tiba di kota itu. Wang yi akhirnya berhasil mengetahui siapa sosok sang Lupin. Namun, ketika sosok itu menunjukan wajahnya, sebuah rahasia gelap ikut terkuak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Miss Anonimity, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 5 : Separuh Kebenaran
"Oh, aku tidak tau kau ada di sini. Kalau tidak salah, namamu itu..."
"Freya."
"Ah, iya. Kau yang bekerja di bar itu. Sedang apa di sini? Kau tidak bekerja?" Tanya Wang yi. Ikut duduk di samping Freya, menyandarkan punggungnya pada akar pohon.
"Hanya mencari waktu untuk bersantai. Kau tau, gadis bar sepertiku sangat mudah pusing, apalagi jika berhubungan dengan alkohol." Balas Freya.
Wang Yi menoleh sekilas ke arah Freya. Nada suaranya ringan, tapi ada sesuatu di balik kata-kata itu-lapisan lelah yang tidak bisa ditutupinya dengan senyum sarkastik. Ia menghembuskan asap rokok, membiarkannya larut bersama hembusan angin bukit.
"Pusing, ya? Banyak orang di kota ini yang mabuk karena alasan yang lebih sederhana," ujarnya, nada bicara datar, meski matanya tidak lepas dari garis horizon kota. Dari jauh, gedung pengadilan yang hangus masih tampak seperti luka hitam di antara gedung-gedung toko.
Freya ikut menatap ke arah yang sama. "Dan kau? Kau terlihat seperti orang yang minum bukan untuk pusing, tapi untuk melupakan sesuatu."
Wang Yi tertawa pendek, hambar. "Kalau aku bilang aku lebih suka rokok daripada minuman, apakah itu membuatku lebih baik dari pelangganmu?"
Freya tidak menjawab, hanya menarik lututnya dan menyandarkan dagu. Ada jeda panjang. Hening di bukit itu lebih jujur daripada obrolan basa-basi di bar mana pun. Akhirnya Wang Yi menyinggung, "Aku dengar... kau ada di dekat gedung pengadilan ketika kebakaran itu." Nada suaranya terdengar lebih tajam, penuh perhatian.
Freya menoleh cepat, keningnya berkerut. "Siapa yang bilang?"
"Orang bilang banyak hal," Wang Yi menyalakan rokok lagi, api korek berpendar sebentar di wajahnya. "Kadang gosip bisa berbahaya. Apalagi kalau ada nama yang terlibat." Freya menatapnya lekat, berusaha membaca maksud di balik kata-kata itu.
"Berhati-hatilah, Whitechaple tidak akan ramah mulai sekarang."
Freya mendengus, "Aku sudah tinggal di kota ini selama bertahun-tahun. Aku lebih suka menyebut kota ini sebagai 'Kota dosa'." Balas Freya.
Wang Yi tersenyum tipis, seakan mendengar istilah itu untuk pertama kalinya namun langsung setuju. Ia menepuk-nepuk abu rokok dari jarinya. "Kota dosa... nama yang bagus. Tapi dosa tidak pernah berdiri sendiri, Nona. Selalu ada tangan yang menyalakan api, selalu ada yang tertawa di balik layar."
Freya mengangkat alis. "Kau berbicara seperti seorang pendeta, padahal baumu seperti cerobong pabrik."
"Tepat sekali," Wang Yi menunduk sedikit, suaranya diturunkan, seperti sedang meracau rahasia. "Dan aku baru saja datang dari tempat di mana cerobong itu terbakar. Gedung pengadilan. Api, kaca pecah, dan... jejak seseorang yang terlalu lihai untuk disebut kriminal biasa."
Freya berpura-pura tidak peduli, memetik sehelai rumput di sampingnya. "Kedengarannya kau sedang berburu hantu. Orang-orang di bar menyebutmu detektif, bukan pengusir roh."
"Sayangnya, hantu yang satu ini punya tangan manusia. Dan mungkin seorang gadis cantik yang lihai." Wang Yi menyelipkan rokoknya di bibir, menatap tajam ke wajah Freya. "Kau melihat sesuatu malam itu? Atau seseorang?"
Freya terdiam sesaat, lalu tersenyum miring. "Kalau aku berkata 'ya', apakah kau akan percaya padaku? Atau kau hanya akan menuliskannya di bukumu sebagai keterangan saksi yang tidak penting?"
Wang Yi mendekat, nadanya berubah lebih dingin. "Percaya atau tidak bukan soal utama. Tapi setiap detail bisa menyelamatkan nyawa. Termasuk nyawamu."
Freya menghela napas, melempar rumput ke udara. "Aku melihat api, jendela meledak, orang-orang berteriak. Tidak ada yang istimewa. Dan tidak ada hantu berkedok manusia." Wang Yi menatapnya lebih lama, seolah berusaha membedah lapisan dalam dirinya. Lalu ia tersenyum samar.
"Kau tau, kalau temanku Zhou Shiyu mungkin menyukaimu." Ujar Freya, seolah ia sengaja mengalihkan topik.
"Banyak gadis yang melemparkan dirinya padaku. Tapi aku tidak sedikitpun menanggapi." Balas Wang yi.
"Kau bisa berkata begitu, tapi aku berani bertaruh sahabatku jauh lebih cantik dari mereka." Ujar Freya.
Wang Yi tertawa pelan, kali ini tidak hambar, lebih seperti ejekan tipis. "Cantik tidak pernah cukup, Nona Freya. Kecantikan bisa membutakan, bisa juga menipu. Di kota ini, aku lebih percaya pada ketajaman insting ketimbang pada wajah yang elok."
Freya memutar bola matanya, menepuk-nepuk rumput di samping. "Astaga, kau selalu berbicara seperti itu? Semua kata-katamu terdengar seperti peringatan yang dibungkus teka-teki. Ini alasan kenapa aku selalu menganggap polisi dan detektif seperti kalian sangat membosankan."
Wang Yi menoleh, tatapannya menyala di balik asap rokok. "Membosankan jauh lebih aman daripada berbaring di peti mati."
Ada jeda. Angin sore menyapu lembut rambut Freya, membuatnya tampak jauh lebih rapuh dari sikap keras kepala yang ia tunjukkan. Ia meraih sebatang ranting kecil, mematahkannya perlahan. "Dan apa kau pikir aku sedang menuju ke sana? Ke dalam peti mati?"
"Semua orang di Whitechapel menuju ke sana," jawab Wang Yi dingin. "Hanya waktunya yang berbeda. Tapi yang ada di dekat api lebih dulu terbakar."
Freya mendengus, menahan senyum. "Kau sepertinya senang sekali menyebut-nyebut api. Kau yakin bukan kau yang sebenarnya menyulutnya?"
Wang Yi menatapnya lama, lalu menghembuskan asap terakhir dari rokoknya sebelum mematikannya di tanah. "Kalau aku yang menyulutnya, percayalah, kota ini sudah menjadi abu. Dan aku tidak akan duduk di sini, berbincang denganmu."
Freya menatapnya balik, kali ini tanpa senyum. Tatapan mereka bertemu, seakan saling mengukur, menimbang siapa yang lebih berani membuka kartu lebih dulu.
Lalu Freya mulai berdiri, menepuk-nepuk pantatnya untuk membersihkan debu. "Terserah kau saja, detektif. Tapi, jika aku boleh memberimu saran, datangi rumah Bazza. Orang tua itu adalah yang paling di benci di kota ini. Itu sebabnya dia sangat jarang keluar rumah." Ucap Freya.
"Apa yang membuatnya dibenci?" Tanya Wang Yi.
Freya menatap Wang Yi sejenak, seolah menimbang-nimbang apakah ia sudah bicara terlalu jauh. Kemudian bahunya terangkat ringan, ekspresinya datar. "Bazza adalah jenis manusia yang hidup dari aib orang lain. Pemeras, penadah barang curian, penjual informasi... dia tahu semua rahasia kotor di Whitechapel. Bahkan rahasia orang yang kau kira tidak punya apa-apa untuk disembunyikan."
Wang Yi mendengarkan dengan penuh perhatian, meski wajahnya tetap dingin. "Kalau begitu, dia bukan hanya dibenci. Dia berbahaya."
"Berbahaya?" Freya terkekeh kering. "Dia lebih seperti anjing tua yang busuk tapi masih bisa menggigit. Banyak yang berharap dia mati, tapi entah bagaimana, dia selalu bertahan. Seperti kecoa."
Detektif itu menyandarkan punggung ke akar pohon lagi, matanya menyipit. "Kalau kau menyebut namanya, berarti kau percaya Bazza ada hubungannya dengan kebakaran gedung pengadilan."
Freya menghela napas, menunduk, memainkan batu kecil di tangannya. "Aku tidak bilang begitu. Tapi kalau kau ingin tahu siapa yang mungkin tertawa paling keras saat gedung itu jadi abu, aku berani menebak-Bazza sedang bersulang di ruang gelapnya, bersama setumpuk rahasia yang tak terbakar."
Wang Yi menegakkan tubuh, sorot matanya tajam. "Kau seperti sedang memberiku peta, tapi sengaja menghapus sebagian jalannya."
Freya tersenyum samar, matanya berkilat nakal. "Bukan tugasku memberimu jalan lurus, Detektif. Lagipula, bukankah kalian selalu bilang, setengah kebenaran lebih berharga daripada seribu kebohongan?"
Wang Yi berdiri perlahan, merogoh saku mantel dan menyalakan rokok baru. "Aku akan menemui Bazza. Kalau anjing tua itu benar tahu sesuatu, aku akan membuatnya menggonggong."
Freya menyilangkan tangan di dada, tatapannya melekat pada siluet Wang Yi yang kini berdiri lebih tinggi darinya. "Hati-hati, Detektif. Banyak orang masuk ke rumah Bazza... tapi tidak semua keluar dengan cerita. Beberapa bahkan tidak keluar sama sekali."
Asap rokok mengepul, menyelubungi wajah Wang Yi yang kembali datar. "Kalau begitu, mari kita lihat... apakah dia benar anjing tua, atau justru naga yang bersembunyi."
Freya terdiam, hanya mengikuti dengan pandangan saat Wang Yi melangkah pergi menuruni bukit. Angin sore membawa bau tembakau dan firasat buruk yang tak bisa ia abaikan.
"Mau ku antar kembali ke bar?" Wang yi menawarkan diri.
"Ya, tentu. Jika kau tidak keberatan, bisakah kita berbelanja dulu?" Ucap Freya.
Wang Yi menoleh setengah, keningnya terangkat tipis.
"Berbelanja?" tanyanya, nada suaranya seperti setengah mengejek, setengah tidak percaya.
Freya menyelipkan rambut ke belakang telinga, langkahnya ringan namun penuh maksud. "Ya. Bahkan seorang gadis bar sepertiku membutuhkan sesuatu selain botol gin dan asap murahan. Kau tahu, roti, mungkin sedikit parfum, atau gaun yang tidak berbau bir basi."
Wang Yi menarik napas dalam, rokok di jarinya masih menyala. "Kedengarannya seperti alasan untuk membuatku berjalan di belakangmu."
"Jangan terlalu percaya diri, Tuan Detektif." Freya menoleh, senyumnya tipis, seolah menantang. "Aku hanya butuh tangan yang bisa menyingkirkan preman jika mereka mulai sok tahu di pasar malam. Kau kebetulan... cukup menakutkan untuk itu."
Wang Yi terkekeh hambar. "Menakutkan jauh lebih murah daripada cantik. Tapi baiklah, tunjukkan jalanmu."