Ketika Liora terjebak dalam malam penuh kesialan, ia tak pernah menyangka hidupnya akan berubah selamanya setelah bertemu Felix Dawson, Sang CEO yang dingin sekaligus memikat.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yourhendr, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
5. Apakah terlalu silau?
Liora membuka pintu apartemennya dengan langkah berat. Heels yang sejak tadi membuat kakinya perih segera ia lepaskan begitu memasuki ruang tamu. Sepatu itu terdengar jatuh menabrak dinding dengan suara thuk! yang cukup keras, tapi ia tak peduli. Tas kerja yang biasanya dijaga rapi pun kali ini hanya ia letakkan sembarangan di sofa.
Pandangan matanya jatuh pada tumpukan kardus yang berserakan di lantai kamar. Di sana, bertumpuk lah benda-benda yang seharusnya bisa membuat seorang wanita tersenyum: hadiah ulang tahun, boneka, perhiasan, hingga album foto. Namun bagi Liora, semuanya tak lebih dari sampah emosional yang terus menekan dadanya.
Itulah sisa-sisa hubungan tiga tahun dengan Kevin. Hubungan yang ia kira akan berakhir di pelaminan, tapi justru hancur tanpa belas kasihan.
Liora menghela napas panjang. Tangannya meraih sebuah album foto yang tergeletak di dekat kakinya. Di sana ada senyum dirinya—tersenyum cerah, tersenyum penuh cinta—berdiri di samping Kevin. Terlihat seperti kebahagiaan sejati, padahal kini Liora tahu semua itu hanyalah ilusi.
“Lucu sekali… betapa bodohnya aku dulu,” gumamnya getir.
Air mata mulai menggenang. Ia duduk bersimpuh di lantai, lututnya ditekuk, sementara bahunya mulai bergetar. Tangisan itu pecah tanpa bisa ditahan. Malam ini, lagi-lagi ia merasakan betapa kosongnya hatinya. Betapa sia-sianya waktu yang ia habiskan bersama pria yang ternyata pengecut dan tak pernah mencintainya sungguh-sungguh.
“Pria brengsek…” bisiknya dengan suara tercekat, lalu menyeka air mata kasar-kasar.
Ia segera menutup album foto itu, melemparnya ke dalam kardus. Satu per satu benda kenangan masuk ke sana. Tidak ada ampun. Tidak boleh ada sisa Kevin sedikit pun yang bertahan di kamarnya.
“Semua ini tidak layak menempel dalam hidupku lagi,” katanya lantang, berusaha meyakinkan diri sendiri.
Namun di balik ketegasan itu, dadanya tetap terasa sesak. Luka itu belum kering, dan Liora tahu butuh waktu lama untuk menyembuhkan.
---
Di sisi lain kota, tepat di lantai atas gedung perusahaannya, Felix Dawson berdiri tegak di depan jendela besar ruang kerjanya. Pemandangan gedung-gedung tinggi Brooklyn malam hari terbentang luas, lampu-lampu kota berkelip bak bintang. Namun tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh entah ke mana.
Jari-jarinya mengetuk meja kayu mahal dengan ritme pelan. Wajah tampannya tegas, sorot matanya tajam seperti pisau.
“Tuan Felix?” Suara dalam yang sopan terdengar. Elvano Putra, asisten pribadinya, masuk sambil membawa beberapa berkas.
Felix menoleh sekilas, lalu kembali menatap keluar jendela. “Ada apa?” tanyanya dingin.
Elvano menunduk sedikit sebelum bicara. “Minggu ini Anda dijadwalkan ke London, Tuan. Proyek internasional kita butuh pengawasan langsung. Perkiraan, Anda harus menetap di sana sekitar enam bulan.”
Felix terdiam sebentar, kemudian meraih gelas vodka yang sudah separuh kosong. Ia menyesap perlahan, membiarkan rasa hangat membakar tenggorokannya. Setelah itu ia menaruh gelas di meja.
“Batalkan,” katanya singkat.
Elvano mengangkat wajah, nyaris tak percaya. “Batalkan, Tuan? Anda tidak jadi berangkat ke London?”
Felix menoleh padanya, ekspresinya tetap tak terbaca. “Ya. Suruh Direktur Perwakilan yang menggantikan. Aku masih harus mengurus Ventures Group.”
“Tapi, Tuan…” Elvano tampak ragu. “Ventures Group hanyalah perusahaan kecil. Tidak sebanding dengan proyek di London. Seharusnya saya saja yang mengurusnya, sementara Anda fokus—”
“Tidak usah.” Felix memotong tajam. “Aku yang akan mengurusnya sendiri.”
Elvano terdiam, lalu mengangguk pelan. “Baik, Tuan. Saya akan mengatur sesuai perintah Anda.”
Felix kembali menyesap vodka, kali ini sambil tersenyum tipis. Siapa sangka, perusahaan kecil yang nyaris bangkrut itu ternyata menyimpan seorang wanita yang begitu menarik perhatiannya. Wanita yang ia temui di malam penuh mabuk, yang menyerahkan sesuatu paling berharga karena patah hati.
Felix tahu ia biasanya menjauhi hubungan dengan karyawan. Tapi Liora… berbeda. Ada sesuatu dalam kepedihan gadis itu yang membuatnya tertarik.
---
Keesokan paginya, Liora menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya pucat, matanya sembab, kelopak matanya membengkak karena terlalu lama menangis semalam. Ia menepuk-nepuk wajah dengan bedak tipis, tapi tetap saja tak bisa menutupi semuanya.
“Oh, Tuhan… kenapa aku harus punya rapat pagi ini?” keluhnya lirih.
Akhirnya ia meraih kacamata hitam besar dari laci meja rias. Ia memakainya, menatap kembali pantulan dirinya di cermin. Rasanya konyol harus ke kantor dengan penampilan seperti ini. Tapi apa boleh buat? Daripada semua orang tahu bahwa ia semalaman menangis, lebih baik menyembunyikan diri di balik lensa gelap.
Dengan hati berat, Liora berangkat. Begitu memasuki ruangan kantor, tatapan beberapa rekan kerjanya langsung mengarah padanya. Bisik-bisik terdengar samar, tapi ia pura-pura tak mendengar.
“Liora??” suara Rose, sahabat sekaligus rekan kerjanya, langsung terdengar terkejut. “Kau gila, ya? Kenapa pakai kacamata hitam ke kantor? Ini bukan acara fashion show!”
Liora menekan bibirnya, berusaha terlihat santai. “Aku begadang semalam, mataku bengkak. Jadi kupikir lebih baik pakai kacamata.”
Rose mendengus tak percaya. “Begadang? Untuk apa? Jangan-jangan… kau—”
Kalimatnya terpotong. Suara langkah tegas terdengar mendekat. Suara sepatu kulit menghantam lantai marmer membuat semua orang refleks menoleh.
Felix Dawson.
CEO baru itu melangkah masuk, aura berwibawanya membuat suasana ruangan seolah membeku. Rose cepat-cepat menyapa sopan, “S-selamat pagi, Tuan Dawson.”
“Selamat pagi, Tuan,” sahut Liora sambil menunduk. Ia berusaha keras menenangkan degup jantungnya.
Felix menghentikan langkahnya, lalu menatap lurus ke arah Liora. Pandangan tajam itu membuat tubuh Liora menegang.
“Apa ruangan ini terlalu silau untukmu, Nona Jolie?” tanyanya datar, tapi menyimpan nada sinis halus.
Wajah Liora memanas. Ia buru-buru menggeleng. “T-tidak, Tuan. Sebenarnya… semalam saya begadang, jadi mata saya bengkak. Maaf jika terlihat kurang pantas memakai kacamata di dalam kantor.”
Felix tak langsung menjawab. Ia hanya menatapnya lama, seolah menelanjangi alasan yang Liora ucapkan. Senyum samar muncul di bibirnya, tapi tak sampai ke matanya. Ia tahu persis, itu bukan karena begadang. Itu karena tangis.
Liora berusaha mengalihkan pandangan, jemarinya meremas kedua telapak tangan sendiri karena gugup. Rasanya seperti menjadi tersangka yang sedang diinterogasi.
Felix akhirnya mengalihkan perhatian pada Rose. “Rose, laporan keuangan yang aku minta sudah siap?”
“Sudah, Tuan. Ada di meja kerja Anda,” jawab Rose cepat.
Felix mengangguk sekali, lalu berjalan melewati mereka. Namun beberapa langkah kemudian ia berhenti, menoleh sebentar ke arah Liora.
“Liora, aku ingin laporan bulananmu sore ini,” ucapnya dingin.
Liora refleks mengangguk. “B-baik, Tuan Dawson. Sore ini saya akan menyerahkannya.”
Felix melangkah masuk ke ruang kerjanya, meninggalkan udara tegang di belakangnya.
Rose mendesah lega, menepuk dadanya. “Astaga… dia itu benar-benar luar biasa tampan. Setiap kali dia ada di dekatku, jantungku mau meledak.”
Liora hanya memutar bola mata. “Kalau jantungmu berhenti berdetak, baru kau harus khawatir, Rose.”
Rose melotot. “Kau ini selalu saja! Serius, Liora, bagaimana mungkin kau tidak kagum pada pria sekelas dia?”
“Aku tidak punya alasan untuk kagum,” jawab Liora ketus. Dalam hati ia menambahkan: Aku bahkan berusaha keras menghindarinya.
Rose mendecak, lalu menyengir nakal. “Atau mungkin kau masih setia pada Kevin?”
Mata Liora langsung meredup. Ia tak ingin melanjutkan pembicaraan itu. Dengan cepat ia berkata, “Aku masuk dulu. Banyak pekerjaan menumpuk.” Lalu ia melangkah pergi, meninggalkan Rose yang hanya bisa mencibir pelan.
Di balik kaca mata hitamnya, Liora menggertakkan gigi. Bukan hanya karena Rose mengungkit Kevin, tapi juga karena tatapan Felix tadi masih membekas. Tatapan yang membuatnya merasa telanjang, seolah pria itu tahu persis rahasia terdalamnya.
Dan itu membuat Liora semakin takut sekaligus… entah mengapa, tak bisa berhenti memikirkan sosok Felix Dawson.
mampir karna nama PM sama kayak nama di cs aku Felix & Leora (Saudara kandung)/Sob//Sob/
lah disini malah nikah